Terjadi, tanpa diharapkan
Namira sampai di Depok dengan wajah dan mood bersungut-sungut, karena ternyata ke Depok jauh lebih melelahkan daripada kalau kerja ke Jakarta biasa. Jabanin macet Jakarta jauh lebih baik daripada Depok, yang udah ganti pejabat daerah berapa kali pun tata kotanya gak makin baik.
Untungnya dia sampai gak mepet jam 9, masih ada belasan menit buat retouch make up, nambah parfum, dan gak lupa buat minum. Setelah siap, dihampirinya Tian si senior untuk masuk bareng ke ruang meeting yang tersedia.
Beberapa staff sudah di sana, menyambut mereka untuk dipersilahkan duduk. Mereka tampak grasak grusuk untuk prepare infocus dan peralatan dukung presentasi lainnya, sambil nunggu beberapa atasan masuk di jam 9 tepat. Dalam benaknya Namira jadi teringat waktu dia masih jadi staff, masih jadi babu yang disuruh apa-apa harus mau. Jauh dari kata “mending” kalau dibandingkan dengan Johnny, karena dia betulan kerja untuk ngembangin skill tusi di bidangnya.
Keinget Johnny lagi… Padahal selama perjalanan udah susah payah ngumpulin semangat biar fokus sama meeting hari ini, eh malah keinget lagi.
Bukan apa-apa sih, tapi sementara waktu Namira memutuskan untuk fokusin atensi ke pekerjaan. Perihal Johnny, dia yakin bakal ada waktu yang tepat buat selesain masalah. Sambil nunggu yang bersangkutan balas pesan juga, syukur banget kalau bisa kabarin balik…
:)
“Selamat pagi, mas Tian?” “Waduh, lama gak ketemu, nih. Apa kabar pak Herman?” “Baik, baik sekali. Cuma berdua?” “Iya, disposisinya buat kita aja. Kenalin pak, ini bawahan saya, Namira.” “Salam kenal, pak. Saya Namira, Account Manager baru di tim mas Tian.” “Salam kenal ya, silahkan duduk.” “Bapak sendirian?” “Ada dua lagi itu, Manager saya sama asistennya. Lagi ke toilet dulu kayanya.”
TOK TOK!!!
“Permisi, pak.” “Nah, ini si asistennya. Kenalan dulu, ayo.” “Saya Juan, mas, mba. Salam kenal.” “Tian, ini Namira.”
Juan mengulurkan tangan untuk berjabat dengan keduanya, pun sang lawan yang diajak jabat tangan juga menyambut baik. Tapi kemudian…
“Permisi, maaf saya terlambat.” “Nah, ini nih managernya”. “Tio.” “Tian, salam kenal. Gak beda jauh ya namanya.” “Hahaha, bisa aja.”
Tian guyon, yang mungkin kalau tujuannya cewek bakal jadi beda atau malah baper…atau malah salting? Untungnya, itu cowok.
Beberapa saat kemudian, ternyata keadaan terbalik…
Well, gak terlalu terbalik. Tapi…
“Tio.”
…Namira seolah merasakan hal berbeda, yang saat bersalaman dengan Juan tadi tidak ada.
Ada sensasi dan kehangatan tersendiri dari sapaan dan jabatan tangan Tio, entah apakah karena dia cewek satu-satunya sampai Tio berlaku demikian atau bukan. Tapi itu betulan dirasa, ada perasaan seperti Tio ini familiar dari sisi wajah atau sikapnya.
Namira berhasil terpaku, sampai harus Tio gerakkan jabatan tangan itu untuk bisa sadar.
“A-ah, Namira. Salam kenal, Tio.”
Percayalah, baru kali ini Namira bisa se-terbuka ini. Ketika dulu, ia sama sekali tidak demikian pada Johnny…