“Aku cuma gak mau Kakak gagal lagi” ㅡMahen
“Dek, jaketnya pake.” “Ini udah?” “Itu sweater.” “Ya sama aja.” “Beda, sweater tipis.” “Masalahnya aku minum sereal panas, loh. Gerah, makin malam juga makin adem nanti.” “Ya udah, pelan-pelan minumnya.”
Angin malam tetap melakukan tugasnya dengan baik, berhembus dari segala arah dengan tenang tanpa mengusik kakak-adik ini di balkon apartemen. Azalea dengan Hot Chocolate, Mahen dengan sereal Vanilla kesukaannya. Agenda Azalea malam ini sebenarnya movie marathon, sudah coba mengajak Mahen tapi ia menolak dengan dalih bosan nonton melulu. Ide untuk duduk santai di balkon jadi alternatif yang Mahen tawarkan, sang kakak pun menyetujui. Pikirnya, lumayan untuk healing dalam bentuk sederhana dan hitung-hitung bonding dengan adik.
“Kak?” “Hm?” “Tantra, siapa?”, tanya Mahen yang jelas membuat Azalea kaget.
Tidak adanya jawaban dari sang kakak, Mahen pun mengulangi, “Tantra Langit, siapanya kakak?”
“Aku baru aktifin Instagram lagi, cek profil kakak ternyata ada akun dia yang engagement-nya lumayan intens sama kakak. Username-nya langitantra, kan?”
...okay? Kalau sudah begini, rasanya tidak bisa lagi menutup-nutupi. Sedikit merasa seperti lagi tertangkap basah, tapi ini adiknya yang memang agak witty untuk hal-hal sepele. Azalea sendiri sudah punya niat untuk menceritakan perihal Tantra padanya, tapi menunggu waktu yang pas. Hingga kenyataan memberikannya kesempatan di depan mata, melalui Mahen yang ternyata bertanya dan tahu lebih dulu.
“Sebelumnya, maaf. Kakak gak maksud sembunyiin apa-apa dari kamu, memang ada niat untuk kasih tau. Nunggu timing yang tepat aja, sih, tapi karena kamu udah nanya duluan ya udah...”
“Kakak lagi dekat sama dia...” “PDKT?” “Gak yakin bisa dibilang gitu, tapi...ya, kami dekat. Aku gak mau kepedean, tapi sejak awal tingkah dia memang nunjukin kalau ada ketertarikan. Aku juga gak munafik, kalau aku tertarik sama dia.” “Semacam gayung bersambut? Mutual feelings?” “Belum bisa diyakini seperti itu, unless ada statement atau ikatan status.” “Lalu sekarang, apa yang kakak rasa kalau lagi di dekat dia?” Azalea tersenyum malu, “Bahagia, nyaman, gak perlu khawatir selagi aku ada di dekat dia, berasa dilindungin, ada yang ngawasin, tapi aku tetap bisa jadi diri sendiri. Ibarat burung yang terbang bebas, mau sejauh apapun atau melakukan apapun pasti baliknya ke sarang yang ada di pohon dan bukan ke kandang.” “So you're that free as a bird, gitu? Gak merasa dikekang atau diatur?” “More or less, iya. I can't exactly describe it in any other form of words, but maybe...“ “...maybe?” “I love him.“
Mahen pun ikut tersenyum, dalam bentuk senyum lega karena dugaan baik yang sempat dipikirkan benar adanya.
“Kakak sadar, gak? Belakangan ini kakak kelihatan jauh lebih bahagia, lebih ceria, you're back just as how you used to be. Somehow, aku senang. No more sorrow, no more sadness, yet I also need to know what are reason(s) behind that. Tiap aku mampir ke sini, atau kakak pulang. Hampir di semua kesempatan aura kakak tuh, beda. I believe orang yang gak peka juga bisa “ “...sadar, Mahen. Aku sadar betul, tapi lebih milih diam karena gak mau yang gimana-gimana dulu. Biarin ini berjalan, sampai ada kepastian yang bisa kakak dapatin.” “Kepastian...hubungan?” “Perasaan dan hubungan, juga keyakinan untuk ke depannya.” “Wait... Apa jangan-jangan pas awal kalian ketemu itu belum ada rasa sama sekali?” “Bagi dia, mungkin udah. Bagi aku, belum. Aku lihat dia sebagai senior, rekan kerja, sekaligus atasan di tempat kerja aja. Baru ngerasain perasaan aneh ini sejak beberapa waktu belakangan intensitas komunikasi meningkat, we have so many common interst. Mulai dari jenis anjing yang kita pelihara, taste about entertainment things, makanan, beberapa hobi, tapi yang paling penting itu sepaham.” “...sepaham gimana, kak?” “Untuk beberapa hal dan topik serius yang entah dari mana tiba-tiba dibahas, kita punya visi dan misi yang sama. Itu yang paling penting, mana soal masa depan juga...” “...yang mana bang Damar gak punya akan hal itu?” “Iya...”
“Tapi, aku gak mau banding-bandingin sama Damar. Karen once said, mereka adalah orang berbeda. Itu benar, dan sejak saat itu aku mulai fokus untuk Tantra. I want to know him more dengan caraku sendiri, dengan mengenal dia lewat interaksi langsung.” “Berarti, bang Damar udah gak ganggu pikiran kakak lagi, kan?” “He was mine, Mahen. Itu masa lalu, just my other past. Tinggal gimana sekarang aku harus bisa milah-milah hal aja, mana yang perlu dibuang dan mana yang harus dipetik sebagai pembelajaran dalam hubungan.” “Kalau nanti bang Damar pulang, dan datang nemuin kakak lagi, apa yang bakal dilakuin?”
Azalea terdiam sesaat...
“I don't know, belum kepikir. Fokus aku saat ini Tantra, sisanya biar mengikuti sambil berusaha diseimbangkan.” “Boleh aku sampaikan sesuatu ke kakak?”
Setelah diam, sekarang Azalea yang kaget karena Mahen tiba-tiba masang raut wajah serius.
“Apa...?” “Aku gak akan biarin bang Damar ganggu kakak lagi, udah cukup dia messed up kaya gini. Terlepas dari sebab kalian berakhir itu memang ada salah dari masing-masing, tapi jangan sampai terulang kembali.” “...berarti kalau Tantra itu lamar kakak, bakal diterima?”
Senyum Azalea kali ini bukan seperti senyum Mahen yang lega sebelumnya, tapi senyum penuh arti dari lubuk hati yang terdalam. Hal ini tentu membuat Mahen mengetahui jawaban atas pertanyaannya barusan.
“You know the answer”, yang malah dibalas dengan tundukan kepala cukup dalam.
“Hey, kenapa?”, tanya Azalea heran sambil mendekat guna mengelus lembut kepala sang adik. “Agak gak siap aja kalau kakak harus jadi milik orang lain...” “Mahen, dengerin kakak. Coba lihat sini dulu, jangan nunduk gitu.”
“You're a teenage on a grow up phase, perjalanan kamu masih panjang berikut kedewasaanmu juga. Beda sama aku yang udah ada di tahap ini, I'm on this age phase di mana menikah itu memang udah masanya. Sooner or later, you'll be at my phase right now too. You'll understand later, karena pada ujungnya kita berdua akan punya keluarga dan pasangan masing-masing...“, pernyataan ini membuat Mahen berkaca-kaca sekaligus mendapat sebuah paham baru yang disadarinya.
“There's always unreadiness before the readiness, tapi sampai saat itu tiba kakak selalu di sini sama kamu. Even after nanti kakak berkeluarga, aku tetap kakak kamu. Gak akan ngerubah banyak hal, kecuali pembiasaan diri aja sama hidup masing-masing. Ok? Don't cry...“ “I rarely cry, but this one is a special occasion”, lalu keduanya tertawa. “Kamu sadar, gak? Dari tadi kamu ngasih pertanyaan bertubi-tubi, aku tahu kamu lagi ada pikiran. Apa ini bikin kamu kepikiran?” “Yeah, sort of. Tapi dengan kakak jelasin tadi, aku paham, kok.” “Lagipula, gak akan secepat kilat. Semua, kan, butuh proses.” “Ya iya, sih. Tau-tau dalam hitungan bulan kalian tunangan, kan aku juga harus siap, kak.” “Hahahaha, yang terbaik aja. Aku ikut rencana Tuhan.” “Tapi, kak...” “Apa...?”
Mahen diam sejenak, hendak berpikir untuk mengolah kata-kata yang sekiranya pantas untuk disampaikan ke sang kakak. Bukan apa-apa, karena atas apa yang sudah ia tahu hingga kini membuatnya merasa perlu memberi tahu Azalea agar dapat berhati-hati sekalipun mantap dalam urusan hati.
“Kadang, aku suka deep talk dan curhat sama temen-temen kampus. Gak jarang juga suka cerita soal kehidupannya di rumah, termasuk masalah keluarga. Ada beberapa dari mereka yang orang tuanya cerai tapi gak berujung broken home, malah merekanya pandai buat ngatasin masalah sendiri dan jadi lebih dewasa.”
“Dari situ, aku bisa tarik kesimpulan kalau hubungan yang baik dan ngasih peluang besar untuk langgeng salah satunya adalah dari menerima. Kedua belah pihak nerima pasangan masing-masing baik itu baik dan buruk, berikut masa lalunya. Aku harap, sebelum kakak memantapkan hati nanti sama bang Tantra itu, kakak juga udah saling mengenal dengan baik. Entah masa lalu, atau luar dan dalamnya kepribadian dia. Meskipun gak paham banget, yang penting kenal dengan baik.”
“Aku cuma gak mau Kakak gagal lagi, it hurts to see you broken like before.“