Pintaku, hanya maaf…
Gak sedikit orang yang familiar dengan kafe ini, yang kalau kata orang kebanyakan: hits. Suasana nyaman dan asri di tengah hiruk pikuknya Ibukota, layout yang diatur sedemikian rupa, hingga pemilihan lokasi yang strategis di Selatan Jakarta. Terakhir kali Namira ke sini waktu janjian sama klien untuk urusan pekerjaan, walau kali ini urusannya beda, entah kenapa suasananya mendadak asing…
Kesan pertama Namira ke sini gak lebih dari kenyamanan yang didapat, sampai rasanya ingin balik lagi cuma untuk me-time (dan belum kesampaian). Kali ini, ia gak paham, rasanya kelampau aneh dan campur aduk. Kalian tau, kan, perasaan yang berantakan gak jelas kenapa dan sebabnya? Karena, perasaannya kepalang gak enak, belum lagi beberapa kali dalam waktu belakangan ini dirinya kerap dijatuhi fakta-fakta yang selama ini gak dia tau.
Bagi Namira, semua fakta itu melegakan sekaligus pahit. Dalam artian, kenapa baru sekarang? Kenapa sekalinya terungkap harus bertubi-tubi bak burung ababil? Ingin rasanya Namira menentang kenyataan, ingin sekali bilang ”ayo, surprise me”, tapi masalahnya yang akan ia temui adalah Karen. Kehadirannya yang lebih dulu ada di kafe ini justru membuat Namira was-was, cenderung takut akan apa yang akan ia dengar. Bahkan saat masuk ke kafe ini, Namira cuma bisa jalan pelan sampai-sampai Markiano harus pegang pergelangan tangannya.
“Relax, kak. Aku di ujung pojok sana aja. Sights away, biar tetep bisa liatin dari jauh.” “Ok, aku ke sana.” “Kayanya, itu orangnya. Samperin ya, kuat, kok”, Mark mengakhiri sambil pegang tangan kakaknya erat-erat sebelum menuju ke tempatnya.
Namira berusaha setenang mungkin, syukurlah Karen menyambutnya dengan penuh hangat. Senyum yang ditorehkan secara gak langsung bikin Namira lebih rileks, bisa dibilang dia sukses mencairkan suasana. Entah apa karena ia tau Namira terlampau tegang, atau memang pandai mencairkan suasana…mengingat ia adalah orang yang berlatar belakang pekerjaan di bidang media khususnya entertainment.
“Namira?“ “Iya, salam kenal.” “Karen, duduk. Aku gak tahu kamu suka apa, jadi aku pesanin Frappe Chocolate. Semoga gak terlalu manis.” “Thanks, I’m a sweet tooth, actually.” “Datang…sama siapa, kah?” “Oh, itu, adik.” “He’s nice.” “He is, thanks.”
Karen terlihat menarik nafas dalam, yang dalam beberapa menit awal membuat suasana hening sampai Namira bingung.
“So…mau sampaikan apa?” “Mira, aku bakal jelasin semuanya sekaligus. Aku harap penjelasanku mudah kamu tangkap, dan kalau kamu mau tanya-tanya tolong tanyakan di akhir. Karena, apa yang mau aku bilang berlanjut. Aku harap, gak ada salah paham dan kamu bersedia dengerin sampai tuntas.”
Dari rileks, Namira balik tegang lagi…
“Aku minta maaf, penyebab kalian putus karena aku.”
“Johnny sama sekali gak pernah selingkuh dari kamu, mau itu dari atensi atau perasaan. Semuanya karena aku, yang waktu itu terlalu memanfaatkan Johnny karena cuma dia yang welcome sama aku. Dari semua rekan media, cuma dia yang masih mau berteman dan berlaku baik sama aku.”
“Kenapa? Karena aku dulu arogan, terlalu terlena sama fasilitas dan status dari anak pemiliki media itu, semua harus nurut dan harus bisa terpenuhi, apa yang aku mau harus ada. Padahal, Papaku gak terlalu peduli sama apa yang aku lakuin. Orang tuaku cerai, aku broken home. Papa cuma bisa kasih aku fasilitas, yang terpenting bagi dia cuma segalanya yang aku mau dan butuhkan terpenuhi. Meanwhile, aku juga butuh kasih sayang dan keluarga. Yah, walau udah terlanjur terpecah belah karena perceraian mereka…”
“Aku harus jujur, aku pernah kagum sama dia karena kebaikan dan keramahannya sama hampir semua orang. Sikap ramahnya juga bikin hangat suasana, dimanapun dia berada. Gak ada yang mengenyampingkan keberadaan dia, everybody knows him well…”
“…sampai akhirnya, Papaku maksa mau jodohin aku sama anak konglomerat. Aku gak mau dijodohin, sekalipun saat itu aku arogan dan terlalu sering ngegampangin keadaan. Bisa aja aku terima, toh, aku bakal lebih sejahtera dari sisi materi andai iya. Gak landaskan cinta juga gak masalah, seperti di drama klasik luaran sana…”
“Tapi, aku nolak keras. Aku tetep manusia biasa dan wanita pada umumnya, dengan kondisi broken home gini, aku ingin berkeluarga dengan pria yang aku cinta. Pria yang juga sayang aku, yang pada intinya pilihan sendiri dan bukan pilihan orang lain. Aku ingin ngerasain kasih sayang yang tulus, bukan semuanya di atas materi…”
“…yang saat itu, arogan terlalu menguasai aku. Sadar ingin hal itu, tapi gak bisa memperbaiki diri. Mana bisa apa yang aku inginkan itu didapat? Gimana mau dapat pasangan baik-baik kalau perangai diriku aja gak baik…?”
“Puncaknya, aku melakukan tindakan paling bodoh yang sama sekali di luar nalar.”
“Aku manfaatkan Johnny untuk masalah pribadiku, aku minta dia untuk selalu temani aku kemanapun sampai semua orang di kantor ngira kita pacaran.”
Nafas Namira mulai tersengal…
“Sampai akhirnya semua orang mengira demikian, dan jadi bahan gosip satu divisi…bahkan beberapa divisi terkait. Dan semuanya sampai ke Papaku, entah dari mana. Perjodohan itu mulai lenyap perlahan, sampai akhirnya Papaku gak peduli lagi.”
…dan merasa lebih tense ketika Karen memegang kedua tangannya di atas meja, menggenggam seolah ingin menyampaikan penyesalan sedalamnya.
“…dan ini hal paling biadab yang pernah aku lakukan, aku yakin aku pantas untuk gak diterima maafnya.”
“Untuk bisa jaga keadaan itu biar bertahan, aku…ancam Johnny untuk tetap terus temani aku. Kalau dia gak mau nurut apa mauku, aku ancam untuk sebarin berita buruk di media soal dia dan ancam untuk PHK dia dari kerjaan. Aku manfaatin koneksi dan kekuasaanku, biadab banget, kan?”
Namira mulai nangis tanpa suara, hanya tetesan air mata yang jatuh dalam diam…
“Tapi, memang dasar niat jahat itu pasti akan ada karmanya. Ibarat bangkai, bakal tercium juga baunya. Atau bahkan yang lebih sesuai lagi, seliciknya rubah bakal jatuh juga ke perangkap. Papaku tau kalau aku gak benar-benar pacaran sesuai gosip yang beredar, dia gak percaya dan besar kemungkinan dia tau dari hasil selidikan suruhannya. Dia kecewa karena merasa dibohongi, dan semua fasilitasku dicabut sampai aku dimutasi ke media lain yang jadi anak perusahaan. Aku jadi pegawai biasa, dari saat itu sampai sekarang, tanpa bawa-bawa nama besar di belakangku. Bisa dibilang, sekarang ini aku agak terseok-seok buat jalanin hidup. All by myself, berjuang bertahan hidup sendiri dari yang tadinya serba ada dan serba enak itu sulit…”
“Bahasa orang awamnya, aku jadi melarat dan turun takhta…” “T-tapi, dia pindah ke Amerika…? Kenapa bisa…kalau nyatanya begitu…?”, tanya Namira setelah berusaha keras menetralkan nafas “Aku kecolongan, Mira. Aku diatur sama Papa buat handle project lain setelah joint project sama Johnny selesai. Johnny libur, aku lanjut project lain. Disitulah, untungnya, Johnny ajuin resign untuk pindah. Aku baru tau kurang lebih 1 bulan kemudian, setelah projectnya selesai. Pokoknya, semua datang bertubi-tubi setelah itu, project selesai langsung ditampar kenyataan kalau hidup mendadak melarat, Johnny pergi tanpa pamit dan kontak aku di block, harus menyesuaikan dengan kehidupan baru.”
“Sempat stress di awal, dan butuh beberapa bulan lamanya buat bangkit. Sampai akhirnya sekarang aku mulai bisa terbiasa hidup sendiri, tapi…aku dirundung rasa bersalah yang teramat besar. Hampir setiap malam aku mimpi buruk, lalu aku coba cari tau sebabnya dan bermuara ke ke kamu.”
“Selain ke Johnny, aku juga punya rasa bersalah yang sama besar sama kamu walau kita belum pernah kenal sebelumnya…”
Kali ini Karen terlihat lebih rapuh, dengan mata yang sudah teramat basah oleh air mata karena rasa bersalahnya…
“Aku minta maaf, Mira. Maaf, aku manusia paling biadab yang pernah kalian ketahui…” “…w-why?”, cicit Namira pelan sambil sibuk menguatkan hati, yang entah kenapa otaknya mendadak menyuruh demikian “Dengan semua yang udah aku perbuat, Johnny bisa aja menolak dan ancam balik. T-tapi, aku baru tau belum lama ini dari Kak Putra, kalau…”
Ada jeda, Karen nampak seolah tak kuasa untuk mengutarakannnya
“Johnny gak menghindar dari aku, bukan karena alasan sederhana dia ingin bertahan dari pekerjaannya. Dia bisa aja dapat pemberitaan buruk di sini dan resign, terus lanjut bikin bisnis sendiri atau lanjutin bisnis orang tuanya. Tapi alasan dia karena kamu…”
“Dia ingin lamar kamu, tahun depan.”
Sesak. Teramat sesak sampai Namira rasa ia mati rasa. Ia hanya bisa memejamkan mata tanpa mempedulikan sekitarnya.
“Kak Putra bilang, dia baru tau setelah Johnny udah di Amerika. Dia jujur, bukan karena tinggal cari pekerjaan lain. Tapi lamar kamu udah jadi target dia di tahun depan dan gak bisa dia undur lagi, dia merasa udah waktunya kalian beralih ke jenjang yang serius. Kalau dia gak lanjut kerja, atau harus shifting kerjaan, target dia akan mundur. Dia harus nabung, yang entah untuk apa aja, demi target itu tercapai.”
Satu tangan Namira mulai pindah ke dada, mencoba menahan yang semakin bertambah seiring melebarnya penjelasan Karen.
“Parahnya lagi, Kak Putra gak tau soal ini sama sekali. Johnny gak cerita ke dia, cuma bilang kalau aku teman dan semuanya fine ketika aslinya aku udah ancam dia di posisi itu. Dia gak pernah cerita kalau aku ancam dia, cuma bilang kita berteman…”
“…dan aku harus berterima kasih juga sama sahabatmu, Jamal. Dia approach Kak Putra buat disambungin ke aku, berujung kita bertukar cerita dan informasi. I should also say, you’re very well blessed to have a friend like him, Mira…”
“Jamal bilang, kalau sama teman-temannya Johnny hanya meng-iya-kan kalau dia main belakang. Padahal, semuanya cuma ancaman aku belaka. Gak pernah Johnny ada intensi untuk berpaling dari kamu sama sekali, Mir. Aku geram, kenapa dia malah berlaku demikian dan bukannya jujur sama masalah yang dihadapin?”
“Dalam arti lain, he covered me up, but also protecting you at the same time. Jamal bilang, kalau Johnny pernah sampaikan dia gak mau nambah beban kamu. Maka dari itu, dia memilih keputusannya sendiri yang akhirnya seperti ini. Mungkin, waktu itu dia merasa belum ada cut off di antara kita, dia mungkin jaga-jaga kalau sewaktu-waktu aku bisa balik untuk approach dia dan keadaan makin buruk. Walau akhirnya gak seperti itu…”
“Selama ini dia nahan dan keep semuanya di diri dia sendiri, Mira. Mungkin juga dampaknya jadi ngerusak hubungan kalian, dia berusaha lindungin kamu tapi malah bikin dirinya sendiri rusak. Mungkin juga karena tekanan dan ancaman yang aku kasih, bikin mood dia gak enak dan bawaannya sensi sama kamu. Mungkin juga, dia berusaha mati-matian untuk keep kamu away dari permasalahan yang lebih rumit. Tapi ketika hubungan kalian udah memburuk komunikasinya, disitulah Johnny kena hit sampai kalian bertengkar dan gak nemuin jalan tengah…”
“I totally feel bad for him, aku merasa berdosa banget untuk dia… Maafkan aku, Mira. Aku wanita sama seperti kamu, I feel worse for this. I’m sorry because it shouldn’t be this way, pardon for my worst mistakes. Aku minta maaf, sebesar-besarnya. Maaf sudah merusak kalian sampai ke titik terhancur ini…”, akhir Karen dengan tangis.
Markiano, di ujung sana, terkesiap ketika melihat wajah kakaknya terlampau berantakan karena tangis. Ketika Namira beranjak berdiri, badannya sempat terhuyung hingga membuat Markiano lari untuk sigap menangkap kakaknya.
“M-mira…” “Thanks, Karen. Sekarang aku hancur…” “Mir-“ “Pulang, Mark.” “Sorry, kak, better di WA aja kalau masih ada yang harus diomongin. Saya pamit”, sela Mark pada Karen.
Markiano bingung, Namira terus-terusan menangis dalam diam. Hingga setibanya di apartemen, Namira langsung terduduk lemas di depan pintu utama, tepat saat Markiano menutupnya sepersekian sekon yang lalu.
Kali ini, sambungan emosi kakak-beradik nyata adanya. Markiano memeluk Namira, yang entah dari mana sebabnya, ia turut merasakan betapa sakit dan sesak perasaan kakaknya saat ini setelah mengetahui fakta dibalik semua masalah hati. Berakhir mereka saling memeluk dan menguatkan satu sama lain, terduduk di depan pintu…
“Mark….” “I’m sorry, kak… Aku gak bisa jaga kakak…” “Johnny…” “Kakak yang kuat, aku gak akan ke mana-mana…” “Mark… Aku mau Johnny pulang…” “I miss him, too, kak…”
…yang diakhiri dengan pecah tangis mereka berdua mengisi seisi ruangan.