Some Things Can't Be Left Unsaid...

Image

Tantra gak paham, kenapa pacarnya yang merajuk beberapa hari belakangan ini tetap bisa menjadi hiburan tersendiri dan membuat senyum di wajahnya urung pudar? Padahal, judulnya merajuk. Biasanya kalau si wanita merajuk, si pria jadi kebingungan atau kebawa bad mood, bukan?

Pada malam itu, Wibi gak balas DM Azalea di Instagram atas perintah Tantra. Alasannya lebih baik Tantra yang telepon langsung, supaya lebih percaya dan Wibi gak kena omelan. Selama telepon berlangsung, Tantra berusaha menjaga intonasi suara agar Azalea yakin kalau sakitnya ini bukan yang gimana-gimana. Tapi ya namanya wanita, pasti peka dan tahu apa yang prianya sembunyikan.

Butuh 2 hari bagi Tantra untuk membaik, hingga baru bisa flight back ke Jakarta menjelang akhir pekan. Selama itu juga, Tantra istirahat dengan mengurangi frekuensi menggunakan ponsel. Hanya chat dan telepon perihal pekerjaan yang telaten dilayani, sisanya kepada Azalea, Tian, dan orang tua hanya sepintas.

Salah baca? Salah ketik? Enggak, kok. Komunikasi ama Azalea betulan sepintas dari yang biasanya, karena... Nanti kalian tau jawabannya sendiri, ok?

Sekarang, posisinya adalah Azalea menghabiskan sepanjang hari Sabtu di apartemen Tantra. Itu inisiatifnya sendiri atas persetujuan si pemilik tempat, untuk datang dari pukul 7 dan berakhir di...? Entah jam berapa, karena kini sudah pukul 7 malam. Azalea masih setia mengelus lembut surai lelaki yang berbaring di pangkuannya, yang menjadi objek aktivitas pun tampak menikmati dengan mata terpejam.

“Za...” “Hm?” “Udah malam, jangan kemalaman pulangnya. Saya bisa sendiri...” “Ngambil minum aja masih sempoyongan, yakin bisa ditinggal?” “Hehe, minta tolong ambilin satu botol kalau gitu. Taruh di nakas samping sini, biar aman.”

Gak ada jawaban dari lawan bicara, Tantra membuka mata.

“Za...” “Iya, mas?” “Masih bete, ya?” “Hmmm...” “Jangan usil, nanti saya cium beneran.” “Oh, berani nularin penyakit?”, yang direspon Tantra dengan senyuman.

“Aku khawatir, mas. Panik, kalau udah ada yang sakit tapi akunya gak tau.” “...pernah ada kejadian buruk?”

Gak ada, tapi aku jadi ingat Damar gejala tipes waktu itu...

“Enggak, kok. Mungkin udah kebiasaan, jadi bawaannya pasti begitu. Apalagi kamu di luar kota...” “Kan, ada Wibi.” “Pacar kamu Wibi, atau aku?” “Hahahahaha, aduh. Sini, saya mau peluk.” “Jangaaan! Gini aja, masih pengen elus rambut kamu.” “Kalau gitu pandang mata saya juga, dong. Biar ngobrolnya enak, dari mata ke mata, hati ke hati juga.” “Hih, gombal terus.”

“Za...” “Iya, mas?” “Maaf, saya bohong...” “...” “Kalau kamu mau bete atau marah, saya terima. Buat yang kemarin-kemarin juga gak apa-apa banget, saya mewajarkan.” “Boleh tau kenapa mas sampai gak jujur?” “Gak mau bikin kamu khawatir, karena kalau kamu khawatir sayanya jadi mikir berkali-kali lipat.” “...berarti saya bebanin pikiran mas Tantra?” “Bukan itunya, sih. Saya jadi kebelet mau take flight pulang.” “...aku gak nemu korelasinya.” “Ya pokoknya begitu, deh. Aneh, ya?” “Hahahaha, ih. Bucin.” “Memang iya.” “Lain kali, jangan bohong. Tolong diingat sama tujuan kita, mas...” “Iya, maka dari itu maafin saya buat yang ini. Janji, gak akan ulangi lagi.” “Tolong buktiin aja lewat tindakan, jangan janji-janji...”

Karena janji atau kepastian rasa sayang yang tulus pun, pernah bawa aku ke jalan yang gak berujung, mas...

“Jangan jutek lagi kalau di chat, ya. Saya gak bisa kalau chat sepintas gitu, justru saya butuh kabar buat mastiin kamu baik-baik aja. Oke saya sakit, tapi mastiin kamu baik-baik aja juga perlu.” “Iya, mas. Maafin aku juga, bukan tanpa alasan sebenarnya. Kalau intens komunikasi takut makin panik, daripada nangis gak karuan dan khawatir yang berlebihan, lebih baik begitu.” “We're the same, then. Ketahuilah, yang kaya gitu malah nyiksa.” “...bener, sih. Pengennya telepon, mau denger suara kamu. Tapi kalau nangis, malah memperburuk suasana.” “Hahaha, ya udah. Clear, ya?” “Iya, tinggal kamunya aja pulih total.”

“Kamu gak capek, Za?” “...enggak, tuh. Kenapa?” “Sampai sini cuciin pakaian saya, jemurin, lanjut masak, cuci piring, lanjut beres-beresin semua ruangan, sapu iya, vacuum iya, sampai di pel segala, terus setrika pakaian yang numpuk. Semuanya baru selesai beberapa menit lalu, terus sekarang manjain saya kaya gini. Selama itu pula, saya cuma tidur. Bukannya melelahkan banget?” “Justru, mas, dengan begini aku bisa dapet energinya lagi. Ngobrol sama kamu, elus rambut kamu, nenangin kamu, ibarat lagi charge baterainya. Kalau kamu emang seharusnya istirahat, mas sayang.” “Sesederhana itu?” “Hm, coba aja lihat Mama kamu. Pasti deh istirahatnya tuh cuma nonton TV, atau nyambut anggota keluarganya pulang udah jadi semangat tersendiri.”

Andai sejak dulu gak dibutakan sama trauma dan bisa paham kalau wanita semudah itu untuk rapuh, tapi sesederhana itu juga untuk kembali seperti semula, saya menyesal sudah berlaku brengsek seperti dulu...

“Eh? Matamu kok berair, mas?” “...terharu.” “Karena...?” “Gak apa-apa, terharu aja. Ada kamu di sini, nemenin saya...” “I'm sorry for asking, but... You were this lonely, before?“ “Iya, se-sendirian itu. Saya selalu merasa kosong, se-ramai apapun itu keadaannya.” “Even when you were with your exes...?

Jangan, Tantra. Not a right time to talk about the past, just don't ruin the mood.

“Kamu lengkapin saya, Za. Saya bahkan sudah bayangin, kalau gak ada kamu rasanya saya gak bisa apa-apa selain kerja. Saya gak akan ke mana-mana, dan saya harap kamu pun sama... Selalu di sini, untuk satu sama lain.” “...I don't know how to react, but you have to know that I love you, mas. Aku di sini.” “Kalau kamu bermalam di sini, bisa? Ada 1 kamar kosong dekat balkon.” “Meskipun aku mau, tapi gak bisa. Kongi sendirian, nanti kalau kenapa-kenapa aku yang nangis.” “Hahaha, astaga. Baiklah...” “Maybe next time, ya?” “Kalau next time mending kamu ganti status gak, sih?” “...ganti status?” “Hari ini aja udah bantuin pekerjaan rumah saya, besok-besok kalau mau begitu lagi jangan jadi pacar. Istri aja sekalian.” “MAAAS IH YA AMPUN, MUKA AKU TARUHANNYA INI JADI KAYA KEPITING REBUS!”

Setelahnya hanya ada canda dan tawa yang mengisi, tidak ada kesedihan, kekhawatiran, atau monolog rahasia dalam hati...

Meskipun, kebohongan kecil Tantra kali ini secara tak langsung sudah memicu sesuatu dari keduanya. Sesuatu yang terkubur dalam dan belum bisa diutarakan, yang mungkin dapat memicu hal lebih besar apabila terus dibiarkan.

Tantra memusatkan fokus pada kebahagiaannya dan Azalea, hingga abai dengan masa lalu. Baginya mungkin selesai, tapi belum benar-benar selesai apabila harus disinkronkan dengan masa sekarang dan masa depan yang ingin ia raih. Azalea harus tahu dan harus menerima, sebagaimana ia yang lebih dulu tahu dan menerima masa lalu Azalea dengan Damar.

Akan tetapi, apakah semuanya akan benar-benar selesai apabila kelak ia berhadapan dengan Damar secara langsung? Apakah semuanya akan benar-benar selesai apabila kelak ia menceritakan semua masa lalunya pada Azalea...?