Mahen Penasaran, Yudha Menjelaskan
“Bang Yudha, ya?” “...Mahen?” “Iya, bang. Izin duduk di sini, ya.” “Yo, santai aja.”
Atas bantuan Takeru, pertemuan ini disepakati untuk berlangsung di hari kerja. Alasannya karena Mahen lebih nyaman begini supaya gak terlalu ketahuan, kalau weekend pasti ada aja yang nanya (entah orang tua atau kakaknya). Kalau hari kerja begini, bisa “nyaru” dan beralasan kalau ada tugas atau harus pergi ke suatu tempat demi memenuhi keperluan kuliah. Yudha juga gak keberatan, karena weekend adalah hari yang khusus di-plot untuk mempersiapkan pernikahannya yang akan berlangsung dalam kurang dari satu triwulan ke depan.
Mahen datang terlambat karena kelasnya bubar lebih lama dari biasanya, maka dari itu sapaan pertamanya pada Yudha terkesan canggung. Well, meskipun tanpa ada acara terlambat juga pasti canggung karena memang belum kenal. Tapi Yudha santai, ia tahu pasti kalau akan seperti ini. Ia menganggap pertemuan ini sebagai membantu yang “membutuhkan”, ditambah lagi Takeru yang menasihatinya “Bantuin aja selagi bisa, kalau masalahnya kelar juga lo dapat amal baiknya. Kasihan itu, mungkin adiknya lagi punya uneg-uneg yang gak dia tahu.”
“Kenalin, bang, saya Mahen.” “Yudha. Udah, gak usah canggung. Santai aja ya, anggap gue abang lo. Masa, ama abang gue lo bisa luwes, sama gue enggak?” “Hehe, ya beda, bang. Kalo sama dia kenal karena gue sering nongkrong di kafenya sama temen-temen kampus, udah lumayan lama. Sama lo, kan, baru sekarang...” “Iya, gapapa. Jadi, gue udah dikasih tau sama dia. Sekarang, yang mau lo tau lebih ke arah mana, nih? Soalnya gue terakhir komunikasi sama Damar itu udah hampir 6 bulan yang lalu. Udah lama banget, pas ngasih undangan nikah.” “Bang Yudha mau nikah, apa...udah nikah?” “Baru mau, 3 bulan lagi juga kurang, lah. Doain ya, hehehe.” “Pasti, bang. Semoga lancar dan tanpa kendala berarti, ya.”
“Sebenernya, lebih mau tau bang Damar ini posisinya sekarang bagaimana, sih, bang...”
Yudha menarik nafas panjang, karena... Jujur, perasaannya mulai sedikit gak karuan saking merasa kalau pertanyaan Mahen terlampau umum. Ingin cerita semuanya, takut salah. Ingin pelit, tapi kasihan anak kuliahan di depannya ini kaya lagi cari keadilan (seenggaknya, dari raut wajah Mahen yang Yudha baca demikian).
“Kalau boleh tau, nih, dalam rangka apa tiba-tiba lo penasaran sama Damar sekarang? Mengingat kakak lo sama dia udah putus hampir 1 tahun lalu...” “Handphone gue hilang beberapa bulan lalu, terus tiba-tiba belum lama ini ada junior di kampus nemuin di Perpustakaan. Masih utuh, gak ada cacat atau rusak. Pas gue nyalain, ada chat dari dia, bang.” “Berarti sebelumnya kalian cukup akrab? Kaya, suka kontakan gitu?” “Ya, iya? Gila kali, bang. Kakak gue sama dia pacaran 8 tahun, masa gak kenal. Hahaha, ya tapi sejak tau mereka putus gue udah hapus chat tanpa sisa, sejak denger kakak gue nangis-nangis gitu. Gak bisa gue liat dia sakit, ikutan sakit.” “Sorry to hear that, Hen.” “Makanya, gue mau tau. Ada apa gerangan sampai dia chat gue, tiba-tiba nanya kabar pula...”
Tarikan nafas dalam diambil Yudha, mendengar penuturan Mahen tadi membuatnya berpikir kalau dengan bercerita apa adanya dan apa yang ia tahu mungkin lebih melegakan daripada harus berburuk sangka. Karena nampaknya, Mahen serius akan hal ini.
“Damar di Paris, lo tau?” “Tau, pendidikan sekaligus kerja 1 tahun, kan?” “Iya, dan sebentar lagi bakal pulang ke Jakarta. Terakhir gue kasih undangan pernikahan, dia bilang bakal datang. Itu juga kalau dia serius.” “...berarti sebentar lagi?” “Iya.” “Dia...sorry kalau lancang, bang. Tapi, masih single?” “Gimana, ya? Move on aja kayanya susah.” “Hah?” “Ini gue terus terang karena lo sebagai adiknya Azalea, ya. Gue gak ada maksud adu domba atau hal lain yang jelek, tapi ini murni yang gue tau dan apa yang gue khawatirkan juga.”
“Secara eksplisit, dia nunjukin kalau belum move on dari kakak lo dan bahkan sampai sekarang mungkin masih berharap sama kesempatan ke-dua. Dia cuma yakin kalau dengan mencoba dan berusaha sekali lagi, dia masih bisa dapatin maafnya Lea. Dia sadar penuh kalau ini kesalahan dia, udah sadar kalau semua sebabnya ada di dia. Jadi, kasarnya, dia ingin pengakuan 'dosa' di hadapan kakak lo. Bahkan kalau harus bersimpuh atau cium kaki juga dia bakal lakuin, yang mana itu bikin gue khawatir juga.” “...wow?” “Kaget, kan? Apalagi gue waktu di chat langsung, ikutan sinting rasanya.” “Gue gak tau harus bilang apa...” “Pikiran pertama gue waktu baca itu, wah gila ini. Udah gue nasihatin dari baik-baik sampai ngegas, dia tetep bersikeras. Kemudian gue juga sadar, nih... Keras kepala dan egonya dia cuma bisa ditaklukin sama fakta, kasarnya sih biarin dia ngerasa pahitnya sendiri gitu, loh. Pada akhirnya, gue kasih ultimatum aja.” “Berarti, nanti dia tetep bakal pulang demi hadir di acara nikahan lo kan, bang?” “Andai iya, selain itu juga mungkin buat usaha nemuin kakak lo. Biar bagaimanapun, Damar itu pulang. Dia emang asalnya di sini, jadi kalaupun dibilang ancaman banget ya gak bisa....”
Mahen terdiam sesaat, ia tak menduga kalau akan se-serius ini masalahnya. Gak heran kalau kakaknya menangis dan bersedih berlarut-larut, kalau dilihat dari sisi Damar juga ternyata sama kacaunya...
Hening tercipta cukup lama, dan Yudha sama sekali gak terganggu. Ia paham Mahen masih kaget, dan Yudha akan membiarkan ini mengalir. Setidaknya, sampai Mahen yang membuka suara kembali...
“Kalau gitu, paham, deh. Kenapa bang Damar tiba-tiba chat gue, kenapa kakak gue sedih berlarut-larut, dan kenapa perasaan gue mendadak gak enak sejak bang Damar chat begitu... Makasih banyak, bang Yudha.” “Yakin, udah cukup, nih?” “Kayanya mending dicukupkan, bang.” “Oke, sama-sama. Terus, abis ini lo mau gimana...? Gak mungkin, dong, setelah lo penasaran mampus gitu gak akan ada reaksi atau tindak lanjut?”
Mahen menarik nafas dalam (lagi), yang entah sudah ke berapa kali dalam kurang dari 1 jam.
“Jagain kak Lea dari bang Damar.” “Jagain...?” “Sebisa mungkin, mereka jangan ketemu.” “Kalau takdir berkata lain...? Lo gak bisa mengelak takdir Tuhan, kalau memang ternyata mereka harus ketemu, entah untuk menyelesaikan masalah atau hal lain, gimana...?” “Enggak tau. Sementara ini cuma itu yang bisa kepikir, selebihnya asal kak Lea gak sedih-sedih lagi. Sakit hati liat dia begitu, gue gak mau itu terjadi lagi...” “...okay. Terakhir, kalau gitu. Boleh gue tau dari sisi Lea kaya gimana, perkara masalahnya mereka putus? Karena selama ini, kan, gue cuma tau dari sisi Damar.” “Kalau dari gue, sih, mungkin kak Lea ada salahnya juga. Ya, mungkin dari cara dia buat minta diseriusin kurang berkenan di bang Damar. Tapi namanya cewek, kalau gak ada kepastian mana betah gak, sih? Mungkin udah puncaknya juga nahan-nahan, imbasnya ke perasaan dan rasa percaya. Semua yang baik malah jadi sia-sia dan gak ada artinya, lebih ke situ, sih. Soalnya gak pernah cerita ke gue atau orang tua sama sekali, selama ini mungkin lebih sering nahan sendiri...”
Yudha dan Mahen resmi sepaham. Mereka mungkin orang di luar cerita Azalea dan Damar, tapi merekalah yang memiliki empati dan bonding secara tak langsung hingga kondisi dan keadaan mengharuskan mereka menjadi “jembatan” di balik layar benang kusut ini. Namun setidaknya, sekarang mereka sudah tahu harus berlaku apa dalam posisi masing-masing...
“Gue udah nasihatin Damar, kalau emang nanti dia berlaku di luar batas, lo bisa lakuin apa aja selagi itu lindungin Lea. Gue udah lakuin yang seharusnya sahabat lakukan, tapi kalau nyatanya dengan nasihat dan gertakan juga gak mampu...mungkin jalan terakhir buat dia ya dengan digertak sama kenyataan dan takdir.” “Tanpa perlu diminta, pasti bakal gue lakuin, bang.”