Sampai di sini…
Aston Sentul mungkin jadi tempat singgah dengan memori indah sebagian besar penghuninya di penghujung minggu ini, bersantai tanpa beban bersama keluarga atau kerabat dekat dan melepas penat dari keseharian. Gak ada pikiran tentang pekerjaan, kuliah, sekolah, dan lain-lain. Berlaku juga buat Dimas, Jamal, dan Yuta yang udah sampai duluan dari teman-teman lainnya. Tepat di jam check-in ketiganya langsung masuk kamar dan saling bersenda gurau, yang mana cukup anomali karena Yuta biasanya jadi tukang tidur. Maklum, kerjanya mobile kantor-lapangan-kantor-lapangan. Gak kaya Dimas yang diem di kantor, atau Jamal yang di lapangan terus.
Kontras sekali kalau harus dibandingkan dengan tiga orang lainnya: Namira, Johnny, Tio.
Namira, yang akhirnya memutuskan untuk sewa supir kantor demi bisa ke Sentul sendiri (maksudnya, tanpa teman apalagi pacar atau siapapun itu). Mobilnya tetap mobil sendiri, karena dia sama sekali gak ada bayangan sesampainya di Sentul nanti bakal seperti apa ujungnya. Sepanjang 3 jam perjalanan di sore hari ini, pikirannya terus nerawang ke mana-mana. Ada banyak skenario di otaknya, mulai dari worst, good, sampai best scenario udah disiapin. Tapi kalau hatinya sih, gak tau. Buktinya, setiap sekian menit matanya kerap basah dan mati-matian ditahan supaya gak jatuh. Biar gak terlalu ketahuan sama supir juga, sebenernya…
Johnny, yang sepanjang perjalanan nyetir sendiri dan ditemani dengan radio di mobil gak bisa tenang dan hatinya sangat amat berat. Kata “uneasy” dan “heavy heart” udah paling pas buat gambarin keadaannya, raut wajahnya juga gak kalah tegang. Dia sama sekali gak ada bayangan apa yang akan terjadi nanti seketemunya dengan Namira, di dalam hatinya juga ada rasa rindu yang gak bisa dijabarin pakai kata-kata tapi terhalang ketakutan dan kegelisahan diri. Rasa menyesalnya semakin membuncah, karena sejak Putra marah-marah di chat dirinya seakan baru ditampar sama keadaan. Ada kebesit pikiran kalau dia seperti “dirasuki setan” saking gak sadar sama perlakuannya, tapi karena sudah terlanjur kejadian, mau diapakan? Mau gak mau, pasrah dan nerima keadaan berikut konsekuensinya udah jadi jalan paling tengah buat diambil…
Tio, kini berada di sebuah cafe sedang menelusuri foto sahabatnya sendiri. Entah apa yang hendak dicari, tapi nampaknya ingin mencari tahu lebih jauh tentang foto itu. Jarang sekali, seorang pria mau ngorek info se-niat itu. Tio cuma merasa kalau ada sesuatu yang salah, kalau iya sahabatnya itu melenceng terlalu jauh maka harus dikembalikan ke jalan yang seharusnya. Tio hanya ingin berperan sebagai orang baik di sini, tapi tetap tergantung hasil pencariannya nanti…
—
Tepat pukul 5 sore, Namira sampai. Langsung ambil kunci di lobby hotel dan segera masuk kamar, sengaja gak info Dimas, Jamal, ataupun Yuta. Sampai sini bukannya makin tenang, tapi malah makin gusar dan rasanya ingin segera pulang lagi. Jadilah, sesampainya di kamar ia hanya duduk di tepi kasur dan berbalas chat singkat…
Johnny Kamar berapa, Mir? 304 Aku ke sana
Beberapa menit kemudian, muncullah Johnny Hutapea di depannya. Johnny, pacarnya, kekasihnya, yang sudah hampir 3 bulan ini jauh dari pandangan, tanpa ada satupun video call sebagai obat rindu, dan hanya suara melalui sambungan telepon yang menjadi pelipur lara…di awal. Karena setelahnya, komunikasi keburu rusak. Atau, “rusak”?
Johnny gak bisa untuk gak peluk erat Namira, harus dia akui kalau ia rindu wanitanya ini. Walau dalam hati, kegelisahan itu tetap ada. Berbeda dengan Namira yang merasa bahwa pelukan ini bagai sebuah getir, di sela-sela rindu yang aslinya teramat membuncah ada banyak sekali suara hati yang ingin dilontarkan agar pria di depannya ini mengerti apa yang sudah tertahan dalam 3 bulan belakangan. Keimpulsifan Namira bekerja teramat baik, sampai pelukan itu ia lepas sepihak dan bergegas duduk di atas kasur twin bed. Johnny menyusul, ikut duduk di sebelahnya dengan jarak yang moderat: gak terlalu jauh, gak terlalu dekat juga.
“Maafin aku, Mir…”, adalah kata pemecah 5 menit keheningan dari Johnny.
“Aku minta maaf, I just realized that I made a mess.” Namira tertawa getir, “Memangnya apa salah kamu?” “…aku gak kabarin kamu, gak balas chat kamu, gak inisiatif buat hubungi kamu duluan, abai sama kamu, sekalinya komunikasi malah bikin masalah, sampai chat pake kata-kata gak pantas. Aku udah bikin kamu sakit hati, kan?”
Baru juga beberapa kalimat, tapi Namira udah gak bisa nahan air matanya buat keluar. Setidaknya, sekarang ini udah tergenang di pelupuk mata. Mati-matian ia sembunyikan dengan menundukkan kepala, walau gak ngaruh kalau Johnny lihat ke arahnya persis…
“Itu udah tau, tapi kenapa baru bilang sekarang, hm?” “Maaf, Namira. Maaf…” “Udah, cuma itu aja? Aku ke sini capek-capek sendiri cuma buat denger kamu ngomong, tau. Masa cuma itu aja, kalau emang kamu minta maaf?”
Yang ditanya diam seribu bahasa…
“Hm?” “I’m very sorry, Mir…” “Ya, apa? Kamu minta maaf lagi karena apa?” “…” “Johnny, ayo jelasin… Aku mau ngobrol dan mohon-mohon ke kamu kemarin buat dengerin penjelasan kamu…”
Gerah sama diamnya Johnny, meluncurlah akhirnya foto itu. Foto dari apa yang ada di galeri handphone Tio, yang sebisa mungkin dia ambil up-close biar gak terlihat ciri-ciri dari handphone itu. Demi jaga rahasia dan unsur lain yang mungkin nantinya bakal jadi bahan untuk Johnny cari tahu…
Ketawa getirnya sekarang bercampur dengan suara yang bergetar, susah untuk sembunyi lagi. Namira gak peduli, hatinya teramat sakit sekarang. Diamnya Johnny seolah menyetujui apa yang ada di benaknya…
“Kamu sama siapa? Kok peluk-peluk? Gak inget ya masih ada aku di sini? Aku tuh masih pacar kamu gak sih? Atau kamu bosen sama aku? Padahal kalau bose-“ “Mira, aku bisa jelasin dan aku mohon dengerin aku. Kamu tanya apapun aku bakal jaw-“ “Bakal jawab? Tadi aja aku tanya kenapa kamu diam? Kenapa gak berani ngomong? Bukannya kita udah komitmen buat jujur satu sama lain? Atau, LDR perdana kita kemarin tuh malah jadi ajang pembuktian kalau sebenernya kita gak bisa LDR? Pembuktian kalau sebenernya kamu bosen sama aku, ya?”
“Semakin kamu diam, semakin aku anggap dugaan aku benar, Jo…”
“K-kamu…selingkuh? Kamu main di belakang aku?”
Seketika Johnny merasa dunianya runtuh. Pikirannya blank, otak seolah gak bisa proses apa-apa, aliran darah seperti berhenti karena jantungnya berdebar gelisah gak karuan.
“Mir, bukan gitu. Itu Karen, teman kerjaku. Oke, dia talent, dia artisnya, dan aku kru di balik proyek kemarin jadi aku memang intens sama dia. Mendadak beberapa hari lalu Putra chat aku kalau ada scene yang harus di retake, dan aku ditumbalin karena harus jadi saat itu juga walau talent cowok yang asli gak ada. Sumpah, Mira, aku bukan pelukan karena ingin atau gimana.” “Oke, anggap aku percaya. Tapi apa di balik layar juga sama? Kalian gak ada affair atau apapun?” “…a-aku-“
Yang basah bukan pelupuk mata Namira lagi, tapi lengan baju dan ujung baju bagian bawah yang seakan sedang menampung air matanya. Namira udah siap dengar apa yang selama ini dia duga, udah siap dengar apapun yang memang jadi bitter truth. Karena balik lagi, dia udah siapin banyak skenario untuk hari ini. Tinggal gimana Johnny mau jujur atau enggak…
“Ayo, kamu kenapa? Aku dengerin kok, mau kamu jujur atau bohong juga aku bakal tau. Kalaupun yang jujur bakal nyakitin, aku dengerin…” “M-mir…aku gak bisa…” “Gak bisa apa…? Ngomong aja, ya? Kan kita udah komit, apapun diutarakan…” “…”
Pasrah. Namira pasrah…
“Harus kah aku yang ngomong kalau selama ini aku tau kamu ngapain aja? Lebih baik kamu jujur, aku dengerin, Jo. Apapun, aku butuh kamu yang jelasin. Aku gak akan motong, bisa aja aku salah…”
“Aku berani sumpah, aku khilaf…”
“Aku salah besar sama kamu, Mir. Aku salah…”
“Aku hang out sama Karen.” “Kalau cuma hang out doang, rasanya gak masalah. Salahnya, di bagian mana?” “Aku hang out, kemana-mana sama dia, selalu ladenin dia, dan…a-aku…lupain kamu…selama itu…” “Kalau lupa, kan sekarang udah inget lagi.” “Maaf, Namira. Maaf…” “Kamu sempat bosan kan sama aku? Makanya di sana ada dia yang mungkin lebih menyenangkan daripada aku, lebih ada di sekitar kamu, gak kaya aku yang sibuk dan cuma bisa dihubungi beberapa kali aja. Iya, kan?” “…” “J-johnny, jawab…”
“Iya apa enggak, hm?” “…iya.”
Energi di tubuh Namira langsung hilang, rasanya seperti dikuras habis sesaat. Badan mungil itu lunglai dan beringsut jatuh terduduk di atas karpet, dengan wajah yang ditutup kedua tangan guna menutup tangis kencangnya yang tertahan. Johnny? Hanya bisa memandang lemah, karena rasanya untuk menghampiri pun terhalang oleh berjuta rasa salah. Walau, ia tetap mencoba…
“M-Mira…” “Stop, jangan pegang aku.” “Mir, aku salah. Aku telat buat sadar kalau yang aku lakuin salah, aku khilaf. Aku akuin aku salah besar, aku bosan dan penat sama kerjaan bukannya malah cari kamu tapi malah ke yang lain. Aku gak maksud cari kesalahan, tapi dia juga ngegoda aku. Salahnya aku, malah sambut baik. Putra yang udah ingetin sampai bisa aku abaikan, dan aku telat buat sadarin itu semua, Mir. Aku paham, aku salah. Tolong, dengerin aku…” “Gak seharusnya kamu kaya gitu, kalau aku salah juga biasanya ditegur, kan? Kalau aku ada salah, tolong bilang. Kalau bosan, bilang juga. Kita bisa break buat sama-sama cari jawaban, tapi kenapa cara kamu kaya gini…?”
“Aku, Jo, aku selalu sempetin chat kamu walau aku sibuk. Tapi kamu gak pernah balas, beberapa minggu hilang, balik lagi tanpa ada rasa bersalah. Kamu bener-bener bikin kita yang gak pernah marah-marah setiap malam, jadi kejadian. Kamu limpahin kekesalan dan penat kerjanya kamu ke aku, seolah aku yang salah. Kamu sendiri bilang aku ribet, dari situ aku mikir dong. Aku ada salah apa sama kamu? Kalau kamu bosan, apa karena aku ngelakuin salah? Karena setauku, kalau hubungan bosenin itu asalnya dari keduanya yang ngejalanin. Jadi kalau iya kamu bosan, selain memang aku ada salah, dari kamu juga pasti ada sebabnya.”
“You seems to turning back and hate me at some point, so I was thinking if you hate me for real nowadays?”
“Ini sama aja kaya selingkuh, kamu bosan dan kamu seperti “jajan” di luar. Kamu nyari yang gak ada di aku, tapi ada di orang lain. Kalau kaya gitu, gak akan abis-abis. Semua orang gak sempurna…” “Mir, please, let me hug you. Aku sakit lihat kamu begin-“ “Begini juga sebabnya kamu…”
“Aku, Jo, selalu di sini. Aku merasa, aku udah try to work things out. Aku masih bisa jadi orang yang kamu butuhin, kamu mau lari dan butuh sandaran pun aku bersedia. Tapi kamu malah ke orang lain, ketika aku menyesuaikan diri dan memantaskan diri buat kamu…”
“A-aku ngerasa gak berguna…” “Mira, enggak. Kamu gak kaya gitu, tolong-” “Kamu yang ngebuat aku kaya gini, Jo. Aku sakit…sakit banget…”, raung Namira, sambil beberapa kali memukul pelan dada kirinya.
“Semuanya jadi percuma, mimpi-mimpi jangka pendek dan jangka panjang yang aku rencanain udah percuma sekarang.”
“Aku ngeliat masa depan di kamu, Jo…. I have some sight on marriage and such, another future plans that may happened, semuanya ada di bayangan dan bahkan rencana nyataku. T-tapi, a-apa? Kamu giniin aku sekarang…”
“Kamu udah tau kalau masa lalu aku gak ada yang bagus, tapi sekarang kamu begini…”
“Kamu boleh aja ambil hati aku, mau kamu sembuhin dari masa lalu atau kepalang kaya sekarang kamu hancurin.”
Namira mencoba bangkit dari posisinya perlahan, berpegangan pada benda apapun yang bisa diraih sampai setidaknya bisa menuju pintu. Setelah dirasa energinya terkumpul, ia bergegas keluar ruangan…tanpa mempedulikan Johnny…
“Namira, tolong. Jangan tinggalin aku, Mira please-“ “Lepasin, aku mau pulang. Tolong…” “Mir, please. Aku gak mau, kamu pergi gak akan bikin ini baik-baik aja. Kita gak baik-baik aja, please…”
Namira terus berontak di dalam pelukan dari belakang Johnny, sampai akhirnya Johnny harus manggil namanya dengan nada yang lumayan tinggi…
…sampai terdengar ke luar, dan ada 2 orang yang sadar akan hal itu.
Namira gak kesinggung atau merasa takut sama sekali, malah membalikkan badan dan terlonjak kaget dengan pemandangan yang ada di depannya.
“Jangan nangis, cukup aku aja yang nangis.” “Mira, aku bukan apa-apa tanpa kamu. Tolong, jangan tinggalin aku. Kita cari jalan keluarnya, aku mohon aku salah…”, yang dibalas dengan usapan di kedua pipi. “Jangan nangis, Johnny. Jangan nangis, maaf…”
“…lebih baik kita putus aja. Aku gak mau nantinya malah jadi saling menyakiti satu sama lain.” “Mira, enggak. Aku mohon, p-please. Jangan…” “Maaf, Johnny. Maaf…. Mungkin, kita cuma sampai di sini. Aku gak bisa bayangin kalau kita lanjut, aku terlalu sakit buat nanggung ini. Mana mungkin, yang jadi sumber sakitnya aku bisa rangkap jadi sumber sembuhnya juga. Ketika posisi kamu juga harus menyadari apa yang udah kamu perbuat…”
“Aku minta maaf kalau belum jadi pasangan yang baik buat kamu, bikin kamu bosan sampai harus beralih ke yang lain. Never on my intention, any ever.” “Mira, we can fix this. I can fix this, please. Jangan pergi, jangan tinggalin aku.” “Aku pamit, tolong jaga diri baik-baik. I love you…”
Dalam sekali hentakan, Namira buka pintu dan berlari ke tangga darurat untuk turun. Pikirnya, kalau harus nunggu lift pasti masih bisa dikejar. Nyatanya…
“MIRA! NAMIRA!!!”
…Johnny hanya sanggup mengejar sampai ambang pintu, karena seketika tenaganya melemah dan tubuhnya beringsut dalam sandaran tembok.
Tangisnya pecah sesaat setelah pintu ditutup kembali, dunianya mendadak kosong. Namira, telah pergi meninggalkannya dalam kesendirian. Walau ia sadar bahwa ini semua disebabkan oleh kesalahannya, namun tetap saja perasaan luka itu ada. Bukan hanya luka pada Namira, tapi juga luka bagi dirinya sendiri.
Johnny kehilangan pengisi harinya. Johnny kehilangan dia yang telah memimpikan masa depan dengannya. Johnny kehilangan Namira, yang 3 tahun belakangan ini jadi sumber semangantnya.
Kehilangan, yang disesalkan karena ulah sendiri…dan berakhir seperti ini…