Do you feel the love?
Baik Rendi maupun Jero sama-sama gak ambil pusing soal Chandra, Haidar, dan Markus yang pergi duluan, karena faktanya hampir setiap kumpul di luar merekalah yang selalu pulang duluan (pengecualian untuk Markus yang keikutsertaannya occassional).
Setelah trio itu hilang dari pandangan, Rendi mulai ambil kendali. Kebetulan sekali, posisi mereka sudah berhadapan sejak sampai di sini...
“Jer.” “Hm?” “Kenapa harus bohong, btw?” “H-hah? Bohong gimana?” “Lo bukan ambil tugas, tapi lo nyamperin Fany di UKS, kan?”
Jero terdiam. Mau ngaku, udah kepalang tertangkap basah. Mau mengelak, udah gak bisa juga.
“Kan di grup si Haidar bilang, Fany sakit di UKS. Bohong lo kentara, tau.” “Ya mana tau, dengan gue gak konfirmasi iya atau enggak bakalan tetep rancu.” “Segitu udah bilang fix pake huruf x-nya banyak, Haidar udah serius kalo begitu. Wkwkwk.” “Hahaha...”
“Gue gak tau ya mereka percaya omongan lo yang tadi apa engga, karena emang di grup lo gak ada nanggepin juga. Bisa aja mereka gak langsung percaya, tapi bisa juga percaya kalo ngeh beneran.”
“Tapi pertanyaan gue, kenapa harus bohong?” “...gak tau, Ren.” “Lo suka ya sama Fany?” “Hah???” “Walah, santai atuh, kang.”
“Bener? Lo suka sama Fany?” “Yakali, masa gue suka sama Fan-” “Gelagat lo menunjukkan demikian tapi, Jer. Gue gak bisa buat gak nanya.” “...terus kenapa? Lo suka juga sama dia?” “Astaga, bodoh. Enggak gitu, ini gue nanya. Kan kalian sahabatan, kalo lo suka sama dia berarti namanya sahabat jadi cinta!” “Hahahaha, aduh. Gak mungkin, kita tuh sahabat, Ren. Masa jadi suka, apalagi pacaran.”
Rendi memutuskan untuk berhenti bertanya, karena rasanya Jero sudah membuat benteng kuat-kuat untuk pertanyaan serupa.
“Fany di UKS sakit apa?” “Pingsan, belum sarapan. Dia lagi persiapan Pekan Raya Manajemen.” “Waduh, oke baik. Tapi kalau iya perkara itu, rasanya lo gak akan sampe panik dan lari keburu-buru sampe ngibrit ke UKS juga kali? Jarak ke UKS dari FISIP kan deket, ngapain lo rerusuhan? Khawatir, kan?” “Ya iya khawatir lah, masa-” “Khawatirnya temen biasa sama yang bukan tuh, beda. Nah, kasus lo ini tuh beda masalahnya. Harusnya gak akan sampe lari-lari, sih.”
Lagi, Jero diam. Bukan karena tertangkap basah, tapi kali ini rasanya ia terjebak dengan teka-teki dalam diri.
“Gini, Jer. Gue bukan suka sama Fany, bukan masalah itunya. Kalian sahabatan udah dari SMA, sampai sekarang. Gue adalah bagian dari golongan orang yang percaya kalau di antara cowok dan cewek tuh pasti salah satunya ada punya rasa, gak mungkin enggak. Perbedaannya ada di kadar sama pihak mana yang punya rasa duluan, apa kadarnya masih sedikit terus buru-buru menghindar biar gak makin banyak atau udah kepalang banyak jadi susah buat jujur dan pertahanin hubungan. Apakah si cowok, atau si cewek yang punya perasaan duluan. Gitu.” “Tapi gue gak ngerasa begitu, Ren?” “Gue paham betul, elo tuh cowok yang mengutamakan aksi daripada kata atau janji. Nah, di sini tuh lo mungkin gak mengakui dalam diri, tapi perangai dan kelakuan lo menunjukkan demikian. Lo gak bisa bohong, karena gelagat lo kelampau jujur, Jer.”
Keduanya terdiam, Rendi yang merasa lega karena dugaannya ini akhirnya tersampaikan, dan Jero yang masih bertanya-tanya akan tingkanya yang...baru ia sadari mungkin betulan aneh?
Dirasa tidak nyaman, Rendi merapihkan satu per satu bawaannya ke dalam tas dan siap beranjak ke luar. Tapi sebelum itu, ia memastikan agar sisa pizza 500 cm ini dibungkus untuk kemudian mereka bawa ke rumah masing-masing. Selang waktu menunggu pelayan datang, Rendi berucap dengan final...
“Gak maksud interogasi gimana-gimana, Jer. Tapi mending coba lo cari tau dulu, lo ke Fany bener sahabat biasa apa jangan-jangan perasaan lo ke dia pelan-pelan muncul dan baru dirasa sekarang? Ada banyak temen gue yang ngalamin di posisi begitu dan akhirnya kalau gak renggang, ya putus pertemanan karena harus ngorbanin perasaan atau pacarnya (kalau udah ada).”
“Se-solid apapun persahabatan, selagi itu antara cowok dan cewek, gak mungkin gak ada apa-apa.“