Azalea: Melepaskan

Image

“Aku gak sanggup lagi, Mar.”

Kalimat final yang Azalea ketik di ruang obrolannya dengan Damar. Kalimat yang merupakan hasil dari pertimbangan panjangnya. Kalimat yang jadi output atas tak kunjung adanya kejelasan dari seseorang di seberang sana, di daratan Eropa, entah sedang apa, dengan siapa, atau bahkan apa yang sedang dipikirkan (yang jelas, Azalea merasa tidak mungkin kalau orang itu juga memikiran hal sama sepertinya saat ini).

Juga, sebuah kalimat final untuk hubungannya dengan Damar, yang sekarang adalah mantan pacar sejak pukul 5 pagi tadi.

Menjalani 7 tahun hubungan pacaran, suka dan duka terlewati, tawa dan tangis yang dinikmati, semua berakhir dengan ketidaksanggupannya. Bukan tanpa sebab, karena wanita mana yang sanggup bertahan dalam jangka waktu lama untuk hubungan yang tak tahu ke mana akan berlabuh? Sebagaimana perumpamaan klasik: dua insan yang menjalin asmara ibarat perahu, kalau hanya salah satu yang mendayung maka akan timpang dan mustahil sampai tujuan dengan baik. Begitu pula dengan hubungan, kalau hanya berat di salah satu pihak atau hanya salah satu yang berusaha maka tidak akan seimbang dan besar kemungkinan goyah.

Lelahnya Azalea sudah berakumulasi. Lelah menunggu kejelasan: sekalinya dikejar dan dihampiri, berujung nihil. Lelah dengan perjuangan sendirinya. Lelah dengan perasaan yang kian hari semakin dirasa sepihak. Lelah dengan hubungan jarak jauh. Lelah, hingga akhirnya ia harus memilih.

Perpisahanlah yang diputuskan.

Ruang obrolan bernamakan Damar itu sudah hasil diubah dari yang sebelumnya terdapat emoji hati berwarna merah di ujung nama, namun tetap saja, ada atau tidaknya perubahan tidak merubah rasa kalutnya saat ini. Air mata kerap menggenang dan sulit untuk ditahan, jatuh dengan bebas membasahi wajah.

Atensinya kini beralih pada galeri di ponsel, spesifik tertuju pada satu folder yang dikunci menggunakan sandi: rahasia. Isinya adalah foto-foto Damar selama mereka pacaran, yang memang sengaja disimpan dan dikumpulkan sebagai memori untuk dikenang. Tak pernah sekalipun terpikir olehnya kalau folder ini akan menjadi luka tersendiri hanya dengan dilihat, karena tujuan awalnya murni untuk mengumpulkan momen. Siapa tahu, kelak bisa bikin before-after dan bahannya lengkap. Tapi nyatanya, takdir berkata lain...

Semakin “tenggelam” ke bawah, semakin banyak momen yang memaksanya untuk kilas balik. Bagaimana tidak, foto-foto yang ada tersusun dengan rapih sesuai urutan waktu dari yang terbaru hingga terlama. Mau tak mau membuat air matanya semakin deras, tapi ia tahan agar tidak menimbulkan suara mengingat waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi. Niat hati agar tidak membuat orang-orang menaruh curiga dengan matanya yang terlanjur sembab pupus sudah, karena semakin air mata itu ditahan maka semakin tak terbendung pula alirannya. Matanya terasa “buta” karena menahan kuat air mata itu, hingga menutupi penglihatan...

Azalea sayang, dan cinta (teramat cinta, bahkan) pada Damar. Tapi Azalea juga kini tersadar, bahwa Damar dan memorinyalah yang membuatnya seolah “kuat” untuk bertahan di tengah-tengah ketidakpastian ini. Memori, perasaan, dan kisah-kasihnya dengan Damar membuat sebuah harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Azalea terbiasa dengan segala kebahagiaan yang diberi dan diterima bersama Damar, hingga percaya akan kata “selamanya”. Tapi dengan keadaan yang berubah seperti ini, bisakah Azalea membayangkan bila semua itu harus disimpan dan ditutup rapat-rapat seiring dengan berakhirnya hubungan?

Jawabannya, tidak. Saat ini, semuanya terasa sulit. Mungkin, bagian hidup tersulit yang harus dilalui.

Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak: Apa bisa mengikhlaskan Damar? Apa bisa merelakan perasaan yang selama ini ada? Bagaimana caranya untuk terbiasa tanpa kehadiran Damar?

Sulit, teramat sulit.

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi saat matanya terasa lelah menangis, spontan Azalea membuka ruang obrolan lain guna menyampaikan izin untuk tidak bekerja.

Izin sakit: sakit hati.

Biarlah. Kalau memang semesta sedang tidak berpihak padanya, maka biarkan Azalea untuk memihak penuh pada dirinya sendiri. Untungnya mentari pagi bersinar terik, setidaknya bisa menghangatkan Azalea di tengah dinginnya perasaan.

Tak apa kalau harus berdiam dan mengurung diri sendiri di kamar, asal Azalea bisa jauh lebih tenang dan meng-comfort dirinya sendiri. Orang-orang terdekatnya pasti akan selalu mendukung, namun di satu sisi Azalea juga ingin egois untuk tidak merepotkan mereka dan memilih untuk mandiri.

Anggap saja, ini salah satu cara untuk berdamai dengan diri sendiri. Anggap saja, ini salah satu cara pintas untuk memahami situasi.

Well, Azalea terinspirasi dari perkataan vokalis band Paramore, Hayley Williams: “Because sometimes, we have to take a good fall to know where we really stands.”

Semoga dengan berlarut-larutnya dia kini yang disambi oleh upaya bangkit kembali, dapat membuatnya tahu di mana posisinya dalam fase hidup sekarang dan bagaimana harus bertindak ke depannya...

...tanpa menoleh lagi ke belakang.