Keyakinan Tantra, dikabulkan Tuhan
Sesal yang kemarin ada memang sudah “ditutup” dengan keyakinan akan dipertemukan kembali. Tapi, apa jadinya kalau keyakinan itu terjadi? Nyata di hadapannya, hanya dalam selang waktu 2 minggu?
Siang ini pekerjaan Tantra selesai lebih cepat dan hendak pulang on time, tapi tiba-tiba Direktur-nya Azalea telepon kalau ingin bertemu fisik di ruangannya. Jadilah, Tantra menghabiskan sore hari dengan berbincang santai antara perihal pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hingga pukul 5 sore tiba, Direktur pamit pulang. Tantra urung turut serta karena kondisi jalan menuju apartemennya masih sangat padat, merokok jadi alternatif untuk menunggu (setidaknya) pukul 6 atau 7 tiba.
Office Boy menawarkan 3 pilihan: tangga darurat, basement, dan rooftop, dengan opsi terakhir dipilih Tantra sebagai tempat untuk “buang asap”. Baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, rungunya mendengar suara wanita yang...entah betulan berdialog atau sedang bermonolog ria. Angin sore teramat kencang hingga pintu yang tertutup di depannya bergetar, pun suara si wanita jadi teredam.
“Kok aku sedih, ya, harus lepasin kalian?” “Apalagi Bunny, kamu mirip banget soalnya...” “Tapi kalau dibalikin ke Papa kamu, gak sopan...” “Aku bukan Mama kalian lagi, hehe...” “Aku pikir dulu, ya, mau lepas kalian ke siapa dan ke mana? Aku harus jamin ada yang rawat, karena kalian semua lucu...”
Itu Azalea, sedang setengah-monolog dengan boneka dalam storage box berbentuk kubus. Ada 3 boneka dan pernak-pernik lain, yang merupakan pemberian sang mantan. Posisi duduknya membelakangi pintu masuk rooftop, bersila di permukaan semen halus, menghadap hamparan kota Jakarta berbalut gedung pencakar langit.
Ketika angin sedang tak berhembus, Azalea mengedarkan pandangan ke depan dan ke atas. Didapatinya cuaca yang cerah dengan lembayung menghiasi, serta suhu udara yang bersahabat menambah keinginan untuk berlama-lama di sini. Tapi, ia ingat kalau hari ini lupa bawa jaket. Semakin malam ia pulang, semakin berisiko untuk terpapar angin malam dengan ojek online tanpa jaket. Entah dorongan dari mana pula, boneka yang dipanggil Bunny itu diangkat sejajar wajah. Lalu tiba-tiba angin berhembus sekaligus kencang, mengejutkan Azalea hingga si Bunny terlempar ke arah samping kanan.
Saat pandangannya hendak fokus untuk mengambil si Bunny, tak jauh berjarak didapati sepasang sepatu pantofel hitam. Disusul tangan kekar yang terulur pelan untuk mengambil boneka itu, membersihkan sedikit bagiannya dari debu untuk kemudian dikembalikan pada Azalea -yang sayangnya tak langsung terlaksana.
“M-mas...?” “H-ha-i...?”
Shit, ngomong 'hai' aja susah bener. Kaki tiba-tiba kurang topangan, laki bukan sih lo, Ta?', gumam si pria.
“Mas k-kok, bisa di sini?” “Hm, t-tadi abis dari Pak Direktur. Iya, dipanggil mendadak mau ngobrol langsung di ruangan katanya.”
Ini gue nervous kayanya, please dia jangan tau. Perasaan gak pernah begini, terakhir juga kapan coba?!, ucap Tantra lagi dalam hati.
“Dari...kapan?” “Siang menjelang sore, saya juga heran kenapa Pak Direktur telepon. Ternyata ada beberapa hal yang harus dibicarakan langsung, beliau udah pulang juga.” “Terus, mas...?” “...saya bikin kamu kaget, ya? Maaf, in-” “Enggak, mas. Bukan maksud saya ngusir, tapi saya...bingung aja...”, yang akhirnya dijawab Tantra dengan penjelasan.
“Oh gitu... Biasanya pada di basement biar gak ketahuan, tapi pilihan mas bagus juga.” “Jelas bagus, saya ketemu kamu jadinya”, dan bohong kalau Azalea gak bergetar hatinya diucap begitu. “Mas Tantra suka gombal, ya? Dari awal ketemu guyonnya nyerempet gombal terus.” “Hehe, biar gak kaku aja. Kerja udah serius, masa interaksi begini masih serius juga. Kaku jadinya.”
“Oh, ini bonekanya.” “M-makasih...” “Kenapa di sini, sendirian? Mana anginnya gede banget.” “Gapapa...”, jawab Azalea dengan wajah yang mendadak ditekuk. “Untung kamu pakai setelan blazer lengkap, kalau enggak bisa masuk angin.” “Iya, lagi mau cari angin aja sambil nunggu macet agak terurai.” “Ditemenin boneka sama rumahnya...?” “O-h, ini, a-anu... Sebenernya ini semua mau saya hibahin, tapi bingung ke siapa. Kalau bua-” “Hah? Buang? Wah, jangan. Sayang banget ini lucu-lucu.”
Katakanlah Tantra sok tau, tapi dia yakin kalau semua itu adalah pemberian Damar yang gak ingin Azalea simpan lagi. Andai posisinya dia sebagai stranger atau teman baik, mungkin bakal menawarkan diri untuk dihibahkan ke saudara atau keponakannya. Masalahnya, kan, Azalea yang Tantra incar. Masa iya, andai kelak (amiiin yang kenceng!) Azalea berhasil “didapat” Tantra, lalu saudara dan keponakannya punya barang pemberian dari mantan sang pacar? Walah, gak lucu banget!
“Soalnya saya gak pakai lagi, udah bosen juga buat keep ini semua...” “Hm. Terus, ini dibawa ke kantor semua?” “Sengaja saya taro di kantor, sih. Sama sekali udah gak mau simpen di rumah, mana tau ada rekan atau tamu yang bawa anak ke sini bisa dikasih langsung.” “Udah ada yang dikasih?” “Belum, masih utuh...” “Mau saya bantu?” “...bantu gimana?” “Saya jadi donatur tetap untuk satu yayasan yatim-piatu, belum lama juga, sih. Terakhir visit ke sana, jumlah anak-anaknya bertambah. Perempuannya juga banyak, mungkin kalau dikasih ke mereka bisa jadi lebih bermanfaat.”
Kalau sejak awal pembicaraan Azalea kerap membuang pandangan ke berbagai arah (asal bukan lawan bicaranya), kini matanya nampak berbinar dan melihat tepat pada Tantra dengan decak kagum yang terpancar. Sorot matanya menyiratkan bahwa Tantra memberikan solusi yang selama ini ia cari, ibarat atlet lari sudah mencapai garis finish.
“Yang bener, mas? Saya mau banget! Yayasannya di mana, kalau boleh tau?” “Hmmm, somwhere in Jakarta Selatan juga. Gak jauh dari sini, tapi karena berkaitan dengan saya sebagai donatur tetap, agaknya kamu mesti datang sama saya juga.” “Gak apa-apa, mas. Kalau gitu andai nanti mas lagi mau ke sana, saya ikut, ya?” “Okay. Kalau dilihat-lihat, bukannya belakangan ini kamu masih sibuk...?” “Ah, iya juga...” “Simpan nomor saya aja, Za. Nanti hubungi saya kalau kamu bisa dan udah senggang, kapanpun itu.”
Mas Tantra VP, jadi kontak baru di ponsel Azalea. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih, dan bergegas turun ke bawah dengan Tantra berjalan di belakang. Selain karena ladies first, juga supaya Azalea tak terlalu terpapar angin. At least, itulah yang Tantra sampaikan.
Masalah saat ini adalah, Tantra tiba-tiba gak ada di belakang Azalea setibanya ia di lantai unit kerja. Rasanya aneh, tapi gak bisa dibilang sepenuhnya aneh. Ah, positive thinkingnya mungkin lagi buru-buru jadi langsung ke lift setelah keluar dari tangga dan gak ngikutin sampai ke ruangan.
Tapi kalau diingat-ingat lagi, ini kontras dengan apa yang terjadi pada pertemuan pertama mereka di acara launching waktu itu: Tantra menawarkan diri dan insist untuk mengantarnya pulang.
“Waktu itu keukeuh mau anter pulang, mana sweet terus gentle banget. Sekarang, ngilang kaya cowok dingin tukang ghosting”, Azalea ngedumel.
Dia gak tau aja, kalau di sudut lain dalam gedung yang sama, Tantra lagi kelojotan gak jelas nahan reaksi.