gerukokeishin

19

Angka pada layar yang membuat lift terbuka, menyambut para pengunjung dengan papan penunjuk arah bertuliskan VUE paling besar.

Namira mengikuti arah menuju restoran, disambut pelayan yang standby di depan pintu masuk.

Good evening, is it your first time, walk-in, or made a reservation already?” “Hello, I…made a reservation under the name of Tio Julian.” “Let me check…. Yes, it is ready. Please come with me.

Walau agak ragu, Namira tetap mengikuti arah jalan pelayan itu. Restoran ini nampak sepi untuk hari Sabtu, dari penglihatan dia, sih. Karena para pelayan yang ada gak terlalu sibuk sampai harus bolak-balik dengan cepat, sebagian besar terlihat santai dan tetap dalam tugasnya. Sempat bingung karena harus melewati bagian dalam restoran yang cukup panjang, sampai akhirnya pelayan tersebut berhenti di bagian terluar…

Image description

Here is your table of two, currently no reservation, except yours, made for this spot, since nowadays Singapore is windy enough. But if you feel like you want to go inside, please don’t hesitate to call me. Have a nice meal, Madam.” “T-thank you, of course. Thank you so much….”

Pandangannya kini beralih pada meja yang ditunjuk oleh pelayan, dan terheran-heran…

Pasta dan Diet Coke, masing-masing tersaji 2 porsi.

Namira bingung, ini restoran mahal tapi menu yang disajikan standar…? Bukan maksud matre, tapi andai iya ini bakal dipakai Tio, kliennya apa gak kurang ajar ngasih menu makanan cuma kaya gini?

Tapi kemudian, keheranannya sirna…

Ingatannya kembali diputar ke belakang. Ia ingat, pernah nonton drama My ID is Gangnam Beauty, dimana kedua pemeran utama akhirnya pacaran sembunyi-sembunyi dengan setiap agenda nge-date pasti makan pasta sama cola. Maklum, latarnya memang anak kuliahan. Ia juga ingat, kalau ingin sesekali merasakan dinner dengan kedua menu andalan itu. Ia teramat ingat, pernah menyampaikan ini pada Johnny…

Matanya terpejam, berusaha menelan dan berdamai dengan memori itu. Terpaan angin malam mengalihkan perhatiannya menuju pemandangan di samping: Marina Bay Sands, Singapore Flyer, Esplanade, dan berbagai macam lampu yang menghiasi pusat kota ini.

As exactly as what she wants. Ini yang Namira mau, view dari atas dengan segala bentuk macam gedung tinggi dalam jangkauan mata. Sebenarnya, Namira bisa mendapatkan ini dengan merogok kocek sendiri. Tapi rasanya terlalu hambur kalau cuma untuk 1 orang, dan sepertinya setelah ini ia benar-benar harus berterimakasih pada Tio (dan kliennya?)

Soal Tio, Namira bingung kenapa dia belum kunjung naik. Angin malam semakin terasa kuat, walau tidak terlalu kencang. Hawa yang menerpa mulai memberikan efek dingin, kedua tangannya menyilang pada bagian lengan atas untuk menghalau angin yang datang.

“Dingin…”, monolog Namira.

Dalam hitungan sekon berikutnya, kehangatan perlahan menjalar. Namira merasakan jelas adanya mantel yang tersampir pada tubuhnya. Ia tersenyum, seraya membalikkan badan…

“Makasih, Ti-“

Image description

Untuk pertama kalinya, air mata Namira jatuh begitu lepas.

Namira terlampau kaku untuk merespon, fokusnya pun teralihkan.

Orang yang selama ini ia nanti kehadirannya.

Orang yang selama ini sukses mengalihkan seluruh atensinya.

Orang yang membuatnya sadar, bahwa hanya dirinya yang bisa memahami dan melengkapi satu sama lain.

Orang yang selama ini ia rindukan, hadir dalam jangkauan pandangnya.

Johnny terlalu rapih untuk konsep pakaian sederhana yang digunakan. Semakin rupawan ketika ia tersenyum tulus, dan menempatkan kedua tangannya pada lengan atas Namira penuh kelembutan.

Feel better?“, jadi kalimat pertama Johnny.

Suara yang akhirnya Namira dengar lagi sejak 1 tahun terakhir, lantas membuat air matanya semakin berhamburan.

“Maaf...” “Maaf malah jadi bikin kamu begini.” “Beberapa bulan pertama, aku lega karena mungkin dengan ninggalin semuanya di sini bakal bikin kamu lebih bebas. Bebas dari beban pikiran, sakit hati, sedih yang berlarut, semuanya.” “Aku cuma mikir, gimana caranya biar kamu terhindar dari masalah.” “Untuk yang kemarin, aku anggap itu masalah. Aku gak mau kamu terlibat lebih jauh...” “Tapi ternyata aku salah, malah bikin kamu lebih kesiksa lagi...”

Namira semakin terpejam ketika kedua tangan Johnny berpindah ke pipi, seolah merengkuh wajah guna menghapus air matanya yang tak kunjung reda.

It's ok, marah sama aku kalau memang itu yang kamu mau.” “H-harusnya aku yang tanya.... Are you o-k...?“, tanya Namira terbata.

Melihat Johnny tak menjawab, Namira turut melakukan hal yang sama: menangkup kedua pipi pujangganya, menyalurkan seluruh rindu yang tertahan. Ah, bahkan sepertinya seluruh emosi dan bukan hanya rindu...

Johnny teramat merindukan sentuhan ini, sampai-sampai air matanya pun tak kuasa. Sejujurnya, 1 tahun ini berat untuk ia jalani walau kesehariannya baik-baik saja. Tangkupan kedua telapak tangan Namira bagai oasis, berhasil meluruhkan segala emosi dan benteng yang mati-matian ia bangun untuk bisa bertahan: untuk menguatkan hati tetap pada Namira, menguatkan diri sendiri agar bisa menemukan caranya untuk “pulang”.

Both of us not ok, tapi kamu lebih. Kenapa bisa kamu tahan ini semua selama 1 tahun, tanpa action atau apapun? Ketika aku, yang baru 2 bulan aja rasanya mau nyerah...”

“Yang bikin aku kesal, semuanya gara-gara keadaan yang beneran main-main sama kita. Aku gak tau bisa bilang ini ujian atau enggak, t-tapi...” “It's fine, semuanya udah kejadian. Udah lewat, harus kita terima. Aku minta maaf untuk itu semua...” “Then me too, I'm sorry...”

“Aku udah baca semua chat kamu, maaf gak langsung balas. Aku pikir, kamu butuh waktu. Semua chat kamu bukan sekedar ketikan, aku bisa rasain emosi dan patahnya kamu waktu kirim itu....”

Namira berusaha mengingat apa isi chat terakhirnya sebulan yang lalu, hingga...

I love you too, Namira...”

...I still do.

“Kamu gak perlu minta maaf, karena perasaanku juga gak berubah...even kita kepisah.”

I have a full trust on us, maaf aku terlambat buat sadarnya....”

Percaya atau tidak, kata-kata itulah yang sangat ingin Namira dengar walau selama ini gak pernah diutarakan. Namira selalu simpan itu sendiri dalam dirinya, dibarengi dengan segala panjat doa agar Johnny kembali padanya jikalau berjodoh. Semesta mendukung, doanya didengar, Namira tak kuasa menahan nangis dan berhambur ke pelukan Johnny. Sang pujangga menyambut, turut menumpahkan tangis dalam diamnya. Karena pelukan dan tangis tidak selalu tentang melepaskan rindu, tapi juga perasaan maupun kata-kata yang tak bisa disampaikan melalui ucapan...

...dan bagi mereka, melalui pelukan ini semuanya sudah terwakilkan.

Johnny memanfaatkan momentum melepas pelukan, menghapus air mata Namira dan menyampaikan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dia datang ke sini...

“Mira, aku gak bawa apa-apa ke sini. Tujuan aku memang ingin jemput kamu, karena aku gak mau kehilangan kesempatan lagi dan bikin kamu nunggu lama....”

“Aku baru landing dari US tadi pagi di Jakarta, setelahnya aku minta tolong Jamal buat urus semua koper dan Tio buat bantu aku di sini....”

“Aku pulang, Mir. I left Chicago dan gak akan balik lagi, unless ada keperluan....”

“Aku masih harus rintis karir dari awal lagi, tapi dengan bekal banyak freelance dan jaringan bisnis di sana, aku bakal tetap lanjut bantuin bisnis Mama di sini. Pekerjaan tetapku masih di kantor Papa, itupun masih probasi karena Papa sebentar lagi pensiun. Kantornya ngasih peluang, dan aku terima....”

Johnny sedikit tertawa sebelum melanjutkan, “This may be silly, Mir. Tapi aku sama sekali ngerasa unprepared. Aku urus pindahan udah sebulan belakangan, tapi untuk hari ini anehnya semua serba nuntut aku untuk spontan. Mungkin Tuhan lagi coba uji, seberapa serius dan yakinnya aku untuk hari ini....”

Flight yang aku pesan ke sini cancelled karena faktor teknis, cari penggantinya harus waiting list, sampai akhirnya dapat last seat untuk flight jam 11 siang.”

“Sampai sini, aku cuma bisa tidur, makan, ganti baju, siap-siap. Isi perut seadanya di MRT ke sini, gak sempat mampir ke mana-mana saking ngerasa momentum aku cuma malam ini aja.” “Kamu keliatan capek banget, ini jet lag, sih.” “Bukan apa-apa, dibandingkan harus kehilangan kesempatan....”

Johnny mengeluarkan secarik kertas berbentuk persegi panjang dari dalam saku celananya...

“Namira, aku gak bawa cincin, gak bawa kalung, gak bawa berlian, gak bawa barang berharga, atau perhiasan apapun.”

“Tapi aku punya tiket flight pulang besok sore, atas nama kamu, udah web check-in, seatnya sebelahan sama aku.”

Namira agak kaget, yang untungnya Johnny sadar dan buru-buru jelasin.

“Aku...itu, maaf, aku minta tolong Mark buat pesenin. Aku gak tau detail paspor kamu, jadi...ya....” “Mark tau...?” “Well, he's...“, Johnny agak ragu melanjutkan karena Namira mulai berkaca-kaca lagi. “Mark kangen kamu lebih dari aku, Jo. Kalau iya kamu udah hubungin dia...” “Iya, Mir. He's beyond happy, bahkan di telepon dia gak berhenti cerita banyak hal. Aku sampai kewalahan soalnya masih harus siapin ini itu, tapi dia masih ingin cerita banyak. Dia cerita juga kalau baru punya pacar, lucu waktu denger dia bilang kalau dia sayang banget sama pacarnya. Out of nowhere, dia langsung curhat….“, jawab Johnny yang membuat keduanya tersenyum.

“Aku gak bawa apa-apa sekarang, tapi aku mau jemput kamu pulang dulu. Anterin kamu sampai rumah, dan minta kamu buat temuin aku sama orang tua kamu...”

“Aku mau minta izin, buat pinang anaknya.”

“Kamu mau, pulang bareng aku?”

“Tian, kata gua lo mending behave deh. Bang Lucas itu udah sabar ngadepin lu”, celetuk Chandra. “Lah, dianya aja gak masalah. Kan dia suka ngelawak, gue juga bercanda kok.” “Ya tapi lo gak tau waktu, lagi diarahin teknik main malah motong ucapan.” “Lo kali yang keganggu?” “Susah dah”, dan Chandra pun berlalu, minggir ke sisi lapangan saking kebelet minum.

Sisa Tian dan beberapa anak lain yang asik sendiri dribbling bola basket, sampai tiba-tiba Chandra berdiri dan jalan balik lagi ke lapangan…

“Halo semuanya, boleh tolong kumpul agak tengah sedikit? Mau ada pengumuman sebentar nih”, teriak Lucas.

“Oke, sore semuanya. Salam kenal, buat yang belum kenal atau tau gue. Gue Markiano, biasa dipanggil Mark atau Mahen. Bebas mau panggil apa senyamannya.”

“Sok kenal…”, cicit seseorang, masih tidak terdengar oleh semua orang.

“Gue di sini sebentar aja, langsung ke inti. Sebagaimana yang udah kalian tau, kepengurusan tim basket bakal ganti. Gue bakal berhenti, dan penggantinya soon diangkat sesuai hasil voting kalian juga.”

“Tapi yang mau gue tekanin di sini, gak ada yang namanya gila hormat. Kita semua sama, dengan respek dan tenggang rasa yang bagus justru bakal bisa bangun tim dengan mudah. Jadi gue harap, please pay respect to each other. Tapi utamanya, behave and be nice. Bisa dipahami semuanya?”

“Bisa, bang.” “Bisa, kak.” “Siap, Mark.”

“Oke, gitu aja. Setelah ini lanjut latihan intensif, karena turnamen sisa 1 bulan lagi. Ditambah kuliah sehari-hari, dijalanin, gak akan berasa. Jaga kesehatan semuanya, stay focus dan tetap semangat. Sekian aja, terima kasih atas perhatiannya. Untuk ke depannya, bakal diampu sama Lucas.”

Kerumunan anak basket bubar, tapi enggak dengan satu mahasiswa baru bernama Septian Safeiro, atau yang biasa dipanggil Tian.

“Bang Mark”, celetuk Tian yang bikin Mark noleh. “Iya?” “Lo kan kaptem tim, kenapa gak ngelatih? Bukannya lo yang harusnya masih ambil peran sebelum turun tahta?” “Ada hal lain yang mesti gue urus, dan ini masa peralihan. Jadi, sah aja. Ada masalah?” “Oh, kirain. Urusan apa? Pacarnya ya?”

???

Mark bingung, dong???

“Apa urusannya ya?” “Nanya aja sih.” “Kalau gak ada yang ditanya lagi, gue cabut. Jangan lupa, fokus.” “Seenggaknya main lah, sini.” “Lain kali.” “Yah, keburu lengser.”

Sebagai seorang Leo, emosi Mark berhasil dibuat naik. Lucas merhatiin dari jauh, di balik pilar pinggir lapangan basket. Bahkan, suara antara Mark dengan Tian hanya bisa didengar mereka berdua.

“Ada masalah apa? Kayanya gue gak pernah senggol lo, apalagi maba.” Tian senyum miring, seolah meledek, “Kakak lo namanya Namira, kan?”

???

Siapa yang gak akan kaget kalau di posisi Mark???

“Dijaga dong bang itu kakaknya, jangan cuma bikin cowok sakit hati doang.” “Sebentar, maksud lo apa?” “Gara-gara kakak lo, abang gue jadi aneh tau gak. Pulang ke rumah selalu malam, libur beneran cuma weekend. Mana ada makan malam di rumah, lupa kayanya kalo makan malam juga bisa di rumah.”

Mark berusaha tenang… Berpikir… Kilas balik… Apakah ini pria yang pernah dia gap tempo hari waktu berkunjung ke apartemen Kakaknya… Karena sampai sekarang, Namira belum ada cerita apa-apa…

“Siapa emang abang lo?” “Tio, gak tau ya? Kasian banget gak diceritain.” “Denger ya, gue gak suka bahas masalah pribadi di forum umum kaya gini. Lo kalo ada urusan sama gue, ikut gue sekarang ke luar lapangan. Selesain.” “Di sini aja, bang. Orang gak ada yang liat juga, apalagi denger.” “Lo nguji kesabaran gue ya? Apa beneran cari ribut?” “Lah, santai. Gue nanya.” “Tapi lo ofensif, gue santai dan lo enggak.” “Ya udah, jagain kakak lo bang. Biar gak usah gatel sama abang gue lagi.” “Abang lo aja siapa gue gak tau, gak ada urusannya sama gue.” “Ada lah, itu abang gue. Gak terima ya digituin.” “Ya gue juga gak terima kakak gue dikatain gatel, lo tau apa, ha?!” “Apa? Nyosor gitu mau ribut?”

BUGH!!!


“Sa, ikut gua yuk.” “LAH, dari tadi nungguin kelas gue kelar?! Ngapain anjir?” “Gak tau, gua ngerasa kudu balik sama lo aja.” “Asli, Hen, lo aneh.” “Ya maka dari itu gua gak tau, mana tau gua balik sama lo ada hidayah ini.” “Eh, bentar deh. Gue chat Mark dulu. Takut nungguin kabar.” “...dia di mana hari ini?” “Kampus sih katanya, tapi ke hall basket.” “...ke sana yuk, mau gak?” “Ih, ngapain? Pulang aja ah.” “Please ayok, belom ilang nih gak enak perasaan gua. Mana tau dibawa jalan ilang.” “Huft, ya udah tapi jangan masuk banget. Jangan keliatan anak basket pokoknya.” “Kenapa dah? Lu takut di cie-cie-in pacarnya kapten basket? Hahaha.” “Ya salah satunya sih, tapi kalo udah ketemu dia yang ada gue makin kangen.” “Lah ya justru bagus kalo ketemu, kangennya ilang.” “Masalahnya udah niat mau main nanti weekend, gue sekalian pulang ke rumah abang juga. Mau dianter.” “Oooh, ya ud-”

Jarak FMIPA sama Hall Basket sebenarnya lumayan, tapi bisa potong jalan lewatin jalan setapak di antara beberapa gedung fakultas dan masjid.

Ucapan Hendery mendadak berhenti gara-gara dia dengar suara riuh, padahal baru juga sampai di bagian terujung dari gedung hall.

“Hen, kenapa berhenti?” “Denger gak...?” “Apaan?” “Itu suara berisik aneh banget kaya ada yang rib-”

“BANGSAT, MARK.”

Tepat kurang lebih 200 meter di depan mereka, Lucas lewat sambil misuh dan bawa air mineral di tangannya. Lewatnya sambil lari, rerusuhan. Mereka yang liat ikut panik, berujung ikut lari ke pintu utama hall.

BUGH!!!

“Mulut lo dijaga, yang lo ejek itu perempuan! Punya nyokap kan lo di rumah?! Mestinya ngerti gimana caranya hargain cewek!”

BUGH!!!

“Lo yang diem, badan kecil aja belagu!” “Siapa takut?”

BUGH!!!

“Woy, Tian! Udah anjir, elo yang cari gara-gara tapi malah bang Mark yang babak belur! Udahin!”, sergah Chandra. “Minggir, Chan. Gua-”

BUGH!!

Pukulan barusan dilayangkan Mark tepat di lengan Tian, berujung keduanya berbaring di lapangan. Harusnya, Mark berada di atas karena pukulan tadi sengaja dilayangkan biar Tian tersungkur dan Mark lebih mudah untuk menyerang. Maklum, perbedaan tingginya lumayan jauh. Tapi Tian langsung sigap, sampai akhirnya keadaan berbalik dan Mark berada di bawah. Tian semakin mengeluarkan tamparan di wajah Mark. Chandra terlalu mungil buat melerai, yang bisa dia perbuat cuma tarik badan Tian biar gak makin jadi. Seluruh anggota tim juga sama, tapi Tian terlalu kuat sampai Mark yang berusaha ditarik anak-anak lain pun susah. Tian mengunci pergerakan Mark...

“WOY ANJING, MARK!!!”, teriak Hendery di sebelah Lucas yang sama-sama berlari menuju lapangan. Nisa? Mematung tepat di pintu masuk...

“Udah woy, anjing! Lo apain temen gue?!?!”, spontan Hendery yang langsung narik Mark sekuat tenaga. Disusul Lucas yang ikut narik Tian, dan tentunya berhasil karena proporsi tubuhnya yang sepadan.

“Lo maba yang udah gue wanti-wanti dari awal, mulai dari nyeleneh, gak nurut, sekarang nyerang senior lo. Gue udah was-was di awal, bener aja gue tinggal beli minum langsung bikin ulah.”

“Lo semua saksi, gue gak mau jawaban sekarang tapi kalo nanti ketauan Akademik harus bersedia diminta keterangan”, final Lucas.

“Lo, Tian, pulang. Semuanya bubar, gue gak mau satupun ada yang tinggal. Mark, lo balik dianter Hendery. Muka lo gak memungkinkan pulang sendirian.” “Tapi bang-” “Masih mau tapi tapian lo? Buruan balik! Satu-satu keluar, biar gak ngundang orang-orang curiga. Gue gak mau tim basket kecoreng gara-gara ini doang.” “Bang, so-” “Balik lo, Chandra susul. Ikutin sampe semua keluar area hall.” “Iya bang, pamit.”

Chandra dorong Tian sampai akhirnya mereka semua keluar bersamaan, diikuti anggota yang lain tentunya. Sampai mereka hilang dari pandangan, barulah Lucas dan Hendery bisa ngeluarin ekspresi resah dan paniknya. Meanwhile, Mark yang sekarang ada di tangan Hendery gak bisa berbuat apa-apa. Matanya cuma bisa terpejam nahan sakit, badannya cuma bisa mengandalkan Hendery yang sedari tadi memangku, nafasnya pendek cenderung kesulitan, Mark sama sekali gak bisa apa-apa...

“Mark, Klinik aja. Gue gotong, piggyback juga gapapa dah. Lo babak belur anjir, parahan luka lo daripada dia.” “Ngadi-ngadi lu, Cas. Ke Klinik jalannya lumayan, lu mau dia ketauan babak belur sepanjang jalan?” “Ya abis mau kemana, UKS sini tutup soalnya tadi niatnya emang latihan do-” “Bawa ke UKS lab aja, p-please”, samber Nisa yang udah berurai air mata sejak tadi “nonton” dari jauh, sambil merapihkan isi tas Mark yang jatuh ke lapangan dan isinya bertebaran. “Sa, gapapa?”, tanya Lucas khawatir. “Udah gapapa, gue yang tanggung jawab. Lo tega liat dia kaya gini? Buruan bawa!”

Hendery kaget, gak biasanya Nisa bentak-bentak gini. Tapi dimaklumi, mungkin dia juga kebawa panik liat pacarnya babak belur gini. Masalahnya, darah ngalir dari sudut bibir dan pelipis...

“Iya, iya. Ya udah tuntun dari depan, gue sama Lucas bopongin biar gak kentara banget.”

Di tengah jalan, Mark terbata pelan, karena untuk berbicara pun harus nahan perih dari luka di bibir...

“S-sa...”, “Ssst, cewek lo abis ngebentak tadi. Dia panik, lu diem dulu aja”, sambung Lucas. “P-pulang, dia...” “Gak akan mau balik dia, kalo lu aja begini. Diobatin dulu, muka lo ngeri banget beneran”, usul Hendery.

Mark nurut, bukan sekedar karena Lucas & Hendery. Tapi tepat setelah Hendery bicara, pacarnya noleh sedikit ke belakang dan mereka temu pandang. Nisa terlalu iba dan sakit lihat kondisi Mark, begitupun Mark yang mencelos hatinya melihat Nisa dengan raut wajah penuh air mata bercampur rasa takut...

Gak sedikit orang yang familiar dengan kafe ini, yang kalau kata orang kebanyakan: hits. Suasana nyaman dan asri di tengah hiruk pikuknya Ibukota, layout yang diatur sedemikian rupa, hingga pemilihan lokasi yang strategis di Selatan Jakarta. Terakhir kali Namira ke sini waktu janjian sama klien untuk urusan pekerjaan, walau kali ini urusannya beda, entah kenapa suasananya mendadak asing…

Kesan pertama Namira ke sini gak lebih dari kenyamanan yang didapat, sampai rasanya ingin balik lagi cuma untuk me-time (dan belum kesampaian). Kali ini, ia gak paham, rasanya kelampau aneh dan campur aduk. Kalian tau, kan, perasaan yang berantakan gak jelas kenapa dan sebabnya? Karena, perasaannya kepalang gak enak, belum lagi beberapa kali dalam waktu belakangan ini dirinya kerap dijatuhi fakta-fakta yang selama ini gak dia tau.

Bagi Namira, semua fakta itu melegakan sekaligus pahit. Dalam artian, kenapa baru sekarang? Kenapa sekalinya terungkap harus bertubi-tubi bak burung ababil? Ingin rasanya Namira menentang kenyataan, ingin sekali bilang ”ayo, surprise me”, tapi masalahnya yang akan ia temui adalah Karen. Kehadirannya yang lebih dulu ada di kafe ini justru membuat Namira was-was, cenderung takut akan apa yang akan ia dengar. Bahkan saat masuk ke kafe ini, Namira cuma bisa jalan pelan sampai-sampai Markiano harus pegang pergelangan tangannya.

Relax, kak. Aku di ujung pojok sana aja. Sights away, biar tetep bisa liatin dari jauh.” “Ok, aku ke sana.” “Kayanya, itu orangnya. Samperin ya, kuat, kok”, Mark mengakhiri sambil pegang tangan kakaknya erat-erat sebelum menuju ke tempatnya.

Namira berusaha setenang mungkin, syukurlah Karen menyambutnya dengan penuh hangat. Senyum yang ditorehkan secara gak langsung bikin Namira lebih rileks, bisa dibilang dia sukses mencairkan suasana. Entah apa karena ia tau Namira terlampau tegang, atau memang pandai mencairkan suasana…mengingat ia adalah orang yang berlatar belakang pekerjaan di bidang media khususnya entertainment.

“Namira?“ “Iya, salam kenal.” “Karen, duduk. Aku gak tahu kamu suka apa, jadi aku pesanin Frappe Chocolate. Semoga gak terlalu manis.” “Thanks, I’m a sweet tooth, actually.” “Datang…sama siapa, kah?” “Oh, itu, adik.” “He’s nice.” “He is, thanks.

Karen terlihat menarik nafas dalam, yang dalam beberapa menit awal membuat suasana hening sampai Namira bingung.

So…mau sampaikan apa?” “Mira, aku bakal jelasin semuanya sekaligus. Aku harap penjelasanku mudah kamu tangkap, dan kalau kamu mau tanya-tanya tolong tanyakan di akhir. Karena, apa yang mau aku bilang berlanjut. Aku harap, gak ada salah paham dan kamu bersedia dengerin sampai tuntas.”

Dari rileks, Namira balik tegang lagi…

“Aku minta maaf, penyebab kalian putus karena aku.”

“Johnny sama sekali gak pernah selingkuh dari kamu, mau itu dari atensi atau perasaan. Semuanya karena aku, yang waktu itu terlalu memanfaatkan Johnny karena cuma dia yang welcome sama aku. Dari semua rekan media, cuma dia yang masih mau berteman dan berlaku baik sama aku.”

“Kenapa? Karena aku dulu arogan, terlalu terlena sama fasilitas dan status dari anak pemiliki media itu, semua harus nurut dan harus bisa terpenuhi, apa yang aku mau harus ada. Padahal, Papaku gak terlalu peduli sama apa yang aku lakuin. Orang tuaku cerai, aku broken home. Papa cuma bisa kasih aku fasilitas, yang terpenting bagi dia cuma segalanya yang aku mau dan butuhkan terpenuhi. Meanwhile, aku juga butuh kasih sayang dan keluarga. Yah, walau udah terlanjur terpecah belah karena perceraian mereka…”

“Aku harus jujur, aku pernah kagum sama dia karena kebaikan dan keramahannya sama hampir semua orang. Sikap ramahnya juga bikin hangat suasana, dimanapun dia berada. Gak ada yang mengenyampingkan keberadaan dia, everybody knows him well…

“…sampai akhirnya, Papaku maksa mau jodohin aku sama anak konglomerat. Aku gak mau dijodohin, sekalipun saat itu aku arogan dan terlalu sering ngegampangin keadaan. Bisa aja aku terima, toh, aku bakal lebih sejahtera dari sisi materi andai iya. Gak landaskan cinta juga gak masalah, seperti di drama klasik luaran sana…”

“Tapi, aku nolak keras. Aku tetep manusia biasa dan wanita pada umumnya, dengan kondisi broken home gini, aku ingin berkeluarga dengan pria yang aku cinta. Pria yang juga sayang aku, yang pada intinya pilihan sendiri dan bukan pilihan orang lain. Aku ingin ngerasain kasih sayang yang tulus, bukan semuanya di atas materi…”

“…yang saat itu, arogan terlalu menguasai aku. Sadar ingin hal itu, tapi gak bisa memperbaiki diri. Mana bisa apa yang aku inginkan itu didapat? Gimana mau dapat pasangan baik-baik kalau perangai diriku aja gak baik…?”

“Puncaknya, aku melakukan tindakan paling bodoh yang sama sekali di luar nalar.”

“Aku manfaatkan Johnny untuk masalah pribadiku, aku minta dia untuk selalu temani aku kemanapun sampai semua orang di kantor ngira kita pacaran.”

Nafas Namira mulai tersengal…

“Sampai akhirnya semua orang mengira demikian, dan jadi bahan gosip satu divisi…bahkan beberapa divisi terkait. Dan semuanya sampai ke Papaku, entah dari mana. Perjodohan itu mulai lenyap perlahan, sampai akhirnya Papaku gak peduli lagi.”

…dan merasa lebih tense ketika Karen memegang kedua tangannya di atas meja, menggenggam seolah ingin menyampaikan penyesalan sedalamnya.

“…dan ini hal paling biadab yang pernah aku lakukan, aku yakin aku pantas untuk gak diterima maafnya.”

“Untuk bisa jaga keadaan itu biar bertahan, aku…ancam Johnny untuk tetap terus temani aku. Kalau dia gak mau nurut apa mauku, aku ancam untuk sebarin berita buruk di media soal dia dan ancam untuk PHK dia dari kerjaan. Aku manfaatin koneksi dan kekuasaanku, biadab banget, kan?”

Namira mulai nangis tanpa suara, hanya tetesan air mata yang jatuh dalam diam…

“Tapi, memang dasar niat jahat itu pasti akan ada karmanya. Ibarat bangkai, bakal tercium juga baunya. Atau bahkan yang lebih sesuai lagi, seliciknya rubah bakal jatuh juga ke perangkap. Papaku tau kalau aku gak benar-benar pacaran sesuai gosip yang beredar, dia gak percaya dan besar kemungkinan dia tau dari hasil selidikan suruhannya. Dia kecewa karena merasa dibohongi, dan semua fasilitasku dicabut sampai aku dimutasi ke media lain yang jadi anak perusahaan. Aku jadi pegawai biasa, dari saat itu sampai sekarang, tanpa bawa-bawa nama besar di belakangku. Bisa dibilang, sekarang ini aku agak terseok-seok buat jalanin hidup. All by myself, berjuang bertahan hidup sendiri dari yang tadinya serba ada dan serba enak itu sulit…”

“Bahasa orang awamnya, aku jadi melarat dan turun takhta…” “T-tapi, dia pindah ke Amerika…? Kenapa bisa…kalau nyatanya begitu…?”, tanya Namira setelah berusaha keras menetralkan nafas “Aku kecolongan, Mira. Aku diatur sama Papa buat handle project lain setelah joint project sama Johnny selesai. Johnny libur, aku lanjut project lain. Disitulah, untungnya, Johnny ajuin resign untuk pindah. Aku baru tau kurang lebih 1 bulan kemudian, setelah projectnya selesai. Pokoknya, semua datang bertubi-tubi setelah itu, project selesai langsung ditampar kenyataan kalau hidup mendadak melarat, Johnny pergi tanpa pamit dan kontak aku di block, harus menyesuaikan dengan kehidupan baru.”

“Sempat stress di awal, dan butuh beberapa bulan lamanya buat bangkit. Sampai akhirnya sekarang aku mulai bisa terbiasa hidup sendiri, tapi…aku dirundung rasa bersalah yang teramat besar. Hampir setiap malam aku mimpi buruk, lalu aku coba cari tau sebabnya dan bermuara ke ke kamu.”

“Selain ke Johnny, aku juga punya rasa bersalah yang sama besar sama kamu walau kita belum pernah kenal sebelumnya…”

Kali ini Karen terlihat lebih rapuh, dengan mata yang sudah teramat basah oleh air mata karena rasa bersalahnya…

“Aku minta maaf, Mira. Maaf, aku manusia paling biadab yang pernah kalian ketahui…” “…w-why?”, cicit Namira pelan sambil sibuk menguatkan hati, yang entah kenapa otaknya mendadak menyuruh demikian “Dengan semua yang udah aku perbuat, Johnny bisa aja menolak dan ancam balik. T-tapi, aku baru tau belum lama ini dari Kak Putra, kalau…”

Ada jeda, Karen nampak seolah tak kuasa untuk mengutarakannnya

“Johnny gak menghindar dari aku, bukan karena alasan sederhana dia ingin bertahan dari pekerjaannya. Dia bisa aja dapat pemberitaan buruk di sini dan resign, terus lanjut bikin bisnis sendiri atau lanjutin bisnis orang tuanya. Tapi alasan dia karena kamu…”

“Dia ingin lamar kamu, tahun depan.”

Sesak. Teramat sesak sampai Namira rasa ia mati rasa. Ia hanya bisa memejamkan mata tanpa mempedulikan sekitarnya.

“Kak Putra bilang, dia baru tau setelah Johnny udah di Amerika. Dia jujur, bukan karena tinggal cari pekerjaan lain. Tapi lamar kamu udah jadi target dia di tahun depan dan gak bisa dia undur lagi, dia merasa udah waktunya kalian beralih ke jenjang yang serius. Kalau dia gak lanjut kerja, atau harus shifting kerjaan, target dia akan mundur. Dia harus nabung, yang entah untuk apa aja, demi target itu tercapai.”

Satu tangan Namira mulai pindah ke dada, mencoba menahan yang semakin bertambah seiring melebarnya penjelasan Karen.

“Parahnya lagi, Kak Putra gak tau soal ini sama sekali. Johnny gak cerita ke dia, cuma bilang kalau aku teman dan semuanya fine ketika aslinya aku udah ancam dia di posisi itu. Dia gak pernah cerita kalau aku ancam dia, cuma bilang kita berteman…”

“…dan aku harus berterima kasih juga sama sahabatmu, Jamal. Dia approach Kak Putra buat disambungin ke aku, berujung kita bertukar cerita dan informasi. I should also say, you’re very well blessed to have a friend like him, Mira…”

“Jamal bilang, kalau sama teman-temannya Johnny hanya meng-iya-kan kalau dia main belakang. Padahal, semuanya cuma ancaman aku belaka. Gak pernah Johnny ada intensi untuk berpaling dari kamu sama sekali, Mir. Aku geram, kenapa dia malah berlaku demikian dan bukannya jujur sama masalah yang dihadapin?”

“Dalam arti lain, he covered me up, but also protecting you at the same time. Jamal bilang, kalau Johnny pernah sampaikan dia gak mau nambah beban kamu. Maka dari itu, dia memilih keputusannya sendiri yang akhirnya seperti ini. Mungkin, waktu itu dia merasa belum ada cut off di antara kita, dia mungkin jaga-jaga kalau sewaktu-waktu aku bisa balik untuk approach dia dan keadaan makin buruk. Walau akhirnya gak seperti itu…”

“Selama ini dia nahan dan keep semuanya di diri dia sendiri, Mira. Mungkin juga dampaknya jadi ngerusak hubungan kalian, dia berusaha lindungin kamu tapi malah bikin dirinya sendiri rusak. Mungkin juga karena tekanan dan ancaman yang aku kasih, bikin mood dia gak enak dan bawaannya sensi sama kamu. Mungkin juga, dia berusaha mati-matian untuk keep kamu away dari permasalahan yang lebih rumit. Tapi ketika hubungan kalian udah memburuk komunikasinya, disitulah Johnny kena hit sampai kalian bertengkar dan gak nemuin jalan tengah…”

I totally feel bad for him, aku merasa berdosa banget untuk dia… Maafkan aku, Mira. Aku wanita sama seperti kamu, I feel worse for this. I’m sorry because it shouldn’t be this way, pardon for my worst mistakes. Aku minta maaf, sebesar-besarnya. Maaf sudah merusak kalian sampai ke titik terhancur ini…”, akhir Karen dengan tangis.

Markiano, di ujung sana, terkesiap ketika melihat wajah kakaknya terlampau berantakan karena tangis. Ketika Namira beranjak berdiri, badannya sempat terhuyung hingga membuat Markiano lari untuk sigap menangkap kakaknya.

“M-mira…” “Thanks, Karen. Sekarang aku hancur…” “Mir-“ “Pulang, Mark.” “Sorry, kak, better di WA aja kalau masih ada yang harus diomongin. Saya pamit”, sela Mark pada Karen.

Markiano bingung, Namira terus-terusan menangis dalam diam. Hingga setibanya di apartemen, Namira langsung terduduk lemas di depan pintu utama, tepat saat Markiano menutupnya sepersekian sekon yang lalu.

Kali ini, sambungan emosi kakak-beradik nyata adanya. Markiano memeluk Namira, yang entah dari mana sebabnya, ia turut merasakan betapa sakit dan sesak perasaan kakaknya saat ini setelah mengetahui fakta dibalik semua masalah hati. Berakhir mereka saling memeluk dan menguatkan satu sama lain, terduduk di depan pintu…

“Mark….” “I’m sorry, kak… Aku gak bisa jaga kakak…” “Johnny…” “Kakak yang kuat, aku gak akan ke mana-mana…” “Mark… Aku mau Johnny pulang…” “I miss him, too, kak…”

…yang diakhiri dengan pecah tangis mereka berdua mengisi seisi ruangan.

Kost Wanita, tulisan yang ada di depan Markiano sekarang. Alasan bisa di sini?

As simple as, waktu lagi bersih-bersih kosan, ransel yang dia pakai buat ke kampus menarik perhatian. Biasanya gak pernah, karena memang ransel itu dedicated buat kuliah aja. Kalau pulang, atau pergi main, ada ransel/tas lain. Dia lupa, kalau ada kotak makan yang belum dikembalikan ke pemiliknya…

Sebagai seorang Leo, bukan perkara sulit untuk ambil keputusan. Tapi anehnya kali ini jadi pengecualian, butuh duduk-duduk galau di kosan dulu sampai akhirnya bisa yakin sama apa yang bakal dilakuin. Berdasar, sih, kenapa bisa begitu. Alasan dia pulang buru-buru juga karena dia sakit dan pusing mikirin salah dia apa, padahal dia sadar harusnya gak perlu dipusingin…walau rasa galau itu memang benar adanya. Tapi masalahnya, ini menyangkut cewek yang dia suka…

Dia selalu berprinsip, minta maaf dulu walau belum tau salahnya apa. Siapa tau betulan dia salah, seenggaknya gak malu-maluin amat. Prinsip yang sama berlaku di lingkungan HIMA atau Tim Basket pimpinan dia, kalau dalam satu keadaan ada kesalahan pasti dia maju dan minta maaf. Evaluasi dan salahnya apa, menyusul ditelusuri. Gak heran, banyak yang respect sama kepemimpinannya dia.

Jadilah, setelah kosan bersih, dia mampir ke sini dulu. Kalau gak ada hasil, gapapa, namanya juga usaha. Kotak bekalnya dia bawa aja ke rumah, siapa tau selama libur berpapasan di jalan atau mall, kan tiggal dibawa ke rumah…buat ngembaliin. Bukan dikenalin ke orang tua, santai 😂😂😂 terlalu dini wahai kawan.

Karena areanya di dalam komplek perumahan, Markiano parkir motor di rumah (yang kebetulan kosong) tepat di serong kanan depan bangunan kosan sambil neduh dari panasnya matahari sore.

“15 menit, deh, baru pencet bel”, monolog dia.

Eh, gak lama, pagar kebuka. Kepala auto nengok, tapi sayang bukan yang dicari. Beberapa menit kebuka lagi, masih orang lain juga. Sampai di menit ke 15…

“Oke, pencet bel. 2x pencet gak ada, pulang. Maybe next tim-”

Ada yang bunyi lumayan kenceng, tapi bukan pagar. Sumber suaranya dari atas, ternyata jendela kamar dari lantai 2. Orang yang nongol, adalah orang yang Markiano harap keliatan batang hidungnya. Nisa, di atas sana, kaget bukan main. Padahal niat awalnya cuma mau buka jendela 15 menit, sebelum pergi ke mall terdekat buat menghibur diri. Matanya bengkak, karena semalam abis overthinking dan galauin orang yang ada di pinggir jalan seberang kosannya. Untung, udah mandi. Untung, udah rapih, dan udah pake hijab. Kalau pake hoodie doang, yah antara mati kutu atau malu, mentok-mentok diketawain si gebetan. Cie ilah…

Gak mau buang kesempatan dan gak mau biarin suasana canggung lebih lama, Mark yang di bawah posisinya lagi pegang kotak bekal auto lambaikan tangan sambil senyum yang kepalang ikhlas karena akhirnya rindu dia cukup tuntas sampai sini. Iya, rindu. Galau sih, galau, cuma kangennya tetep ada. Namanya juga gebetan, xixixi.

“Boleh turun?”, mulai Mark. “…” “Gue…gak akan lama, kalo gak mau turun gapapa. Kotak bekalnya gue taro di pagar, ya. Gue pamit.” “MARK TUNGGU, sebentar, jangan ke mana-mana!”

Hehe, makin lebar deh tuh si cowok senyumnya.

Dengan langkah agak ragu, Nisa mendekat sambil kepala agak nunduk -gak berani natap Mark langsung, takut rasa bersalahnya nambah.

“Ini, kotak bekalnya. Gue minta maaf kalau ada salah, apapun itu, gue min-” “Gue yang salah, Mark. Maaf, udah asal marah dan ngambek sama lo. Maaf…”, cicit Nisa dengan suara makin pelan. “Boleh gue tau, gue salah apa?” “Lo gak salah, Mark. Gue yang salah, gue bukannya bales chat lo nanya alasan kenapa bisa lupa atau gimananya. Gue…” “…?” “Gue gak sengaja liat lo lagi jalan sama cewek, sorenya, hari itu juga.”

Mark diem… Tapi anehnya hati dia meletup-letup, bahagia… Pengen senyum, tapi yang di depannya udah agak parau suaranya…

“Hey, ada yang salah kah? Kenapa nangis?” “G-gak tau, gue ngerasa bodoh aja.” “Hey, udah ya? Gue juga salah, gak ngabarin langsung. Gue juga udah janji sama lo, tapi gak ditepatin. Lo pasti udah nunggu juga, kan?”, yang dijawab anggukan oleh Nisa. “Maafin gue…” “Saling maafin aja, ya? Okay?”, dijawab anggukan lagi. “Kotak bekalnya, sini. Udah mau pulang, kan?”

Mark diem lagi… Tapi kali ini diemnya dibarengi sama ide gila yang sama sekali out of his plan

“Lagi free, gak?” “Ya, free? Udah libur juga.” “Gak pulang ke rumah abang?” “Lusa aja.” “Kenapa lusa?” “Ya, gak tau? Maunya lusa.” “Hahaha, jangan cemberut dong. Kita jalan, mau?” “Jalan? Sekarang?” “Iya, atau kalau mau sekalian gue anter pulang aja.” “Eh, jangan. Kejauhan.” “Bintaro sama Kebayoran gak jauh banget, easy.” “Iya tapi dari sini ke sana kan jauh.” “45 menit, I’ll be gentle.”

Nisa dalam hati: AKKKKKKKKK GENTLE BANGET EMANG KAMU MARKKK 😭😭😭

“Enggak ngebut, maksimal 60 atau 80 deh speed-nya.” “Oke deh, kalau gak merepotkan.” “Tapi mampir ke Senayan Park dulu, mau? Taman di atasnya mumpung baru buka.” “Ngikut aja, kan gue nebeng.” “Ok! Masuk, gih. Ditunggu di sini, ya.” “Gak mau nunggu di dalem aja? Di teras ada kursi, kok.” “Gapapa emang cowok masuk?” “Ya kan di luar, gak masuk kamar juga.” “Hehe, oke deh.”

Sambil jalan beriringan menuju kosan, Mark nyeletuk pelan yang kalau Nisa denger ya syukur, enggak juga gapapa.

“Jangan nangis lagi ya, Sa. Nanti langitnya malah ikutan mendung.”

“Langit hati gue, maksudnya”, yang khusus diucap dalam hati Mark.

Sebagai mahasiwa jurusan Kimia (atau, umumnya MIPA deh), praktikum udah jadi “cemilan” sehari-hari. Gak ada bedanya sama anak Teknik yang tiap hari dijejelin rumus, atau anak Manajemen yang disodorin teori pendahulu. Muak pasti ada, dan masing-masing mahasiswa punya caranya sendiri untuk damai sama tekanan. Kaya Nisa sekarang ini, dia lagi gak mau ketemu siapa-siapa saking capeknya. Aheng aja gak mau dia samperin, kalau Aheng nyamperin juga dia gak mau. Untungnya Aheng lagi lomba futsal di kampus lain, jadi Nisa rasa hari ini akan berjalan sesuai kemauannya.

Tapi, bukan hidup namanya kalau gak ngerjain sang empunya. Nisa yakin kalau taman pembatas fakultasnya tuh sepi, tapi siapa sangka…

…ada Markiano, lagi duduk dengan tegapnya. Ah, tapi gak tegak banget. Soalnya semakin Nisa mendekat, badan itu terlihat jauh lebih lunglai dan…kurus…?

Harusnya, Nisa bete karena rencananya buyar. Niat ingin menyendiri, eh malah ada orang lain. Anehnya lagi, dia gak mau menghindar walau masih bisa. Yah, biarkan ego dia menguasai. Ego yang bikin dia mendekat dan berhenti tepat di belakang punggung Markiano. Belum sempat menyapa, yang bersangkutan malah sadar duluan ada orang di belakangnya…

“Eh? Nisa?” “H-hai, apa kabar?” “Pretty…good…? Lo?” “Praktikum bikin eneg, biasalah.” “Oh…iya juga ya, gue sampe lupa lo anak Kimia.” “…ya kan emang iya?” “Abaikan aja, gue juga gak sengaja bisa sampai di sini.” “Emangnya lo tau taman ini…?” “Dikasih tau junior, katanya taman deket jurusan Biologi tuh enak. Anak Biologi langsung yang nanam, tapi jarang orang tau. Padahal, ini bagus.” “Soalnya jauh dari mana-mana kecuali dari sesama jurusan MIPA. Lo ke sini pasti jalannya hampir 1 kilometer…?” “Lebih, kayanya.” “Kenapa mau ke sini? Bukannya…biasanya hari Jumat lo pulang, ya?” Mark diam beberapa saat, “lagi mau nenangin diri aja.” “Oh, ya udah kalo gitu. Sorry ini kalo gue jadi gangg-“ “Enggak! Sama sekali engga, malah apa jangan-jangan lo yang ke sini mau sendirian?” “Tadinya sih, soalnya abis praktikum mumet aja.” “Ya udah, sini. Lo lebih butuh, gue cabut aja gapap-“ “Gimana kalo gue nimbrung di sini…sama lo…?” Mark senyum, “okay.”

5 menit berlalu, kelewat gitu aja tanpa suara. Tapi masing-masing dari mereka kompak natap beberapa mahasiswa Biologi yang lagi nanam sesuatu di taman depan mereka, cara penanamannya yang cukup unik sukses bikin atensi mereka terpusat. Sampai mahasiswa itu pergi, suasana jadi awkward lagi...

“Praktikumnya makin padet, ya?” “Udah makanan sehari-hari, sih. Kalau lo?” “Apalagi kalo bukan tugas, project based sih. Namanya juga Ilkom.” “Lo gak pernah futsal lagi, ya?” “Eh? Kok tau?” “Terus Aheng siapanya gue, dong?” “Oh, hahahah. Iya ya, lupa. Iya lagi mangkir dulu, jagain kakak.” “Kakak lo kenapa? Sakit?” “...sakit hati, sih. Dia putus.” “HAH???” “Panjang ceritanya, pokoknya putus.” “Sorry...” “Gakpapa, emang udah jalannya.” “Kakak lo sampe sakit yang harus dijagain?”

Mark urung aslinya, inginnya tuh tutup rapat-rapat karena dengan bercerita maka dia harus rewind ingatan sama kondisi kakaknya yang gak pernah mau dia ingat. Tapi mungkin dengan cerita, bisa bikin beban pikirannya berkurang, bukan?

“Misal, nih, lo punya pacar. Ternyata pacar lo ngaku kalau dia main belakang sama cewek lain, nah kaya gitu sakit hatinya. Sampai harus gue jaga biar stabil emosinya, soalnya hampir tiap hari ngurung diri dan nangis. Gue ikutan sakit hati liatnya...”

Nisa enggan jawab, karena ya kebayang banget rasanya kaya apa. Makin terdiam lagi waktu Mark lanjutin ceritanya...

”...karena kakak gue udah sampai di tahap berani memilih, Sa. Dia mau andai pacarnya ini jadi pendamping hidup, udah dipikir matang-matang buat memantapkan hati. Eh, belum sampai situ udah begini...” “Berarti, keinginan lo ujungnya terkabul ya harusnya? Tapi terlanjur begini...” “Ya begitu, nasi udah jadi bubur. Gue harus support kakak gue, jelas.” “Jodoh gak akan ke mana, kok. Kalau emang jodoh pasti bakal nemuin jalan buat balik lagi.” “Percaya sama kata-kata itu?” “Percaya aja, kejadian udah banyak. Lagian, kan, itu emang takdir Tuhan namanya.” “Hmmm, semoga kalau jodoh ya sama-sama memperbaiki diri, deh.”

“Udah sore, gak dicariin kakak lo?” “Eh, astaga iya. Bentar lagi d-”

KRRRRIIUUUUKKKKKK

Yang perutnya bunyi cuma bisa nyengir di tundukan kepala sendiri, yang denger langsung muter otak harus bersikap gimana.

“Tunggu di sini, Mark. Sebentar.” “Hah?”

Nisa balik badan buat lari, masuk ke ruangan (yang Mark anggap itu sekte anak MIPA alias entah itu ruangan apa rame betul isinya). Pas keluar, udah bawa nasi kotak...

“Nih, makan dulu. Lo gak makan berapa hari?” “Sembarangan, tiap hari makan.” “Ya berapa kali? Liat ini badan lo kurus banget.” “Hahaha, yang penting makan.” “Makan di sini dulu, pokoknya harus makan depan gue.”

Padahal perut lagi keadaan kosong, sempet-sempetnya Markiano ini usil.

“Oke, makan aja kan? Satu suap berarti kehitung ya.” “Ralat, harus habis.” “Ah enggak, tadi lo gak bilang habis.” “Lo pulang naik apa?” “Motor, nyetir.” “Pulang ke mana coba?” “Apartemen kakak gue.” “Nah, lo nyetir jauuuh coba. Perut kosong kaya gitu kalo maag lo kambuh atau kenapa-kenapa emang yang nolongin pasti ada? Yang ada lo dijambret, motor keren gini kurang mancing jambret gimana coba.” “Orangnya juga keren gak sih???”

Nah, kan.

“Gak ah.” “Beneraaan?” “Udah sih makan aja.” “Ya ini mau makan, tapi kan sambil nanya-nanya gak akan ganggu.” “Terserah.” “Jangan salting, itu kerudungnya sampe geser.”

Malu. Nisa malu. Double malunya deh kayanya.

“Udah bener.” “Nah, kan bagus. Gue makan ya, tapi sorry ini gak gue makan gapapa?” “Gak suka yoghurt?” “Iya.” “Ya udah, gue bawa aja. Makannya pelan-pelan.”

Mark kaget, sih… kaya… berasa diperhatiin…

Tapi ya udah, perutnya makin bergejolak jadi lebih baik makan sambil sebelumnya senyum untuk diri sendiri.

Pas makanannya habis, Mark baru sadar… “Btw, ini nasi kotak jatah lo apa gimana?” “Ada lebihan, anak Kimia abis ada seminar gitu deh.” “Oh, makasih banyak ya. Sorry kalo ngerepotin.” “Sama-sama, santai aja.” “Mau pulang…?” “Iya sih, mau pulang ke kosan. Lo gimana?” “Mau ke apartemen, motor gue di parkiran sini kok. Mau gue anter?” “T-tapi, motor lo tinggi…” “Enggak, gue lagi bawa matic biasa. Lagi males.” “Ya…udah, kalo gak keberatan.” “Okay.

Nisa bingung, kok Mark diem? Malah cuma berdiri doang…

Ladies first.” “Hahahaha, jangan gitu lah kan gue nebeng tau.” “Ya udah ayo jalan bareng.”

Ambigu ya Tuhan, ambigu… gue salting… ya Allah…, ucap Nisa dalam hati.

Aston Sentul mungkin jadi tempat singgah dengan memori indah sebagian besar penghuninya di penghujung minggu ini, bersantai tanpa beban bersama keluarga atau kerabat dekat dan melepas penat dari keseharian. Gak ada pikiran tentang pekerjaan, kuliah, sekolah, dan lain-lain. Berlaku juga buat Dimas, Jamal, dan Yuta yang udah sampai duluan dari teman-teman lainnya. Tepat di jam check-in ketiganya langsung masuk kamar dan saling bersenda gurau, yang mana cukup anomali karena Yuta biasanya jadi tukang tidur. Maklum, kerjanya mobile kantor-lapangan-kantor-lapangan. Gak kaya Dimas yang diem di kantor, atau Jamal yang di lapangan terus.

Kontras sekali kalau harus dibandingkan dengan tiga orang lainnya: Namira, Johnny, Tio.

Namira, yang akhirnya memutuskan untuk sewa supir kantor demi bisa ke Sentul sendiri (maksudnya, tanpa teman apalagi pacar atau siapapun itu). Mobilnya tetap mobil sendiri, karena dia sama sekali gak ada bayangan sesampainya di Sentul nanti bakal seperti apa ujungnya. Sepanjang 3 jam perjalanan di sore hari ini, pikirannya terus nerawang ke mana-mana. Ada banyak skenario di otaknya, mulai dari worst, good, sampai best scenario udah disiapin. Tapi kalau hatinya sih, gak tau. Buktinya, setiap sekian menit matanya kerap basah dan mati-matian ditahan supaya gak jatuh. Biar gak terlalu ketahuan sama supir juga, sebenernya…

Johnny, yang sepanjang perjalanan nyetir sendiri dan ditemani dengan radio di mobil gak bisa tenang dan hatinya sangat amat berat. Kata “uneasy” dan “heavy heart” udah paling pas buat gambarin keadaannya, raut wajahnya juga gak kalah tegang. Dia sama sekali gak ada bayangan apa yang akan terjadi nanti seketemunya dengan Namira, di dalam hatinya juga ada rasa rindu yang gak bisa dijabarin pakai kata-kata tapi terhalang ketakutan dan kegelisahan diri. Rasa menyesalnya semakin membuncah, karena sejak Putra marah-marah di chat dirinya seakan baru ditampar sama keadaan. Ada kebesit pikiran kalau dia seperti “dirasuki setan” saking gak sadar sama perlakuannya, tapi karena sudah terlanjur kejadian, mau diapakan? Mau gak mau, pasrah dan nerima keadaan berikut konsekuensinya udah jadi jalan paling tengah buat diambil…

Tio, kini berada di sebuah cafe sedang menelusuri foto sahabatnya sendiri. Entah apa yang hendak dicari, tapi nampaknya ingin mencari tahu lebih jauh tentang foto itu. Jarang sekali, seorang pria mau ngorek info se-niat itu. Tio cuma merasa kalau ada sesuatu yang salah, kalau iya sahabatnya itu melenceng terlalu jauh maka harus dikembalikan ke jalan yang seharusnya. Tio hanya ingin berperan sebagai orang baik di sini, tapi tetap tergantung hasil pencariannya nanti…

Tepat pukul 5 sore, Namira sampai. Langsung ambil kunci di lobby hotel dan segera masuk kamar, sengaja gak info Dimas, Jamal, ataupun Yuta. Sampai sini bukannya makin tenang, tapi malah makin gusar dan rasanya ingin segera pulang lagi. Jadilah, sesampainya di kamar ia hanya duduk di tepi kasur dan berbalas chat singkat…

Johnny Kamar berapa, Mir? 304 Aku ke sana

Beberapa menit kemudian, muncullah Johnny Hutapea di depannya. Johnny, pacarnya, kekasihnya, yang sudah hampir 3 bulan ini jauh dari pandangan, tanpa ada satupun video call sebagai obat rindu, dan hanya suara melalui sambungan telepon yang menjadi pelipur lara…di awal. Karena setelahnya, komunikasi keburu rusak. Atau, “rusak”?

Johnny gak bisa untuk gak peluk erat Namira, harus dia akui kalau ia rindu wanitanya ini. Walau dalam hati, kegelisahan itu tetap ada. Berbeda dengan Namira yang merasa bahwa pelukan ini bagai sebuah getir, di sela-sela rindu yang aslinya teramat membuncah ada banyak sekali suara hati yang ingin dilontarkan agar pria di depannya ini mengerti apa yang sudah tertahan dalam 3 bulan belakangan. Keimpulsifan Namira bekerja teramat baik, sampai pelukan itu ia lepas sepihak dan bergegas duduk di atas kasur twin bed. Johnny menyusul, ikut duduk di sebelahnya dengan jarak yang moderat: gak terlalu jauh, gak terlalu dekat juga.

“Maafin aku, Mir…”, adalah kata pemecah 5 menit keheningan dari Johnny.

“Aku minta maaf, I just realized that I made a mess.” Namira tertawa getir, “Memangnya apa salah kamu?” “…aku gak kabarin kamu, gak balas chat kamu, gak inisiatif buat hubungi kamu duluan, abai sama kamu, sekalinya komunikasi malah bikin masalah, sampai chat pake kata-kata gak pantas. Aku udah bikin kamu sakit hati, kan?”

Baru juga beberapa kalimat, tapi Namira udah gak bisa nahan air matanya buat keluar. Setidaknya, sekarang ini udah tergenang di pelupuk mata. Mati-matian ia sembunyikan dengan menundukkan kepala, walau gak ngaruh kalau Johnny lihat ke arahnya persis…

“Itu udah tau, tapi kenapa baru bilang sekarang, hm?” “Maaf, Namira. Maaf…” “Udah, cuma itu aja? Aku ke sini capek-capek sendiri cuma buat denger kamu ngomong, tau. Masa cuma itu aja, kalau emang kamu minta maaf?”

Yang ditanya diam seribu bahasa…

Hm?” “I’m very sorry, Mir…” “Ya, apa? Kamu minta maaf lagi karena apa?” “…” “Johnny, ayo jelasin… Aku mau ngobrol dan mohon-mohon ke kamu kemarin buat dengerin penjelasan kamu…”

Gerah sama diamnya Johnny, meluncurlah akhirnya foto itu. Foto dari apa yang ada di galeri handphone Tio, yang sebisa mungkin dia ambil up-close biar gak terlihat ciri-ciri dari handphone itu. Demi jaga rahasia dan unsur lain yang mungkin nantinya bakal jadi bahan untuk Johnny cari tahu…

Ketawa getirnya sekarang bercampur dengan suara yang bergetar, susah untuk sembunyi lagi. Namira gak peduli, hatinya teramat sakit sekarang. Diamnya Johnny seolah menyetujui apa yang ada di benaknya…

“Kamu sama siapa? Kok peluk-peluk? Gak inget ya masih ada aku di sini? Aku tuh masih pacar kamu gak sih? Atau kamu bosen sama aku? Padahal kalau bose-“ “Mira, aku bisa jelasin dan aku mohon dengerin aku. Kamu tanya apapun aku bakal jaw-“ “Bakal jawab? Tadi aja aku tanya kenapa kamu diam? Kenapa gak berani ngomong? Bukannya kita udah komitmen buat jujur satu sama lain? Atau, LDR perdana kita kemarin tuh malah jadi ajang pembuktian kalau sebenernya kita gak bisa LDR? Pembuktian kalau sebenernya kamu bosen sama aku, ya?”

“Semakin kamu diam, semakin aku anggap dugaan aku benar, Jo…”

“K-kamu…selingkuh? Kamu main di belakang aku?”

Seketika Johnny merasa dunianya runtuh. Pikirannya blank, otak seolah gak bisa proses apa-apa, aliran darah seperti berhenti karena jantungnya berdebar gelisah gak karuan.

“Mir, bukan gitu. Itu Karen, teman kerjaku. Oke, dia talent, dia artisnya, dan aku kru di balik proyek kemarin jadi aku memang intens sama dia. Mendadak beberapa hari lalu Putra chat aku kalau ada scene yang harus di retake, dan aku ditumbalin karena harus jadi saat itu juga walau talent cowok yang asli gak ada. Sumpah, Mira, aku bukan pelukan karena ingin atau gimana.” “Oke, anggap aku percaya. Tapi apa di balik layar juga sama? Kalian gak ada affair atau apapun?” “…a-aku-“

Yang basah bukan pelupuk mata Namira lagi, tapi lengan baju dan ujung baju bagian bawah yang seakan sedang menampung air matanya. Namira udah siap dengar apa yang selama ini dia duga, udah siap dengar apapun yang memang jadi bitter truth. Karena balik lagi, dia udah siapin banyak skenario untuk hari ini. Tinggal gimana Johnny mau jujur atau enggak…

“Ayo, kamu kenapa? Aku dengerin kok, mau kamu jujur atau bohong juga aku bakal tau. Kalaupun yang jujur bakal nyakitin, aku dengerin…” “M-mir…aku gak bisa…” “Gak bisa apa…? Ngomong aja, ya? Kan kita udah komit, apapun diutarakan…” “…”

Pasrah. Namira pasrah…

“Harus kah aku yang ngomong kalau selama ini aku tau kamu ngapain aja? Lebih baik kamu jujur, aku dengerin, Jo. Apapun, aku butuh kamu yang jelasin. Aku gak akan motong, bisa aja aku salah…”

“Aku berani sumpah, aku khilaf…”

“Aku salah besar sama kamu, Mir. Aku salah…”

“Aku hang out sama Karen.” “Kalau cuma hang out doang, rasanya gak masalah. Salahnya, di bagian mana?” “Aku hang out, kemana-mana sama dia, selalu ladenin dia, dan…a-aku…lupain kamu…selama itu…” “Kalau lupa, kan sekarang udah inget lagi.” “Maaf, Namira. Maaf…” “Kamu sempat bosan kan sama aku? Makanya di sana ada dia yang mungkin lebih menyenangkan daripada aku, lebih ada di sekitar kamu, gak kaya aku yang sibuk dan cuma bisa dihubungi beberapa kali aja. Iya, kan?” “…” “J-johnny, jawab…”

“Iya apa enggak, hm?” “…iya.”

Energi di tubuh Namira langsung hilang, rasanya seperti dikuras habis sesaat. Badan mungil itu lunglai dan beringsut jatuh terduduk di atas karpet, dengan wajah yang ditutup kedua tangan guna menutup tangis kencangnya yang tertahan. Johnny? Hanya bisa memandang lemah, karena rasanya untuk menghampiri pun terhalang oleh berjuta rasa salah. Walau, ia tetap mencoba…

“M-Mira…” “Stop, jangan pegang aku.” “Mir, aku salah. Aku telat buat sadar kalau yang aku lakuin salah, aku khilaf. Aku akuin aku salah besar, aku bosan dan penat sama kerjaan bukannya malah cari kamu tapi malah ke yang lain. Aku gak maksud cari kesalahan, tapi dia juga ngegoda aku. Salahnya aku, malah sambut baik. Putra yang udah ingetin sampai bisa aku abaikan, dan aku telat buat sadarin itu semua, Mir. Aku paham, aku salah. Tolong, dengerin aku…” “Gak seharusnya kamu kaya gitu, kalau aku salah juga biasanya ditegur, kan? Kalau aku ada salah, tolong bilang. Kalau bosan, bilang juga. Kita bisa break buat sama-sama cari jawaban, tapi kenapa cara kamu kaya gini…?”

“Aku, Jo, aku selalu sempetin chat kamu walau aku sibuk. Tapi kamu gak pernah balas, beberapa minggu hilang, balik lagi tanpa ada rasa bersalah. Kamu bener-bener bikin kita yang gak pernah marah-marah setiap malam, jadi kejadian. Kamu limpahin kekesalan dan penat kerjanya kamu ke aku, seolah aku yang salah. Kamu sendiri bilang aku ribet, dari situ aku mikir dong. Aku ada salah apa sama kamu? Kalau kamu bosan, apa karena aku ngelakuin salah? Karena setauku, kalau hubungan bosenin itu asalnya dari keduanya yang ngejalanin. Jadi kalau iya kamu bosan, selain memang aku ada salah, dari kamu juga pasti ada sebabnya.”

You seems to turning back and hate me at some point, so I was thinking if you hate me for real nowadays?”

“Ini sama aja kaya selingkuh, kamu bosan dan kamu seperti “jajan” di luar. Kamu nyari yang gak ada di aku, tapi ada di orang lain. Kalau kaya gitu, gak akan abis-abis. Semua orang gak sempurna…” “Mir, please, let me hug you. Aku sakit lihat kamu begin-“ “Begini juga sebabnya kamu…”

“Aku, Jo, selalu di sini. Aku merasa, aku udah try to work things out. Aku masih bisa jadi orang yang kamu butuhin, kamu mau lari dan butuh sandaran pun aku bersedia. Tapi kamu malah ke orang lain, ketika aku menyesuaikan diri dan memantaskan diri buat kamu…”

“A-aku ngerasa gak berguna…” “Mira, enggak. Kamu gak kaya gitu, tolong-” “Kamu yang ngebuat aku kaya gini, Jo. Aku sakit…sakit banget…”, raung Namira, sambil beberapa kali memukul pelan dada kirinya.

“Semuanya jadi percuma, mimpi-mimpi jangka pendek dan jangka panjang yang aku rencanain udah percuma sekarang.”

“Aku ngeliat masa depan di kamu, Jo…. I have some sight on marriage and such, another future plans that may happened, semuanya ada di bayangan dan bahkan rencana nyataku. T-tapi, a-apa? Kamu giniin aku sekarang…”

“Kamu udah tau kalau masa lalu aku gak ada yang bagus, tapi sekarang kamu begini…”

“Kamu boleh aja ambil hati aku, mau kamu sembuhin dari masa lalu atau kepalang kaya sekarang kamu hancurin.”

Namira mencoba bangkit dari posisinya perlahan, berpegangan pada benda apapun yang bisa diraih sampai setidaknya bisa menuju pintu. Setelah dirasa energinya terkumpul, ia bergegas keluar ruangan…tanpa mempedulikan Johnny…

“Namira, tolong. Jangan tinggalin aku, Mira please-“ “Lepasin, aku mau pulang. Tolong…” “Mir, please. Aku gak mau, kamu pergi gak akan bikin ini baik-baik aja. Kita gak baik-baik aja, please…”

Namira terus berontak di dalam pelukan dari belakang Johnny, sampai akhirnya Johnny harus manggil namanya dengan nada yang lumayan tinggi…

…sampai terdengar ke luar, dan ada 2 orang yang sadar akan hal itu.

Namira gak kesinggung atau merasa takut sama sekali, malah membalikkan badan dan terlonjak kaget dengan pemandangan yang ada di depannya.

“Jangan nangis, cukup aku aja yang nangis.” “Mira, aku bukan apa-apa tanpa kamu. Tolong, jangan tinggalin aku. Kita cari jalan keluarnya, aku mohon aku salah…”, yang dibalas dengan usapan di kedua pipi. “Jangan nangis, Johnny. Jangan nangis, maaf…”

…lebih baik kita putus aja. Aku gak mau nantinya malah jadi saling menyakiti satu sama lain.” “Mira, enggak. Aku mohon, p-please. Jangan…” “Maaf, Johnny. Maaf…. Mungkin, kita cuma sampai di sini. Aku gak bisa bayangin kalau kita lanjut, aku terlalu sakit buat nanggung ini. Mana mungkin, yang jadi sumber sakitnya aku bisa rangkap jadi sumber sembuhnya juga. Ketika posisi kamu juga harus menyadari apa yang udah kamu perbuat…”

“Aku minta maaf kalau belum jadi pasangan yang baik buat kamu, bikin kamu bosan sampai harus beralih ke yang lain. Never on my intention, any ever.” “Mira, we can fix this. I can fix this, please. Jangan pergi, jangan tinggalin aku.” “Aku pamit, tolong jaga diri baik-baik. I love you…”

Dalam sekali hentakan, Namira buka pintu dan berlari ke tangga darurat untuk turun. Pikirnya, kalau harus nunggu lift pasti masih bisa dikejar. Nyatanya…

“MIRA! NAMIRA!!!”

…Johnny hanya sanggup mengejar sampai ambang pintu, karena seketika tenaganya melemah dan tubuhnya beringsut dalam sandaran tembok.

Tangisnya pecah sesaat setelah pintu ditutup kembali, dunianya mendadak kosong. Namira, telah pergi meninggalkannya dalam kesendirian. Walau ia sadar bahwa ini semua disebabkan oleh kesalahannya, namun tetap saja perasaan luka itu ada. Bukan hanya luka pada Namira, tapi juga luka bagi dirinya sendiri.

Johnny kehilangan pengisi harinya. Johnny kehilangan dia yang telah memimpikan masa depan dengannya. Johnny kehilangan Namira, yang 3 tahun belakangan ini jadi sumber semangantnya.

Kehilangan, yang disesalkan karena ulah sendiri…dan berakhir seperti ini…

Hendery lepas tangan, otomatis. Nisa juga sepenuhnya sadar kalau terus-terusan chat Hendery gak akan ngebantu, apalagi berguna. Mark yang ada di depannya juga udah makin dekat, mau gak mau netralin jantung udah paling bener. Apa malah ikutan netralin perasaan? Xixixixi.

Mark mendekat, menghampiri, berdiri tepat di hapadan Nisa dengan tetap menyisakan jarak sekitar 1 meter. Terlihat jelas ragu-ragu, tapi yakin. Takut, tapi udah terlajur. Malu, tapi mau. Begitulah…

“Hai, Nis.” “Mark…” “Ehm, anu… Gue tadi di chat Hendery, katanya lo gak ada yang jemputin? Jadi, gue diminta tolong jemput lo. Dia gak bisa katanya, lagi gak bisa.”

Nisa bersungut, antara kesel sama Hendery karena sengaja atau kesel sama semesta yang kayaknya mendukung banget. Bukan maksud gak bersyukur, tapi dia cuma gak siap ajaaa…

“Iya, sih. Ya udah deh, ayo. Tapi beneran gak apa-apa?” “Bener, kok. Gue santai, ada tugas tapi gak urgent banget.” “Y-yaudah, makasih ya sebelumnya. Maaf banget ngerepotin, padahal gue juga baliknya ke kosan…” “Ya udah, ayo masuk.”

Tenang, gak ada cerita si cowok bukain pintu si cewek, kok. Normal aja ngalir kaya biasa.

“…kok belum jalan?”, tanya Nisa. “Eh, sorry, gue gak hafal banget jalan ke kosan lo. Cuma tau sampai perempatan gede depan aja.”

Itu alibi aja sih, kan sebelumnya udah pernah ngintilin waktu malam-malam. Lucu kalau tiba-tiba Mark main gas ngeng terus hafal kosannya di mana, nanti dicurigain kan lebih berabe. Mau PDKT, jadi gagal deh.

“Ohhh, iya juga…”

Btw, sebenernya ini masih siang kalo pulang ke kosan. Maaf ya, Mark. Bukannya gak mau, tadinya kalo cuma Aheng yang anter iya mau ke kosan. Tapi kalo lo yang jemput, rasanya gak enak banget kalo cuma anter sampai kosan. Gue takut ngerepotin aja, beneran deh.” “Eh, gapapa lagi. Kan namanya juga sekalian, gue dimintain tolong dan nyanggupin juga kok. Gak masalah.”

Nisa jadi diem, mikir… Mark jadi bingung, mikir juga…

“Atau, lo mau ke mana dulu gak gitu? Gue anterin.” “H-hah? Ya malah jadi tambah gak enak, Mark.” “Gapapa, kalo lo mau ke mall gitu atau ke mana gue temenin deh. Gue lagi gabut juga, sih…”

Terus tiba-tiba Nisa keinget beberapa hari lalu, waktu lagi makan siang bareng Aheng di kampus dia nguping sedikit percakapan Aheng sama Mark. Intinya, Mark berantem sama Kakanknya. Selesai makan siang, Aheng nyamperin Mark. Kayaknya sih, agak serius. Sampai Aheng harus nyamperin segala…

“Lagi mood ngapain, kalo lo?” “Hah?” “Ya lagi mood ngapain? Kalo mau ke luar atau jalan ya sesuain mood kayanya lebih baik.” “Kalo lo, gimana?” “Yah, malah nanya balik.” “Biasanya cewek lebih moody dan lebih punya banyak preferensi aja sih, gue ngikut kalo lo ada preferensi.” “Hmmm, mau yang ngademin pikiran?” “Boleh, kebetulan lagi pengen yang ngademin pikiran.” “Ya udah, ke mall aja kalo gitu.” Mark ragu dulu sebentar… “Kalo ke Senayan, mau gak?” “Oh, boleh. Gue free juga sih.” “Kalo baliknya malem karena macet, gapapa juga?” “Gapapa, bebas.” “Oke, Plaza Senayan ya.” “Silahkan…”

Kok gue mau mau aja dan iya iya aja sih…, batin Nisa setelah mobil mulai masuk tol.

Sesampainya di Plaza Senayan, Nisa langsung bilang kalo lagi mau es krim. Niatnya mau beli yang ada di supermarket dalam mall, biar bisa beli dua sekalian buat Mark. Eh, di tengah jalan ke sana lewatin Baskin Robbins. Mark tanpa ragu narik Nisa ke sana, nyuruh pilih mau rasa apa. Namanya juga anak kosan, pasti cari yang hemat dong? Untungnya lagi ada promo beli 1 scoop gratis 1 scoop juga, dan tempatnya pakai cup, bukan cone. Untung banget, pikir Nisa. Lebih untung lagi, Mark yang bayarin tanpa babibu. Ya wajar sih, tapi ada gak enaknya juga. Mana udah disetirin, dianterin, dijemput pula tadi. Lalu dia mikir, Mark uang jajannya sebanyak ini kah…? Tapi kalo ngeliat mobilnya sih, gak kaget sebenernya. Tapi kata Aheng ini mobil bokapnya, Kakaknya punya mobil lain sendiri. Gak heran juga sih, Kakaknya juga udah mandiri secara finansial walau katakanlah cewek dan anak pertama. Aduhhhh, penyakit overthinkingnya kumat. Langsung dia hempasin dulu penyakitnya, gak baik muncul pas lagi jalan berdua gini.

CIELAH JALAN BERDUAAA…

Terlihatnya sih agak disayangkan, dari Depok ke Senayan cuma makan es krim. Tapi enggak kok, mereka udah makan siang sebelum pergi, jadi masih kenyang. Mereka sepakat buat cari makan untuk di take away nanti sebelum pulang, sekalian untuk makan malam di kosan masing-masing ceritanya. Sekarang, mereka lagi duduk di bagian luar salah satu kafe. Mark mau beli roti yang dia bilang sih kesukaannya, dan cuma ada di kafe itu. Entah beneran kesukaannya, atau kesukaan plus suka spot luarnya, atau cuma karena spot luarnya aja. Nisa gak peduli, yang penting bisa duduk.

Btw, kata Aheng lo punya abang ya?” “Iya, kenapa?” “Gimana rasanya punya abang?” “Walaupun ngeselin, tapi dia sayang. Gitu deh, singkatnya.” “Ngeselinnya kaya gimana emang?” “Ya gitu, suka usil, jail banget. Kaya gimana aja abang-adek suka saling usil, tapi ini abangnya yang usil dan gue adeknya cewek yang kena terus. Gitu deh.” “Tau kalo dia sayang sama lo, gimana?” “Hah, lo serius nanya kaya gini?” “Pengen tau aja, dari sudut pandang lo.”

Sesuap es jadi pembuka atas jawaban yang cukup panjang dari Nisa, “Gimana ya, abang kan ngerantau ke sini. Orang tua kita tuh di kampung, di Tasik. Gue aja bisa sekolah ke sini gara-gara abang, dia yang mau tanggung jawab dan bersedia jaga gue di sini. Cuma ya emang gue ngekos sekarang tuh baru, sebelumnya ngekos bareng abang. Tapi abang udah bisa beli apartemen sekarang, gue ngotot ngekos soalnya biar ngerasa mandiri dan gak bebanin abang lagi. Kerjaan dia udah padet, gue gak mau jadi beban. Makanya seminggu sekali abang ke sini, atau gue kadang ke apartemen abang di Jakarta. Gue tau, di balik usil dan cueknya dia tuh dia perhatian dan sayang sama gue. Cuma gak ditunjukin aja, karakter dia emang begitu dan gue paham. Nunjukin rasa sayang tuh gak melulu pake kata-kata atau treatment yang keliatan, Mark. Kadang tindakan dan perhatian yang kita gak sadarin tuh juga bentuk rasa sayang, dan seringkali kitanya gak sadar.

Kalimat terakhir Nisa menampar Mark dalam realitanya, padahal dia yakin kalau Nisa gak tau masalah yang dia alamin. Tapi perkataannya just straight to his heart, tanpa harus diulang atau dipertegas lagi.

Hmmm, gitu ya. Seneng dengernya, gak jauh beda kaya Aheng ke kakak ceweknya sih. Tapi kebalikannya, kasian kalo si Aheng.” “Hahahaha itu sih lain cerita, satu keturunan sama usilnya dan sama bobroknya.”

Selayang pandang, Mark merhatiin es krim di tangan Nisa… “Lo sukanya memang green tea aja? Milihnya langsung itu, gak yang lain.” “Iya, suka banget green tea. Tapi gue gak sweet tooth sih, cuma suka green tea aja.”

Sweet tooth, itu kakak…

“Emangnya kenapa nanya tadi? Kalo lo sama kakak lo gimana?” “Beda sih, kakak gue tuh cewek.” “Enak dong harusnya, cowok punya kakak cewek tuh ada yang merhatiin banget jadinya.” “Iya, tapi tetep pengen punya abang sih hahaha.”

Ada sedikit nada sumbang dari ketawanya Mark barusan…

“Emang kakak lo kenapa?” “…gak kenapa-kenapa sih, lagi berantem aja. Makanya gue mau ngademin pikiran.”

BINGO!

“Berantem mah biasa kali, emang kenapa berantemnya?” “Gue kesel aja sih, dia berantem sama pacarnya. Buat gue itu salah paham dan bisa diomongin, tapi dia kayanya mau minta putus gitu sama pacarnya. Gue gak mau mereka putus.” “…karena?” “Gue maunya kakak gue sama pacarnya yang sekarang aja, gak mau sama yang lain.” “Lo emang tau masalahnya apa? Sampe gak mau gitu?” “Tau, tapi gak tau yang lebih panjangnya sih.” “Terus kenapa lo sampe kaya gitu? Kan itu hubungan mereka, Mark. Kakak lo berhak nentuin dong mau kaya gimana sama hubungannya.” “Masalahnya mereka pacaran udah lama, gue udah nyaman sama pacarnya yang sekarang. Gue pengen punya abang, pengen dia jadi abang gue gitu.” “Tapi yang jalanin hubungan mereka, bukan lo. Kalo kaya gitu, namanya lo egois. Kalo posisinya kakak lo tuh lagi tersakiti, namanya lo ingin bahagia karena keinginan lo di atas penderitaan dia dong?”

Tertohok…

S-Sorry, Mark. Gak maksud, cuma ngomong pendapat gue aja sih. Maaf kalo kesinggung…” “Gapapa, Nis. Jadi punya sudut pandang lain, ya…walau kayanya iya sih…” “Iya apa?” “Gue egois…” “Itu sih kayanya lo harus pikirin lagi, ini kan sudut pandang gue doang. Yang tau masalahnya cuma lo sama kakak lo, harus ngomong sih kayanya.” “Kalo lo sama abang lo, gimana?” “Bilang terang-terangan, soalnya sadar diri sama-sama tsundere.” “Hahaha, gitu ya…” “Emangnya lo udah tau posisinya kakak lo kaya gimana, dan pacarnya kaya gimana?” “Belom…”

Aslinya tuh Nisa heran, Mark ada kesan overprotective sama kakaknya tapi ada juga sisi gegabahnya. Kayak, apa ya? Saking sayangnya sampe gak liat kanan kiri, mungkin dianya juga belum sadar sama hal itu. Pengennya sih ceramahin, tapi dia siapa?

“Coba ngobrol aja, terus minta maaf. Gue yakin kakak lo punya alasan sih, cewek kalo emang udah sayang dan udah lama jalanin hubungan tapi akhirnya milih putus tuh alasannya pasti kuat. Gue yakin, gak semudah itu. Ini kalo dari gue ya, gak tau kalo kasusnya di kakak lo.” “Orangnya gak ada di rumah.” “Ya tunggu pulang, dinas?” “Enggak, pindah ke apartemen.” “Hah?! Gara-gara lo??? Sampe pindah???” “Bilangnya sih biar deket ke kantor, tapi lokasi apartemennya gak deket-deket amat dari kantor. Kayaknya iya gara-gara gue deh…” “B-bentar, emang terakhir kali kalian berantem kaya gimana? Kalo boleh tau.”

Mark diem dulu…

Pikirannya flashback ke chat terakhir kali waktu berantem…

Tanpa disadari sekarang perasaannya mendadak diremes-remes, ketikannya ternyata…jahat juga…

Mulai sekarang mungkin dia gak berani buka lagi room chat sama kakaknya, agak takut sekaligus meringis kalo diliat lagi. Nginget doang rasanya udah pening, gimana kalo diliat ulang…

“Gue bilang dia egois, gue gak mau ketemu dia, dan dia iyain. Dia gak akan ganggu gue.” “Astaghfirullah, Mark??? Lo bilang gitu ke kakak lo???” “Jahat ya…?” “Keterlaluan, maaf. Tapi gak seharusnya lo ngomong gitu ke dia, apalagi dia lagi jadi pihak yang tersakiti loh…”

“Gue sebagai cewek bisa paham sih, dan…iya…lo keterlaluan kalo sampe gitu. Lo adiknya, harusnya bisa dukung dia pas lagi jatuh. Itulah gunanya adik…” “Hahahaha, malah gue bilang kalo gue gak ada gunanya waktu itu. Gue beneran jahat…”

Mark mukanya udah sendu, dan Nisa gak tahan juga ngeliatnya. Pengen banget aslinya nasihatin A—Z, tapi dia bukan siapa-siapa juga…

“Ya udah, kita pulang aja mau gak? Beli makanannya jadi?” “Oke, di bawah ada tempat makan yang seafoodnya enak. Rekom-“ “…rekomendasi siapa?” “Kakak gue.”

Pengen iba, tapi bukan waktu yang tepat. Nisa lebih milih buat hibur Mark kali ini, “Yuk ah, gas ngeng. Masa cakep-cakep galau.”

Pengen salting, tapi masih ada bumbu galau. Jadi, Mark senyum aja digombalin gitu. Tangannya juga pasrah ditarik Nisa ke bawah mall alias basement yang dia maksud.

“Nis, makasih banyak.” “Buat apa?” “Udah ngasih nasihat tadi.” “Gak yakin nasihat, tapi sama-sama.” “Boleh minta nomor kontak lo?” “Sini aja, gue ketikin.”

Sepanjang jalan pulang lagi ke Depok, seenggaknya Mark sedikit lebih terhibur. Nisa mendadak bawel bahas banyak topik dan Mark juga seneng nimpalinnya, walau niat asli Nisa cuma biar Mark ada temen dan gak ngantuk selama nyetir.

Memang terkadang, masalah bisa jadi perekat hubungan antar manusia.

Sepertinya juga, mulai sekarang alasan senyumnya Mark bertambah.

Nisa, seolah datang bagai pelipur lara.

Tapi kehadirannya gak akan dijadikan sekedar pelipur lara biasa, karena Markiano udah jatuh hati, udah kepalang naksir, bukan sekedar penasaran ingin deketin, tapi mulai ingin ngarahin yang bersangkutan biar bisa jadi pacar.

Persoalannya sekarang adalah, dia gak mungkin cuma minta nasihat sama Aheng dan minta tolong jadi mas comblang. Dia butuh kakaknya buat jadi tempat curhat sekaligus konsultasi perihal cewek, butuh nasihat dan sudut pandangnya demi bisa lebih ngerti soal cewek sebelum benar-benar “meminta” Nisa buat jadi pacarnya. Mark butuh keyakinan lebih, dukungan lebih, dan nasihat yang lebih perkara ini.

Jadi, tugas Mark sekarang adalah memperbaiki hubungannya dengan sang kakak, Namira. Walau yakin gak akan pulih dalam waktu yang sebentar, tapi dia sudah membulatkan tekad untuk berjuang untuk itu. Dia harus bisa meyakinkan, mendukung, dan mungkin menyembuhkan kakaknya terlebih dahulu sebelum bisa mencapai keinginannya itu.

Dari masalah ini, Mark jadi belajar kalau dalam hidup ada hal yang harus dikorbankan. Gak semua harus berjalan sebagaimana keinginan dia, dan untuk hal ini dia harus mengorbankan tekad perihal asmaranya demi kebahagiaan kakaknya terlebih dahulu. Dia jadi sadar, kenapa kakaknya seneng banget ngebantu dan mendahului bantuan ke temen-temennya daripada dirinya sendiri. Ternyata, kaya begini rasanya dan rupanya…

Gak heran kalau bang Jamal sama bang Dimas protect banget sama kakak…, batinnya.

Namira sampai di Depok dengan wajah dan mood bersungut-sungut, karena ternyata ke Depok jauh lebih melelahkan daripada kalau kerja ke Jakarta biasa. Jabanin macet Jakarta jauh lebih baik daripada Depok, yang udah ganti pejabat daerah berapa kali pun tata kotanya gak makin baik.

Untungnya dia sampai gak mepet jam 9, masih ada belasan menit buat retouch make up, nambah parfum, dan gak lupa buat minum. Setelah siap, dihampirinya Tian si senior untuk masuk bareng ke ruang meeting yang tersedia.

Beberapa staff sudah di sana, menyambut mereka untuk dipersilahkan duduk. Mereka tampak grasak grusuk untuk prepare infocus dan peralatan dukung presentasi lainnya, sambil nunggu beberapa atasan masuk di jam 9 tepat. Dalam benaknya Namira jadi teringat waktu dia masih jadi staff, masih jadi babu yang disuruh apa-apa harus mau. Jauh dari kata “mending” kalau dibandingkan dengan Johnny, karena dia betulan kerja untuk ngembangin skill tusi di bidangnya.

Keinget Johnny lagi… Padahal selama perjalanan udah susah payah ngumpulin semangat biar fokus sama meeting hari ini, eh malah keinget lagi.

Bukan apa-apa sih, tapi sementara waktu Namira memutuskan untuk fokusin atensi ke pekerjaan. Perihal Johnny, dia yakin bakal ada waktu yang tepat buat selesain masalah. Sambil nunggu yang bersangkutan balas pesan juga, syukur banget kalau bisa kabarin balik…

:)

“Selamat pagi, mas Tian?” “Waduh, lama gak ketemu, nih. Apa kabar pak Herman?” “Baik, baik sekali. Cuma berdua?” “Iya, disposisinya buat kita aja. Kenalin pak, ini bawahan saya, Namira.” “Salam kenal, pak. Saya Namira, Account Manager baru di tim mas Tian.” “Salam kenal ya, silahkan duduk.” “Bapak sendirian?” “Ada dua lagi itu, Manager saya sama asistennya. Lagi ke toilet dulu kayanya.”

TOK TOK!!!

“Permisi, pak.” “Nah, ini si asistennya. Kenalan dulu, ayo.” “Saya Juan, mas, mba. Salam kenal.” “Tian, ini Namira.”

Juan mengulurkan tangan untuk berjabat dengan keduanya, pun sang lawan yang diajak jabat tangan juga menyambut baik. Tapi kemudian…

“Permisi, maaf saya terlambat.” “Nah, ini nih managernya”. “Tio.” “Tian, salam kenal. Gak beda jauh ya namanya.” “Hahaha, bisa aja.”

Tian guyon, yang mungkin kalau tujuannya cewek bakal jadi beda atau malah baper…atau malah salting? Untungnya, itu cowok.

Beberapa saat kemudian, ternyata keadaan terbalik…

Well, gak terlalu terbalik. Tapi…

“Tio.”

…Namira seolah merasakan hal berbeda, yang saat bersalaman dengan Juan tadi tidak ada.

Ada sensasi dan kehangatan tersendiri dari sapaan dan jabatan tangan Tio, entah apakah karena dia cewek satu-satunya sampai Tio berlaku demikian atau bukan. Tapi itu betulan dirasa, ada perasaan seperti Tio ini familiar dari sisi wajah atau sikapnya.

Namira berhasil terpaku, sampai harus Tio gerakkan jabatan tangan itu untuk bisa sadar.

“A-ah, Namira. Salam kenal, Tio.”

Percayalah, baru kali ini Namira bisa se-terbuka ini. Ketika dulu, ia sama sekali tidak demikian pada Johnny…

Apa kata Hendery ternyata gak terbukti, cewek-cewek yang dia sebut bakal ngeramein futsal hari ini pada gak dateng karena sebelumnya sempet hujan. Mungkin pada mager, lebih milih pulang ke rumah/kos/jalan ke *mall * dengan dalih neduh. Biasalah, cewek. Tapi bukan berarti gak ada cewek sama sekali yang nonton, ada satu aja ternyata. Tentu, Nisa.

Sebenernya dia bukan semata-mata beneran ingin nonton futsal aja, alasan lainnya karena mager balik ke kosan kalau kelas selesai. Apalagi kalau kelasnya selesai siang bolong, pulang ke kosan paling cuma rebahan sampai malem atau mentok-mentok nugas. Kecuali, kalau abangnya mampir, jemput, atau minta temenin atau apa lagi lah tuh semerdeka Yuta. Beruntung, Hendery alilas Aheng si bestie jadwal kuliahnya lumayan klop sama dia. Jadilah, ngikutin seorang Aheng merupakan agenda tersendiri yang jadi langganan. Ada lumayan yang ngira mereka pacaran, tapi gak terlalu banyak. Soalnya pada gak percaya juga sih, Nisa judes-judes sinis gitu tapi Aheng kepalang bobrok. Gak pas aja gitu kalo dibayangin mereka deket, walau aslinya Nisa juga orangnya ramah. Itu tameng dia aja buat jaga diri, karena dia gak lagi dalam pengawasan penuh abangnya alias ngekos dan hidup mandiri. Tapi kalau udah sama Yuta mah, cranky ya cranky aja. Nyerempet manja, dan Yuta selalu ladenin.

“Gue balik ya, Heng.” “Lah, gak mau gua anterin?” “Gak deh, balik sendiri aja. Lagi pengen sendiri.” “…mau gue cariin tumpangan?” “Gak usah, Aheng. Dibilangin lagi mau sendiri.” “Ya udah atuh, kalem weh.”

Tiba-tiba Aheng inget sesuatu, karena rasanya ada yang harus dia lakuin tapi lupa.

“Oh, bentar. Tahan dulu, keluar bareng aja. Mau naik ojol?” “Iya.” “Ya oke, gua temenin sampe naik ojol.”

Alibi. Soalnya, dia kepalang liat Mark jalan ke arah mereka dan 100% yakin kalau maksud Mark ke sini untuk nuntasin janji mereka semalam di chat.

“Heng, udah mau cabut?” “Oi, bentar lagi sih. Ganti sepatu dulu bentar.” “Bareng ke luar gak?” “Yoi, sekalian juga deh. Nih bareng temen gue.”

Nisa, masih asik main game di handphone. Acuh banget sampai gak nyadar kalau Aheng lagi ngobrol sama Mark, fokusnya cuma satu arah aja.

“Yok, ke- eh, Nis, udah belom? Ayo cabut.” “Eh? Iya iya,” yang untungnya posisi Nisa emang tinggal gendong tas aja. “Oh iya, kenalin nih temen gue. Brodi deh, Mark.”

Mark ngulurin tangan, yang sebelumnya udah dia kasih hand sanitizer saking preparenya.

“Hai, Mark.” “…N-nisa, hai.” “Salam kenal, fakultas apa?” Tanya Mark pura-pura bego, Aheng dalem hati udah haha hihi aja. “MIPA, Kimia. Lo?” “Ilkom, FISIP. Pantes gak pernah liat.” “Ya iya atuh Maaark, Mark. Udah tau jauh, basa-basinya gak pernah liat.”

Ini kalau bukan karena Mark mau jaga image, udah digebok dari belakang itu kepala si Aheng.

“Bule ya nama dia, aslinya mah Markiano Mahendra. Bisa aja dipanggil Hendra, tapi jangan sih nanti jadi Hendery – Hendra.” “Garing anjir, heng.” Pffft, desis Nisa nahan ketawa. “Ya udah ayo ke depan, markipul.”

Sesampainya di depan, Hendery udah ambil posisi nemenin Nisa nunggu ojol dateng. Tapi beberapa menit kemudian, perutnya mendadak mules gak ketolongan.

“Nis, gue ke toilet dulu ya. Sumpah gua gak tahan ini, gak bisa nahan takut cepirit.” “Hah…lo abis makan apa sihhh?” “Tadi siang gua makan Batagor, cabenya banyak kayanya. Tapi enaaak.” “Ih, ya udah sana! Gue bisa sendiri.” “Ya udah, hati-hati ye. Salam buat abang lo.” “Iya.”

Meanwhile Mark, yang tadinya udah duduk anteng di motor mau pake helm mau gak mau denger percakapan dua bestie itu. Ingin rasanya inisiatif buat nawarin tumpangan, tapi kalo diinget-inget lagi rasanya gak etis kalau langsung nawarin padahal baru kenalan. Jangka panjangnya, kalau di kosannya ada si abang alias Yuta takut nanti malah sampai kabar ke kakaknya. Mark mantap gak setujuin ide-ide itu, tapi…

“Nungguin dijemput?”

Yang diajak bicara kaget, soalnya mendadak banget nongol dari samping. Mana suaranya dalem gitu, nge-bass. Nyaris mleyot, tapi gak jadi karena kepalang kokoh pertahanan yang dibuat.

“Eng-gak, nunggu ojol.” “Oh, kirain sama Aheng baliknya.” “Iya, tadi dia janji mau nungguin. Tapi malah sakit perut tuh, gak ngerti.” “Hahahaha, ya udah gue tungguin.” “Gak papa, lo pulang aja. Udah mau jam 8 ini.” “Gue sih gapapa, santai aja cowok mah. Cewek yang kenapa-napa.”

Iya juga… Duhhhh…

“Ojolnya udah di mana?” “3 menit lagi sih harusnya sampe.” “Oh, bentar lagi.”

Krik… krik… krik…

“Pulangnya ke kosan?” “Iya.” “Di mana?” “2 kilometer dari sini sih, perempatan gede di sana itu.” “Oh…iya tau. Jauh juga ya.” “…perasaan deket, emang lo ngekos juga?” “Iya, tapi kalo udah gak ada kelas sampai Jumat ya pulang ke rumah.” “Oh, di mana rumahnya?” “Bintaro.” “Jauh ya.” “Iya hahaha.”

Gak lama, ojol datang. Cuma sampai situ basa-basi gak penting yang bisa mereka buat, atau mungkin lebih tepatnya yang Mark bisa buat?

“Mbak Nisa ya?” “Iya pak, helmnya ada?” “Oh, iya. Kosan yang deket perempatan situ ya?” “Iya pak, jalan ya.”

Nisa ragu, mau nyapa terakhir kalinya tapi udah rapih pakai helm dan duduk di jok motor. Tapi kalau engga, kesannya gak sopan banget. Nanti malah ngundang overthinking gara-gara gak enakan.

“Pak, pelan-pelan ya. Lewat jalan rame, temen saya harus cepet pulang.” “Iya mas, mari.” “D-duluan!”, jadi kalimat yang bisa Nisa ucap. Balasannya juga gak kalah singkat, “Ya.”

Beneran aja, baru setengah jalan anaknya udah overthinking. Ngerasa gak enak soalnya cuma pamit gitu aja, belum lagi didukung sama lampu merah perempatan yang durasinya 120 detik. Selama nunggu lampu berubah hijau, selama itu juga dia mikirin. Tapi, gak ada ujungnya dan solusinya. Jadilah, mikirin gak jelas. Kebiasaannya, emang.

Tapi Nisa gak sadar, kalau di belakangnya ada motor sport yang ngintilin sejak ojol yang dia naikin belok ke jalan raya. Driver ojolnya juga gak sadar, saking fokus ke jalan di depan soalnya beneran padat jalanan jam segini. Sampai turun di depan gerbang kos, barulah matanya menjangkau siluet motor sport yang putar balik berjarak 500 meter dari posisinya berdiri. Gak ada kecurigaan sama sekali, yang menandakan bahwa Mark sukses putar balik di momen yang tepat.

Meanwhile di tempat futsal, yang tadi ngeluh sakit perut beneran masih berjuang buat nuntasin buang hajatnya…

Tenang, ini beneran sakit perut. Bukan Hendery niat usil kok 🥲

Pesan yang Jamal kirim sebelumnya tentu langsung dibalas, membuat Namira yang semula malas untuk berlaku apapun jadi mendadak dapat energi tambahan lain. Mungkin Jamal rese, tapi justru karakternya jadi mood maker buat orang-orang sekitar. Namira udah jadi salah satu langganan humornya dia, kaya sekarang. Singkat cerita, proyek yang Jamal handle sudah tahap finishing dan menjelang serah terima. Makanya dia mendadak gabut di weekend, kebetulan juga memang udah lama gak bersua. Mau ajak Dimas, kasian lagi prepare mutasi ke Bali. Yuta, pasti sibuk urus adiknya. Johnny sibuk, tapi ceweknya lebih bisa di reach. Ya sudah deh, lagian memang jauh sebelum Namira-Johnny pacaran juga Jamal udah jadi bestie.

Starbucks yang ada di depan sebuah apartemen baru daerah Jakarta Pusat jadi pilihan, biar dari segi jarak keduanya sama-sama adil. Tanpa basa-basi juga, Jamal betulan bilang kalau dia gabut. Kalau harus gak berlaku apa-apa di sana juga dia jabanin, untungnya Namira lumayan ada mood buat ngobrol.

“Mal, lo beneran gak ada yang mau diceritain? Masa iya hidup lo gak berwarna? Update kehidupan gak ada?”, buka Namira. “Sumpah, gak ada. Gue gak lagi deketin atau dideketin cewek, cuma cerita soal proyek kerjaan doang. Orang tua lagi pulang kampung, gua juga di rumah sendirian. Serius hidup gua lagi gini-gini aja.” “Beban pikiran emang lagi gak ada?” “Ya kerjaan doang, itu kan weekdays tapi. Bukan waktunya mikirin kalo sekarang.”

“Mending lo ceritain gimana sama Johnny deh, Mir. Gue udah lama gak denger soal kalian.”

Awalnya, Namira bingung harus nanggapin kaya gimana. Bermula dari senyum tipis, datar, sampai akhirnya wajah jadi lesu sendiri. Jamal sadar sama perubahan itu, tapi gak sampai hati buat nanya duluan.

“Gue boleh cerita sekalian gak, sih? Lagi bingung mau curhat ke siapa.” “Tumpahin aja, Mir.” “Ini bukan dalam konteks gue ngadu, atau apapun. Murni curhat sama temen…”

“Johnny gak bales chat gue 5 har-“ “HAH??? YAKIN LO?” “…kenapa sih?” “Pacar apa 1:1 customer service, 5 hari gak dibales? Telepon?” “Gak berani telepon, takut ganggu. Gue tau sibuknya dia kaya apa di lokasi, pernah sekali ngikut tapi waktu dia masih jadi staff. Udah lama banget. Thus, I’m not a call person kalau bukan karena urgent, atau penting banget, atau gak bisa ditahan.” “Jadi, karena sibuk beneran?” “Iya, cuma…5 harinya yang bikin berat…” “Tapi emang di group chat kita-kita juga dia tukang read, jarang nimbrung kaya sebelumnya. Padahal udah rame.” “Oh…rame apanya?” “Rame groupnya, nambah satu temennya yang baru balik dari Amerika.” “…satu circle kalian?” “Iya, Mir. Sobat kentel dia malah, Johnny berasa nemu long lost friend. Kalo ibarat orang pacaran, macem balikan.”

Keinginan Namira buat nanya detail ke Jamal begitu besar, tapi dia urung. Namira merasa kalau Jamal sadar dia gak paham alias roaming, soal siapa satu orang itu. Tapi pikirnya, kalau ditanya takutnya nambah runyam. Khawatirnya, Jamal malah terlibat jauh kalau Namira kepo. Tau, kan, kalau kita kepo yang ujungnya malah menyesatkan dan gak bawa dampak baik? Nah, untuk perkara ini Namira merasa demikian. Jadi, dia berpikir mungkin Johnny belum sempat cerita aja dan milih buat cerita langsung. Lagipula, kan, dia sibuk. Balas chat Namira aja belum, apalagi mau cerita.

Di sisi lain, Jamal udah mau nanya, ”Johnny belum cerita, Mir?”. Tapi enggan, setelah diam dengan mengingat kembali perkara apa yang menyebabkan Johnny dan Tio berselisih. Beberapa saat kemudian, Jamal berusaha untuk mengalihkan topik.

“Lagi kangen Johnny?” “Banget, Mal. Tapi di fase ini gue kaya gak tau harus gimana…” “Kalian berdua sibuk, Mir. Tapi yang bisa nyikapin itu cuma kalian berdua, mau anggep ini badai, ajang perkuat satu sama lain, atau apapun.” “Masalahnya, sebelum kita sama-sama sibuk juga udah sempet selisih paham.” “Maksudnya?” “Ya, namanya teks via chat kan besar banget kemungkinan salah interpretasinya. Sempet debat aja sih, biasanya gak pernah. Tapi, gue gak yakin itu karena salah interpretasi. Gue yakin memang ada kurang komunikasi, yang juga karena mulai jarang ketemu.” “Komunikasi kalian kaya terganggu gitu ya gara-gara sibuk?” “Iya, dan kayanya masing-masing emang pada fokus sama kesibukan. Jadinya ya gitu, dan…ini gak berlangsung sekali aja, Mal. Setelahnya sempet kejadian beberapa kali, walau udahnya tuh balik ke semula. Masalahnya, sejak itu juga gue jadi ngerasa ada gap di antara kita. Ada jarak dan spot kosong yang jadi jembatan komunikasi, bahkan ngubah frekuensi kita.”

“Rasanya kaya kita tuh fine aja, tapi aslinya ada masalah yang harus diupayakan penyelesaiannya biar gak jadi salah paham dan unek-unek berkepanjangan. Tapi gimana mau selesai kalau cuma gue yang usaha, dan dia yang entah masih inget ada gue di sini atau enggak?”

Nafas Namira mulai berat, dan ucapannya sedikit terbata. Dua hal itu berhasil bikin Jamal tanggap sama suasana, mengenyampingkan fakta kalau aslinya Jamal ini cowok tidak peka pada umumnya. Langsung, Jamal pindah duduk ke sebelah Namira dari yang tadinya berhadapan. Diusapnya sebelah bahu Namira guna menenangkan, walau mungkin gak akan terlalu ngaruh.

“Kenapa gak berani telepon atau coba samper ke rumahnya? Lo udah kenal orang tuanya, kan?” “Ini urusan kita berdua, Mal. Kalau kaya gitu mancing curiga, mancing orang lain terlibat. Kita sepakat buat gak begitu, dan gue percaya sama dia. Gue belum sampai hati untuk telepon.” “Tapi lo sekarang udah kaya gini, kenapa gak dicoba?” “Mal, honestly…”

Yah, yah, yah, Mir jangan nangis dulu anjir gue sedih, batin Jamal.

“Wajar kan, kalau cewek overthinking?” “…iya.” “Gue udah mulai ada pikiran, kalau dia berpaling dari gue gimana?” “Aduh, Mir. Ngomong yang baik-baik aja, mulutmu harimaumu loh.” “Otak gue gak demikian, Mal. Mulai susah, jujur gue gak mau di kondisi gini. Tapi gue sayang dia…”

“Orang mau nikah aja bisa batal, gimana yang pacaran? Jalin hubungan bertahun-tahun aja gak jamin sampai nikah, apalagi ini yang baru mau 3 tahun…”

Jamal iba, tapi tetep sambil mikir dan muter otak cari cara biar Namira gak langsung tenggelam sama pikiran jeleknya. Walau, feeling Jamal juga agak gak enak soal Johnny yang begini. Seperti bukan Johnny yang selalu tanggung jawab, rasanya lebih kaya Johnny yang dirasukin orang lain.

“Mir, coba deh lo inget-inget kenapa dulu lo suka banget dan sampai sayang sama Johnny. Inget-inget alasan dibalik lo yang bertahan sampai sekarang dengan adanya dia di hidup lo, jadi pacar lo…” “Buat sekarang, gue kangen banget sama dia. Kangen yang awalnya muluk-muluk, sampai sederhana. Dari yang tadinya gue punya bucketlist, jadi sesederhana ketemu dan punya quality time berdua. Beneran ingin ketemu, Mal. Any short amount of time will be much appreciated, sebentar pun gak apa-apa yang penting ketemu…”

“Gue kangen dia yang selalu ngabarin walau cuma sekali chat dalam sehari, walau cuma telepon 30 detik. Gue kangen dia yang jarang banget blak-blakan ngutarain perasaan, tapi selalu nunjukin pake tindakan. Jarang banget ngutarain sayang, cinta, pujian, cantik lah, apa lah, tapi kalau kesempatannya tepat dia bakal langsung rengkuh gue, gandeng gue, pegang tangan gue, fotoin gue terus dipost, atau di archive di galeri sendiri.”

“Dia gak malu dengan absurdnya karakter gue, Mal. Dia mau mingle, mau ngerti, dan sebaliknya gue lakuin. Dia bisa baca flow, terus nyesuain ritmenya. Tapi kalau dia gak suka, dia bakal bilang gak suka berikut solusinya. Dia ngajarin dan ngebentuk karakter gue sampai bisa jadi lebih dewasa dari sebelumnya, gak pernah ada paksaan tapi selalu ngarahin…”

“Dia laki-laki pertama yang bisa bikin gue sayang sama dia, dari yang awalnya punya alasan, jadi gak punya alasan. I love him as how he is, and how we both when we’re together.”

“Bohong kalo gue gak naruh impian masa depan gue sama dia, Mal. Gak bisa bayangin gimana jadinya kalau gak ada dia, udah kaya langit tanpa biru aja. Klise banget, tapi dia bener-bener ngasih gue a whole new feeling. Sayang yang beneran sayang tanpa ngada-ngada.”

“Mir,” “Hm?” “Kalau, kalian ternyata udah gak searah, udah gak sama tujuannya, atau apapun itu yang bikin kalian retak… gimana?” “Minta dikuatin. Gue mau dikuatin, yakin kalau ada jalan tengah buat kita. Dia baik, dan gue turut baik karena dia juga. Gak bisa dibayangin banget, tapi mungkin itu yang kepikir sekarang.”

“Lo tau sendiri, kan, gue orangnya gak gampang ambil keputusan?” “Paham, lo pasti mikir jauh banget sebelum mutusin sesuatu.” “Maka dari itu, gue juga bakal usaha buat pertahanin. Tinggal gimana dianya di sana mau pertahanin juga atau enggak.” “Mir, udah. Jangan bahas yang jelek lagi…” “Entah, Mal. Gue cuma lagi mau kuatin diri dan hati, apapun yang nantinya terjadi. Worst case di depan…”

Jamal beneran iba sekarang. Ingin sih buat nyamperin Johnny, tapi hak dia apa buat ikut campur? Masalahnya, makin panjang Namira cerita, makin gak enak perasaan Jamal. Itulah mengapa, sebisa mungkin Jamal alihin topik ke bahasan yang konotasinya positif.

“Udah, jangan nangis lagi. Gue disangka pacar yang bikin ceweknya nangis nih, yang berduaan kita doang.” “Bodo amat ah, sama lo gini.” “Yeee, berabe kalo disangka udah ada satpam. Gue masih jomblo ini.” “Mal.” “Apaan?” “Apartemen di sebelah kayanya masih ada unit kosong.” “Gak usah ngadi-ngadi sumpah.” “Gue pindah aja kali ya? Biar lebih mandiri, kan nanti kalo berumah tangga juga gue misal ditinggal suami kerja bakal sendiri.” “Ya elah kaga ada bedanya sama kalo ditinggal ortu lo di rumah, si Mark kuliah.” “Hehehe, kepikir aja sih. Coba iseng cek webnya deh, bannernya sih promo.” “Lu kalo galau ekstrim juga anjir, gak gini amat.” “Hahahaha.”

“Mal…” “Ape? Mau sewa yacht sekarang?”

“Bukan.”

“Apa dia masih inget kalau gue di sini, nunggu dia, kangen dia?”

Untuk yang terakhir ini, Jamal udah gak sanggup buat ladenin.

Se-parahnya dia pernah pacaran, gak pernah sampai begini.

Mungkin yang diutarakan Namira terkesan intinya dan singkat, tapi Jamal yakin kalau itu aslinya unek-unek yang udah dipendam cukup lama.

Final, Jamal gak jawab. Namun dalam hati, ia bentuk tekad: Kalau memang kemungkinan terburuknya Namira disakitin Johnny, atau Johnny beneran berubah jadi gak bener, dia harus jadi yang pertama buat tau dan bantu Namira, yang notabene sobat kentelnya.