Pertikaian yang Tak Perlu
“Tian, kata gua lo mending behave deh. Bang Lucas itu udah sabar ngadepin lu”, celetuk Chandra. “Lah, dianya aja gak masalah. Kan dia suka ngelawak, gue juga bercanda kok.” “Ya tapi lo gak tau waktu, lagi diarahin teknik main malah motong ucapan.” “Lo kali yang keganggu?” “Susah dah”, dan Chandra pun berlalu, minggir ke sisi lapangan saking kebelet minum.
Sisa Tian dan beberapa anak lain yang asik sendiri dribbling bola basket, sampai tiba-tiba Chandra berdiri dan jalan balik lagi ke lapangan…
“Halo semuanya, boleh tolong kumpul agak tengah sedikit? Mau ada pengumuman sebentar nih”, teriak Lucas.
“Oke, sore semuanya. Salam kenal, buat yang belum kenal atau tau gue. Gue Markiano, biasa dipanggil Mark atau Mahen. Bebas mau panggil apa senyamannya.”
“Sok kenal…”, cicit seseorang, masih tidak terdengar oleh semua orang.
“Gue di sini sebentar aja, langsung ke inti. Sebagaimana yang udah kalian tau, kepengurusan tim basket bakal ganti. Gue bakal berhenti, dan penggantinya soon diangkat sesuai hasil voting kalian juga.”
“Tapi yang mau gue tekanin di sini, gak ada yang namanya gila hormat. Kita semua sama, dengan respek dan tenggang rasa yang bagus justru bakal bisa bangun tim dengan mudah. Jadi gue harap, please pay respect to each other. Tapi utamanya, behave and be nice. Bisa dipahami semuanya?”
“Bisa, bang.” “Bisa, kak.” “Siap, Mark.”
“Oke, gitu aja. Setelah ini lanjut latihan intensif, karena turnamen sisa 1 bulan lagi. Ditambah kuliah sehari-hari, dijalanin, gak akan berasa. Jaga kesehatan semuanya, stay focus dan tetap semangat. Sekian aja, terima kasih atas perhatiannya. Untuk ke depannya, bakal diampu sama Lucas.”
Kerumunan anak basket bubar, tapi enggak dengan satu mahasiswa baru bernama Septian Safeiro, atau yang biasa dipanggil Tian.
“Bang Mark”, celetuk Tian yang bikin Mark noleh. “Iya?” “Lo kan kaptem tim, kenapa gak ngelatih? Bukannya lo yang harusnya masih ambil peran sebelum turun tahta?” “Ada hal lain yang mesti gue urus, dan ini masa peralihan. Jadi, sah aja. Ada masalah?” “Oh, kirain. Urusan apa? Pacarnya ya?”
???
Mark bingung, dong???
“Apa urusannya ya?” “Nanya aja sih.” “Kalau gak ada yang ditanya lagi, gue cabut. Jangan lupa, fokus.” “Seenggaknya main lah, sini.” “Lain kali.” “Yah, keburu lengser.”
Sebagai seorang Leo, emosi Mark berhasil dibuat naik. Lucas merhatiin dari jauh, di balik pilar pinggir lapangan basket. Bahkan, suara antara Mark dengan Tian hanya bisa didengar mereka berdua.
“Ada masalah apa? Kayanya gue gak pernah senggol lo, apalagi maba.” Tian senyum miring, seolah meledek, “Kakak lo namanya Namira, kan?”
???
Siapa yang gak akan kaget kalau di posisi Mark???
“Dijaga dong bang itu kakaknya, jangan cuma bikin cowok sakit hati doang.” “Sebentar, maksud lo apa?” “Gara-gara kakak lo, abang gue jadi aneh tau gak. Pulang ke rumah selalu malam, libur beneran cuma weekend. Mana ada makan malam di rumah, lupa kayanya kalo makan malam juga bisa di rumah.”
Mark berusaha tenang… Berpikir… Kilas balik… Apakah ini pria yang pernah dia gap tempo hari waktu berkunjung ke apartemen Kakaknya… Karena sampai sekarang, Namira belum ada cerita apa-apa…
“Siapa emang abang lo?” “Tio, gak tau ya? Kasian banget gak diceritain.” “Denger ya, gue gak suka bahas masalah pribadi di forum umum kaya gini. Lo kalo ada urusan sama gue, ikut gue sekarang ke luar lapangan. Selesain.” “Di sini aja, bang. Orang gak ada yang liat juga, apalagi denger.” “Lo nguji kesabaran gue ya? Apa beneran cari ribut?” “Lah, santai. Gue nanya.” “Tapi lo ofensif, gue santai dan lo enggak.” “Ya udah, jagain kakak lo bang. Biar gak usah gatel sama abang gue lagi.” “Abang lo aja siapa gue gak tau, gak ada urusannya sama gue.” “Ada lah, itu abang gue. Gak terima ya digituin.” “Ya gue juga gak terima kakak gue dikatain gatel, lo tau apa, ha?!” “Apa? Nyosor gitu mau ribut?”
BUGH!!!
“Sa, ikut gua yuk.” “LAH, dari tadi nungguin kelas gue kelar?! Ngapain anjir?” “Gak tau, gua ngerasa kudu balik sama lo aja.” “Asli, Hen, lo aneh.” “Ya maka dari itu gua gak tau, mana tau gua balik sama lo ada hidayah ini.” “Eh, bentar deh. Gue chat Mark dulu. Takut nungguin kabar.” “...dia di mana hari ini?” “Kampus sih katanya, tapi ke hall basket.” “...ke sana yuk, mau gak?” “Ih, ngapain? Pulang aja ah.” “Please ayok, belom ilang nih gak enak perasaan gua. Mana tau dibawa jalan ilang.” “Huft, ya udah tapi jangan masuk banget. Jangan keliatan anak basket pokoknya.” “Kenapa dah? Lu takut di cie-cie-in pacarnya kapten basket? Hahaha.” “Ya salah satunya sih, tapi kalo udah ketemu dia yang ada gue makin kangen.” “Lah ya justru bagus kalo ketemu, kangennya ilang.” “Masalahnya udah niat mau main nanti weekend, gue sekalian pulang ke rumah abang juga. Mau dianter.” “Oooh, ya ud-”
Jarak FMIPA sama Hall Basket sebenarnya lumayan, tapi bisa potong jalan lewatin jalan setapak di antara beberapa gedung fakultas dan masjid.
Ucapan Hendery mendadak berhenti gara-gara dia dengar suara riuh, padahal baru juga sampai di bagian terujung dari gedung hall.
“Hen, kenapa berhenti?” “Denger gak...?” “Apaan?” “Itu suara berisik aneh banget kaya ada yang rib-”
“BANGSAT, MARK.”
Tepat kurang lebih 200 meter di depan mereka, Lucas lewat sambil misuh dan bawa air mineral di tangannya. Lewatnya sambil lari, rerusuhan. Mereka yang liat ikut panik, berujung ikut lari ke pintu utama hall.
BUGH!!!
“Mulut lo dijaga, yang lo ejek itu perempuan! Punya nyokap kan lo di rumah?! Mestinya ngerti gimana caranya hargain cewek!”
BUGH!!!
“Lo yang diem, badan kecil aja belagu!” “Siapa takut?”
BUGH!!!
“Woy, Tian! Udah anjir, elo yang cari gara-gara tapi malah bang Mark yang babak belur! Udahin!”, sergah Chandra. “Minggir, Chan. Gua-”
BUGH!!
Pukulan barusan dilayangkan Mark tepat di lengan Tian, berujung keduanya berbaring di lapangan. Harusnya, Mark berada di atas karena pukulan tadi sengaja dilayangkan biar Tian tersungkur dan Mark lebih mudah untuk menyerang. Maklum, perbedaan tingginya lumayan jauh. Tapi Tian langsung sigap, sampai akhirnya keadaan berbalik dan Mark berada di bawah. Tian semakin mengeluarkan tamparan di wajah Mark. Chandra terlalu mungil buat melerai, yang bisa dia perbuat cuma tarik badan Tian biar gak makin jadi. Seluruh anggota tim juga sama, tapi Tian terlalu kuat sampai Mark yang berusaha ditarik anak-anak lain pun susah. Tian mengunci pergerakan Mark...
“WOY ANJING, MARK!!!”, teriak Hendery di sebelah Lucas yang sama-sama berlari menuju lapangan. Nisa? Mematung tepat di pintu masuk...
“Udah woy, anjing! Lo apain temen gue?!?!”, spontan Hendery yang langsung narik Mark sekuat tenaga. Disusul Lucas yang ikut narik Tian, dan tentunya berhasil karena proporsi tubuhnya yang sepadan.
“Lo maba yang udah gue wanti-wanti dari awal, mulai dari nyeleneh, gak nurut, sekarang nyerang senior lo. Gue udah was-was di awal, bener aja gue tinggal beli minum langsung bikin ulah.”
“Lo semua saksi, gue gak mau jawaban sekarang tapi kalo nanti ketauan Akademik harus bersedia diminta keterangan”, final Lucas.
“Lo, Tian, pulang. Semuanya bubar, gue gak mau satupun ada yang tinggal. Mark, lo balik dianter Hendery. Muka lo gak memungkinkan pulang sendirian.” “Tapi bang-” “Masih mau tapi tapian lo? Buruan balik! Satu-satu keluar, biar gak ngundang orang-orang curiga. Gue gak mau tim basket kecoreng gara-gara ini doang.” “Bang, so-” “Balik lo, Chandra susul. Ikutin sampe semua keluar area hall.” “Iya bang, pamit.”
Chandra dorong Tian sampai akhirnya mereka semua keluar bersamaan, diikuti anggota yang lain tentunya. Sampai mereka hilang dari pandangan, barulah Lucas dan Hendery bisa ngeluarin ekspresi resah dan paniknya. Meanwhile, Mark yang sekarang ada di tangan Hendery gak bisa berbuat apa-apa. Matanya cuma bisa terpejam nahan sakit, badannya cuma bisa mengandalkan Hendery yang sedari tadi memangku, nafasnya pendek cenderung kesulitan, Mark sama sekali gak bisa apa-apa...
“Mark, Klinik aja. Gue gotong, piggyback juga gapapa dah. Lo babak belur anjir, parahan luka lo daripada dia.” “Ngadi-ngadi lu, Cas. Ke Klinik jalannya lumayan, lu mau dia ketauan babak belur sepanjang jalan?” “Ya abis mau kemana, UKS sini tutup soalnya tadi niatnya emang latihan do-” “Bawa ke UKS lab aja, p-please”, samber Nisa yang udah berurai air mata sejak tadi “nonton” dari jauh, sambil merapihkan isi tas Mark yang jatuh ke lapangan dan isinya bertebaran. “Sa, gapapa?”, tanya Lucas khawatir. “Udah gapapa, gue yang tanggung jawab. Lo tega liat dia kaya gini? Buruan bawa!”
Hendery kaget, gak biasanya Nisa bentak-bentak gini. Tapi dimaklumi, mungkin dia juga kebawa panik liat pacarnya babak belur gini. Masalahnya, darah ngalir dari sudut bibir dan pelipis...
“Iya, iya. Ya udah tuntun dari depan, gue sama Lucas bopongin biar gak kentara banget.”
Di tengah jalan, Mark terbata pelan, karena untuk berbicara pun harus nahan perih dari luka di bibir...
“S-sa...”, “Ssst, cewek lo abis ngebentak tadi. Dia panik, lu diem dulu aja”, sambung Lucas. “P-pulang, dia...” “Gak akan mau balik dia, kalo lu aja begini. Diobatin dulu, muka lo ngeri banget beneran”, usul Hendery.
Mark nurut, bukan sekedar karena Lucas & Hendery. Tapi tepat setelah Hendery bicara, pacarnya noleh sedikit ke belakang dan mereka temu pandang. Nisa terlalu iba dan sakit lihat kondisi Mark, begitupun Mark yang mencelos hatinya melihat Nisa dengan raut wajah penuh air mata bercampur rasa takut...