Azalea: Lembaran Baru
Bolak-balik antara rumah dan apartemen jadi agenda wajib Azalea setelah menemui Yudha beserta calon istri. Bukan tanpa alasan, kok. Itu salah satu bentuk realisasi dari niat bulatnya, sesuai yang sudah disampaikan ke mereka. Bahwa ia akan merelakan Damar, melepaskan Damar, dan akan membuka lembaran baru setelah apa yang dialami beberapa bulan ini. Bahkan sekecil apapun harapan tak bisa ia lihat...
Logikanya, Damar di Paris masih kurang lebih setengah tahun lagi. Berharap sih berharap, tapi namanya hidup terus maju dan gak melulu di situ-situ aja, kan? Selama kurun waktu itu juga pasti ada banyak hal yang akan terjadi, entah bakal merubah semuanya sesuai rencana atau melenceng dari rencana. Tidak ada hal yang pasti, begitu pula dengan perasaan. Mungkin kalau ceritanya dalam kurun waktu terdekat Damar pulang dan meminta maaf sambil menjelaskan semuanya, mungkin akan lain cerita. Tapi kalau setengah tahun ke depan, belum tentu. Ingat, ada Tuhan sang maha membolak-balikkan hati. Berangkat dari situlah, Azalea yakin atas keputusannya agar semua ini “selesai”.
Lantas, apa maksud dari bolak-balik antara rumah dan apartemen? Untuk mengumpulkan barang-barang yang selama ini jadi koleksi mereka berdua, utamanya pemberian dari Damar selama berpacaran. Sewaktu pindah ke apartemen, hanya beberapa barang yang dibawa dengan alasan supaya ruangan gak terlalu penuh sama barang. Barang lain yang sekiranya hanya sesekali dipakai pun ditinggal di rumah, yang penting barang-barang pokok dan sering dipakai itu ada.
Well, in fact ada lumayan banyak barang pemberian Damar yang sengaja dibawa ke apartemen. Salah satunya boneka Alpaca, yang didapat waktu Damar harus dinas cukup lama ke luar kota atas sebab Azalea sudah uring-uringan karena kangen di minggu pertama. Jadilah, Damar berinisiatif membeli sepasang boneka Alpaca secara online dengan pembeda di pita yang melingkari bagian leher. Pita merah untuk Damar, pita biru untuk Azalea. Harusnya, sih, kebalik. Damar berdalih, “ya anggapannya ini warna merah tuh betina, anggap aja ini kamu menjelma jadi Alpaca terus nemenin aku di sini. Nah, yang Alpaca pita biru juga sama di kamu.”
Terbukti, ampuh. Katakan ini lebay atau ekspresi apapun yang berindikasi anti dengan kebucinan mereka, tapi faktanya Azalea cukup ter-comfort dengan cara itu. Meskipun akhirnya Damar pulang dan puas melepas rindu saat bertemu setelahnya, boneka Alpaca ini tetap jadi benda yang memberikan comfort tersendiri. Bukan hanya karena faktor pemberian Damar, tapi juga cerita di baliknya....
Sekarang, di sinilah Azalea. Duduk diam di pinggiran ranjang kamar apartemen, yang sejak kemarin ruangannya terdapat beberapa dekorasi ringan. Bukan, dia gak lagi ulang tahun, tapi dalam rangka mengingat hari jadinya dengan Damar.
Ada balon tiup kecil warna-warni tersanggah di salah satu pojok kamar, beberapanya sudah mulai kempes (gak jauh beda sama Azalea yang nampak lifeless dalam beberapa waktu belakangan). Di sebelahnya, ada sofa empuk yang pernah jadi spot favorit mereka untuk bersantai. Jangan berpikir aneh-aneh, kalau lagi burn out dengan kerjaan dan butuh sumber energi yang lebih mereka sesekali akan cuddling di sana dan saling menenangkan satu sama lain. Teringat akan hal itu, Azalea dilanda rindu (lagi).
Tanpa kecuali barang perintilan lain di bawah sofa yang sengaja ditata rapih: boneka, aksesoris kembaran, dan beberapa buku. Azalea menatap semua benda itu, namun rasanya malah jadi benda-benda itu yang menatap dirinya balik selayaknya souvenir: menjadi kenang-kenangan semata.
Ingatannya kembali berputar ke memori saat awal-awal pacaran, hingga memori akan suatu momen di mana Azalea yakin bahwa Damar adalah “selamanya”. Sekuat apapun memori itu, nyatanya masih lebih unggul memori saat dirinya sudah tak sanggup untuk melanjutkan hubungan. Memori yang menunjukkan bahwa semesta seakan mendukung, patah hatinya linear dengan hujan deras dan gelapnya langit.
Orang lain mungkin akan beranggapan aneh, tapi bagi Azalea ini adalah suatu “kompensasi” dan upaya untuk berdamai dengan kenyataan. Membiarkan diri untuk merayakan hari jadi masa lalunya dalam kesendirian, mengenang semua memori indah bersama meskipun sesekali terbesit satu pertanyaan, “apa Damar juga ada mikirin aku selama di sana?”
Mengenang momen di mana ia merasa harapannya melambung tinggi dengan cinta yang Damar beri, dibarengi dengan melihat riwayat percakapan di ruang obrolan. Berikut dengan pesan yang terakhir kali Damar kirim? Tentu. Azalea membaca semuanya, walau fitur read receipt dinonaktifkan. Setidaknya, pesan-pesan sebelum ia memutuskan untuk mengganti nomor ponsel terbaca. Tenang saja, pesan-pesan itu ia baca hingga titik...sambil menganggap bahwa dirinya terlalu sabar dalam menghadapi ini. Sabar dalam artian bodoh karena telah sabar, karena sabarnya ini hanya untuk sesuatu yang seharusnya tidak ia maklumi. Foolishly patient, singkatnya. Berakhir pada ingatan teramat manis pada anniversary tahun ke-3 pacaran, keduanya mendapatkan first kiss yang, jujur, masih sulit untuk Azalea lupakan...
“Damar Kiano, aku ucapkan terima kasih untuk semuanya. Sudah cukup untuk mengenang dan longing tentang kamu, masih ada sekelebat memori yang susah untuk sirna tapi akan tetap aku upayakan untuk berdamai. Aku cuma mau bilang kalau aku masih mikirin kamu, bahkan hingga saat ini. Mungkin awalnya aku berharap kamu melakukan yang sama, tapi mengingat aku ngelakuin ini semua untuk terakhir kalinya...aku gak masalah. Terpenting, kamu baik-baik aja dan tetap jalani hidup serta mimpi kamu.”
“Maaf, karena aku benar-benar ingin buka lembaran baru. Aku gak bisa kalau harus hidup dengan hal-hal yang terkait sama kamu, jadi...aku...masih gak tau ini semua bakal ke mana. Maaf dan makasih, Mar. Alpaca, Rabbit, Hamster, I'm sorry...mulai besok dan ke depannya aku coba cari rumah yang layak buat kalian, ya?”
“It's a real good bye, Damar. Thank you...”
Monolog selesai.
Tapi, ketika lampu padam dan selimut sudah terbalut penuh untuk pergi tidur, ingatannya malah tertarik ke momen lain. Mungkin saking dalamnya mengilas balik memori sebelumnya, tanpa sengaja malah teringat saat bertemu dengan pria itu.
Pria bernama Tantra, yang tiba-tiba muncul di benaknya bahkan saat calon istri Yudha bertanya tentang kedekatannya dengan seseorang. Baru sekarang ia sadari, hingga bertanya-tanya, mengapa harus pria itu yang teringat pada momen seperti ini?