Damar: Rindu dalam Asa

Image

“Maaar, kamu udah pulang belum, sih? Kok gak ngabarin? Aku nungguin tau.”

“DAMAR! Sakit kok gak bilang-bilang??? Aku worry banget, gak enak perasaan dari pagi. Yang dirasa apa, Mar? Udah minum obat apa aja?”

“Selamat istirahat, Damar. Aku sayang kamu ❤️”

“Mar, besok gak usah beli makan siang ya. Aku masak bekel dua, nanti aku antar ke kantor kamu hehehe.”

“Aku capek keliling terus, makan dulu yuk. Nanti kamu masih harus nyetir buat pulang, mau makan apa?”

“Damar Kiano, Azalea Kirana. Tuh, kan! Nama belakang kita sama-sama diawali huruf K, nanti kalo punya anak belakangnya dari huruf K juga gimana, Mar? Kayanya seru, hihi.”

Cekikan Azalea di ujung kalimat tadi mampu membuat Damar tersenyum. Namun sayang, semua itu hanya ada dalam ingatan dan tak bisa diulang untuk versi nyatanya. Bukan Damar yang mau, tapi semua bayang-bayang akan Azalea kerap mengintai dan semakin hari dirasa semakin menjerat.

Ya, Damar menganggap hubungannya dengan Azalea berakhir total: putus. Meskipun obrolan terakhirnya tentang ketidaksanggupan Azalea, tapi sebelumnya Damar pernah menyampaikan kalau ia layak mendapatkan apapun andai sang gadis menyerah. Maka dari itu, Damar yakin akan kesimpulan bahwa hubungan asmaranya telah berakhir. Hubungan yang baginya berakhir sia-sia karena tidak bisa mencari jawaban atas keraguan diri untuk lanjut ke tahap selanjutnya, tahap yang lebih serius untuk memiliki Azalea sepenuhnya dan mengikatnya sebagai pasangan sehidup-semati.

Putusnya mereka bertepatan dengan masa-masa Damar sibuk menyesuaikan diri di Paris untuk pelatihan 1 tahunnya, sehingga pada saat itu kesedihan Damar dapat terdistraksi dengan mudah melalui kesibukan. Belum lagi kalau ada kerjaan ekstra, di pikirannya cuma ada istirahat, istirahat, dan istirahat. Slot waktu untuk memikirkan hal lain? Gak ada.

Hingga tiba hari ini, genap bulan ke-6 Damar berdomisili di Paris. Bertepatan juga dengan bulan ke-4 sejak berakhirnya hubungan mereka, dan di saat inilah Damar merasakan puncak dari rasa sakit di hati. Lantas, kenapa baru sekarang?

Selain karena akhirnya bisa beradaptasi, juga karena panggilan dari bosnya di Jakarta yang menyampaikan bahwa kinerja Damar selama pelatihan 6 bulan belakangan sangat bagus hingga memberikan tawaran untuk mutasi kerja selama 3 tahun nantinya. Kalau kasusnya untuk pegawai lain, pasti tawarannya akan langsung diterima. Tapi tidak untuk Damar, tanpa ba-bi-bu dengan mantap menolak secara halus berikut alasan yang mendasari.

Alasannya diterima. Membiarkan orang tua sendiri di Jakarta, berjauhan dengan perbedaan benua dan zona waktu yang lumayan memang jadi faktor penting, hingga bosnya memaklumi. Namun bukan hanya itu yang membuat Damar berpegang teguh untuk tidak mutasi, melainkan Azalea. Kenapa?

Ia merasa, dengan tidak dapat memberikan jawaban menjadi suatu kesalahan untuk ditebus. Meskipun nasi kepalang sudah menjadi bubur, Damar berpikir bahwa setidaknya ia harus meminta maaf secara langsung dan bertanggung jawab atas kandasnya hubungan mereka. Ia tetap harus pulang, karena kalau menetap di sini dalam jangka waktu berapa lama pun gak ada bedanya seperti pengecut.

Damar boleh aja masuk golongan cowok tsundere yang kadarnya gak terlalu parah, tapi untuk perihal memahami Azalea sama sekali gak berlaku. Damar yakin, seyakin-yakinnya kalau di sana Azalea sedang berjuang untuk bangkit dari sakit hati, patah hati, dan segala keterpurukan yang ia sebabkan. Damar paham kalau Azalea adalah wanita yang kepalang mandiri, tapi untuk masalah hati ia yakin sang gadis tak sekuat itu...

...hingga mendadak bagian dadanya terasa berdenyut. Gelombang nyeri ia rasakan hanya karena membayangkan sosok Azalea dalam kondisi sekarang, dan dinginnya salju yang baru turun beberapa hari lalu di Paris bukanlah halangan. Bagaimana tidak kalau sejak tadi, sejak semua bayangan dan hal-hal tentang Azalea berkecamuk di pikiran, Damar berusaha keras menahan isak tangis. Ia juga baru menyadari kalau saat ini sedang duduk manis di dalam Paris Tremway yang telah membawanya berkeliling, hingga petugas memberitahu kalau ia sudah kembali lagi ke tengah kota sejak awal tidak beranjak dan mengikuti ke mana trem berjalan.

Pijakan kakinya meninggalkan bekas jejak di jalanan yang tertutup salju, tetap melangkah menuju flat yang ditinggali dengan langkah berat nan gontai. Persetan dengan istilah pria lebih mementingkan logika daripada perasaan, karena perasaan Damar sekarang kepalang gak karuan. Pria juga manusia dan punya perasaan, kan?

Membayangkan masih tersisa 6 bulan untuk pulang kembali ke Jakarta terasa berat dan cukup menyiksa, tapi tak lebih menyiksa dari fakta-fakta bahwa setibanya ia nanti kondisinya sudah berbeda.

Tidak ada lagi yang menunggu kabarnya sudah pulang kerja atau belum.

Tidak ada lagi yang heboh atau bereaksi lebih kalau ia sakit.

Tidak ada lagi ucapan sebelum tidur di malam hari.

Tidak ada lagi kiriman makan siang homemade yang dulu ia impikan untuk bisa dikonsumsi setiap hari kerja...

Andai Damar punya kesempatan untuk mengatakan sesuatu pada Azalea barang sekali, ingin ia sampaikan maaf dari hati yang terdalam. Maaf karena tidak merespon pesan terakhirnya di ruang obrolan, maaf karena tidak rutin menghubungi untuk saling bertukar kabar atau update kehidupan. Bahkan kalau bisa gak tahu diri, ingin Damar minta Azalea untuk mengakui kalau aslinya mereka masih saling sayang, masih saling cinta. Tapi nampaknya semua itu hanya dalam mimpi...

Sesampainya di dalam flat, Damar tak tahu apa yang harus dilakukan. Dibiarkannya lampu tidur menyala di kamar, satu-satunya sumber cahaya untuk menemaninya meringkuk di atas ranjang. Suara tawa gadis remaja yang tinggal di flat sebelah terdengar, membuatnya terngiang akan tawa renyah Azalea. Kalau sudah begini, Damar akan memanjatkan doa dalam diam: berdoa untuk kebahagiaan, kesehatan, dan keselamatan Azalea.

“Kalau nanti di sana kamu gundah gulana, terlepas dari apapun sebabnya, pastiin berdoa jadi hal yang kamu ingat dan dilakuin pertama, ya? Berdoa sama Tuhan itu kuncinya, karena Dia selalu ada untuk dengerin kita. Aku mungkin gak bisa nolongin kamu, tapi Tuhan pasti bisa dengan segala caraNya.”

Namun kali ini, Damar tak sanggup untuk menepati titah Azalea-nya itu. Tangis pun pecah tanpa bisa disembunyikan. Isakan dan senggukan berpadu, pecah menjadi jeritan hati seorang Damar. Ia tak sanggup lagi untuk menahan, bentengnya rubuh setelah 6 bulan berusaha menguatkan diri...

“Maafin aku, Lea. Aku minta maaf...”

“Tuhan, maaf...”