First Love, is not always the first one...

19

Angka pada layar yang membuat lift terbuka, menyambut para pengunjung dengan papan penunjuk arah bertuliskan VUE paling besar.

Namira mengikuti arah menuju restoran, disambut pelayan yang standby di depan pintu masuk.

Good evening, is it your first time, walk-in, or made a reservation already?” “Hello, I…made a reservation under the name of Tio Julian.” “Let me check…. Yes, it is ready. Please come with me.

Walau agak ragu, Namira tetap mengikuti arah jalan pelayan itu. Restoran ini nampak sepi untuk hari Sabtu, dari penglihatan dia, sih. Karena para pelayan yang ada gak terlalu sibuk sampai harus bolak-balik dengan cepat, sebagian besar terlihat santai dan tetap dalam tugasnya. Sempat bingung karena harus melewati bagian dalam restoran yang cukup panjang, sampai akhirnya pelayan tersebut berhenti di bagian terluar…

Image description

Here is your table of two, currently no reservation, except yours, made for this spot, since nowadays Singapore is windy enough. But if you feel like you want to go inside, please don’t hesitate to call me. Have a nice meal, Madam.” “T-thank you, of course. Thank you so much….”

Pandangannya kini beralih pada meja yang ditunjuk oleh pelayan, dan terheran-heran…

Pasta dan Diet Coke, masing-masing tersaji 2 porsi.

Namira bingung, ini restoran mahal tapi menu yang disajikan standar…? Bukan maksud matre, tapi andai iya ini bakal dipakai Tio, kliennya apa gak kurang ajar ngasih menu makanan cuma kaya gini?

Tapi kemudian, keheranannya sirna…

Ingatannya kembali diputar ke belakang. Ia ingat, pernah nonton drama My ID is Gangnam Beauty, dimana kedua pemeran utama akhirnya pacaran sembunyi-sembunyi dengan setiap agenda nge-date pasti makan pasta sama cola. Maklum, latarnya memang anak kuliahan. Ia juga ingat, kalau ingin sesekali merasakan dinner dengan kedua menu andalan itu. Ia teramat ingat, pernah menyampaikan ini pada Johnny…

Matanya terpejam, berusaha menelan dan berdamai dengan memori itu. Terpaan angin malam mengalihkan perhatiannya menuju pemandangan di samping: Marina Bay Sands, Singapore Flyer, Esplanade, dan berbagai macam lampu yang menghiasi pusat kota ini.

As exactly as what she wants. Ini yang Namira mau, view dari atas dengan segala bentuk macam gedung tinggi dalam jangkauan mata. Sebenarnya, Namira bisa mendapatkan ini dengan merogok kocek sendiri. Tapi rasanya terlalu hambur kalau cuma untuk 1 orang, dan sepertinya setelah ini ia benar-benar harus berterimakasih pada Tio (dan kliennya?)

Soal Tio, Namira bingung kenapa dia belum kunjung naik. Angin malam semakin terasa kuat, walau tidak terlalu kencang. Hawa yang menerpa mulai memberikan efek dingin, kedua tangannya menyilang pada bagian lengan atas untuk menghalau angin yang datang.

“Dingin…”, monolog Namira.

Dalam hitungan sekon berikutnya, kehangatan perlahan menjalar. Namira merasakan jelas adanya mantel yang tersampir pada tubuhnya. Ia tersenyum, seraya membalikkan badan…

“Makasih, Ti-“

Image description

Untuk pertama kalinya, air mata Namira jatuh begitu lepas.

Namira terlampau kaku untuk merespon, fokusnya pun teralihkan.

Orang yang selama ini ia nanti kehadirannya.

Orang yang selama ini sukses mengalihkan seluruh atensinya.

Orang yang membuatnya sadar, bahwa hanya dirinya yang bisa memahami dan melengkapi satu sama lain.

Orang yang selama ini ia rindukan, hadir dalam jangkauan pandangnya.

Johnny terlalu rapih untuk konsep pakaian sederhana yang digunakan. Semakin rupawan ketika ia tersenyum tulus, dan menempatkan kedua tangannya pada lengan atas Namira penuh kelembutan.

Feel better?“, jadi kalimat pertama Johnny.

Suara yang akhirnya Namira dengar lagi sejak 1 tahun terakhir, lantas membuat air matanya semakin berhamburan.

“Maaf...” “Maaf malah jadi bikin kamu begini.” “Beberapa bulan pertama, aku lega karena mungkin dengan ninggalin semuanya di sini bakal bikin kamu lebih bebas. Bebas dari beban pikiran, sakit hati, sedih yang berlarut, semuanya.” “Aku cuma mikir, gimana caranya biar kamu terhindar dari masalah.” “Untuk yang kemarin, aku anggap itu masalah. Aku gak mau kamu terlibat lebih jauh...” “Tapi ternyata aku salah, malah bikin kamu lebih kesiksa lagi...”

Namira semakin terpejam ketika kedua tangan Johnny berpindah ke pipi, seolah merengkuh wajah guna menghapus air matanya yang tak kunjung reda.

It's ok, marah sama aku kalau memang itu yang kamu mau.” “H-harusnya aku yang tanya.... Are you o-k...?“, tanya Namira terbata.

Melihat Johnny tak menjawab, Namira turut melakukan hal yang sama: menangkup kedua pipi pujangganya, menyalurkan seluruh rindu yang tertahan. Ah, bahkan sepertinya seluruh emosi dan bukan hanya rindu...

Johnny teramat merindukan sentuhan ini, sampai-sampai air matanya pun tak kuasa. Sejujurnya, 1 tahun ini berat untuk ia jalani walau kesehariannya baik-baik saja. Tangkupan kedua telapak tangan Namira bagai oasis, berhasil meluruhkan segala emosi dan benteng yang mati-matian ia bangun untuk bisa bertahan: untuk menguatkan hati tetap pada Namira, menguatkan diri sendiri agar bisa menemukan caranya untuk “pulang”.

Both of us not ok, tapi kamu lebih. Kenapa bisa kamu tahan ini semua selama 1 tahun, tanpa action atau apapun? Ketika aku, yang baru 2 bulan aja rasanya mau nyerah...”

“Yang bikin aku kesal, semuanya gara-gara keadaan yang beneran main-main sama kita. Aku gak tau bisa bilang ini ujian atau enggak, t-tapi...” “It's fine, semuanya udah kejadian. Udah lewat, harus kita terima. Aku minta maaf untuk itu semua...” “Then me too, I'm sorry...”

“Aku udah baca semua chat kamu, maaf gak langsung balas. Aku pikir, kamu butuh waktu. Semua chat kamu bukan sekedar ketikan, aku bisa rasain emosi dan patahnya kamu waktu kirim itu....”

Namira berusaha mengingat apa isi chat terakhirnya sebulan yang lalu, hingga...

I love you too, Namira...”

...I still do.

“Kamu gak perlu minta maaf, karena perasaanku juga gak berubah...even kita kepisah.”

I have a full trust on us, maaf aku terlambat buat sadarnya....”

Percaya atau tidak, kata-kata itulah yang sangat ingin Namira dengar walau selama ini gak pernah diutarakan. Namira selalu simpan itu sendiri dalam dirinya, dibarengi dengan segala panjat doa agar Johnny kembali padanya jikalau berjodoh. Semesta mendukung, doanya didengar, Namira tak kuasa menahan nangis dan berhambur ke pelukan Johnny. Sang pujangga menyambut, turut menumpahkan tangis dalam diamnya. Karena pelukan dan tangis tidak selalu tentang melepaskan rindu, tapi juga perasaan maupun kata-kata yang tak bisa disampaikan melalui ucapan...

...dan bagi mereka, melalui pelukan ini semuanya sudah terwakilkan.

Johnny memanfaatkan momentum melepas pelukan, menghapus air mata Namira dan menyampaikan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dia datang ke sini...

“Mira, aku gak bawa apa-apa ke sini. Tujuan aku memang ingin jemput kamu, karena aku gak mau kehilangan kesempatan lagi dan bikin kamu nunggu lama....”

“Aku baru landing dari US tadi pagi di Jakarta, setelahnya aku minta tolong Jamal buat urus semua koper dan Tio buat bantu aku di sini....”

“Aku pulang, Mir. I left Chicago dan gak akan balik lagi, unless ada keperluan....”

“Aku masih harus rintis karir dari awal lagi, tapi dengan bekal banyak freelance dan jaringan bisnis di sana, aku bakal tetap lanjut bantuin bisnis Mama di sini. Pekerjaan tetapku masih di kantor Papa, itupun masih probasi karena Papa sebentar lagi pensiun. Kantornya ngasih peluang, dan aku terima....”

Johnny sedikit tertawa sebelum melanjutkan, “This may be silly, Mir. Tapi aku sama sekali ngerasa unprepared. Aku urus pindahan udah sebulan belakangan, tapi untuk hari ini anehnya semua serba nuntut aku untuk spontan. Mungkin Tuhan lagi coba uji, seberapa serius dan yakinnya aku untuk hari ini....”

Flight yang aku pesan ke sini cancelled karena faktor teknis, cari penggantinya harus waiting list, sampai akhirnya dapat last seat untuk flight jam 11 siang.”

“Sampai sini, aku cuma bisa tidur, makan, ganti baju, siap-siap. Isi perut seadanya di MRT ke sini, gak sempat mampir ke mana-mana saking ngerasa momentum aku cuma malam ini aja.” “Kamu keliatan capek banget, ini jet lag, sih.” “Bukan apa-apa, dibandingkan harus kehilangan kesempatan....”

Johnny mengeluarkan secarik kertas berbentuk persegi panjang dari dalam saku celananya...

“Namira, aku gak bawa cincin, gak bawa kalung, gak bawa berlian, gak bawa barang berharga, atau perhiasan apapun.”

“Tapi aku punya tiket flight pulang besok sore, atas nama kamu, udah web check-in, seatnya sebelahan sama aku.”

Namira agak kaget, yang untungnya Johnny sadar dan buru-buru jelasin.

“Aku...itu, maaf, aku minta tolong Mark buat pesenin. Aku gak tau detail paspor kamu, jadi...ya....” “Mark tau...?” “Well, he's...“, Johnny agak ragu melanjutkan karena Namira mulai berkaca-kaca lagi. “Mark kangen kamu lebih dari aku, Jo. Kalau iya kamu udah hubungin dia...” “Iya, Mir. He's beyond happy, bahkan di telepon dia gak berhenti cerita banyak hal. Aku sampai kewalahan soalnya masih harus siapin ini itu, tapi dia masih ingin cerita banyak. Dia cerita juga kalau baru punya pacar, lucu waktu denger dia bilang kalau dia sayang banget sama pacarnya. Out of nowhere, dia langsung curhat….“, jawab Johnny yang membuat keduanya tersenyum.

“Aku gak bawa apa-apa sekarang, tapi aku mau jemput kamu pulang dulu. Anterin kamu sampai rumah, dan minta kamu buat temuin aku sama orang tua kamu...”

“Aku mau minta izin, buat pinang anaknya.”

“Kamu mau, pulang bareng aku?”