Bagi Tantra: Kencan, bagi Azalea: ...?
“Kamu yakin pakai kentang keriting gitu? Gak mau nasi aja?” “Udah malam, mas. Keberatan kalau nasi, kentang versi light-nya. Jadi kalori jahat nanti.” “Hm, kenapa cewek jawabannya hampir sama semua ya...” “Emang kenapa?” “Ya, gitu. Sekretaris saya juga sama, kalau memungkinkan dia bakal hindarin nasi dengan alasan sama. Kesannya tuh, nasi jahat banget. Padahal itu kan nambah energi.” “Ya, gimana ya, mas. Kita di Indonesia nasi udah jadi makanan pokok, terus makanan sampingan lain jadi pelengkapnya. Pokoknya tuh, as long as ada nasi dan menu lain tuh judulnya makan, tapi gak ngelihat kandungan karbohidratnya. Nah, justru kandungannya itu yang patut diperhatiin. Kalau enggak ya jadi gak imbang, bisa bikin cepet ngantuk lah, gemuk lah.” “Hmmm, kalau di cewek jadi diet gitu ya?” “Ya, gitu, deh. Hehehe.” “Terus, kamu juga diet?” “Enggak, sih. Lebih ke ngejaga aja.” “Oh, bagus lah kalau gitu. Udah begini masa mau diet lagi, apanya yang dikurangin coba.” “Ada, sih.” “Apa?” “Kandungan gombalan mas Tantra, padahal baru hitungan hari tapi udah setara karbohidrat 3x nasi sehari dalam 1 minggu.”
Kiranya kalian bisa tebak, kan, apa reaksi Tantra? Coba, tebak dulu. Kalau udah tebak, pembuktiannya ada di bawah.
“Loh, kok diem, sih? Malah nutupin muka.” “Astaga, saking gelinya saya gak bisa ketawa depan kamu, loh.” “Ih, kok gitu?” “Gak, gak kenapa-kenapa, kok.” “Kok jadi malu-malu gitu, biasanya juga saya digombalin terang-terangan bilang malu. Ini jangan-jangan kebalikannya, ya?”
Perlahan Tantra lepas sebelah tangannya yang nutupin wajah, dan-
“IHHH, kok mukanya merah, sih? Hahahahahaha.”
-iya, tadi nutup muka soalnya salting, malu, gemes, tapi juga seneng. Saking campur aduknya, cuma bisa giggling. Sisanya biar dipendem sendiri aja, soalnya kalau harus eksplisit yang ada Tantra meluk Azalea. Gak mungkin, kan? Nah, ya udah, deh.
“Udah dong mas, jangan kaya gitu. Lucu, sih, salting, tapi kalo diem terus sayanya jadi gak enak.” “Enggak, gak apa-apa.” “Bohong, ah. Tadi bilang gak kenapa-kenapa, eh taunya kenapa-kenapa.” “Ya gimana ya, saya gak ingat kapan terakhir kali nerima gombalan atau digoda begini. Mungkin lagi kena 'balasan' aja karena udah gombalin kamu, yang mana saya juga gak sadar frekuensinya cukup lumayan.” “Tapi apa emang rata-rata cowok yang sering gombal, kalau digombalin balik tuh salting ya?” “Eng...gak juga, sih. Tergantung, ada juga yang malah makin jadi. Balik lagi ke orang dan kepribadiannya aja kaya gimana.” “Bener, sih. Soalnya dulu kal-”
Tiba-tiba Azalea diam. Buat seorang Tantra yang mendadak jadi peka karena sedang jatuh hati, ia bisa tebak kalau wanita di hadapannya gak sengaja teringat sang mantan. Kata “dulu” adalah clue-nya, dan karena ini sebuah ketidaksengajaan maka Tantra mewajarkan. Tapi bagi Azalea, ini adalah sebuah kecerobohan yang bisa saja mengundang rasa penasaran. Bukan karena ingin menutup diri rapat-rapat soal masa lalunya, tapi takut merusak suasana yang sepanjang hari ini sudah kepalang baik.
“E-eh, tapi saya bukan maksud apa-apa, Za. Soal frekuensi gombal tadi, saya emang baru sadar. Meskipun sebenernya, I mean it. Saya gak membual, karena nyatanya memang kamu demikian”, ujar Tantra guna mencairkan suasana yang sempat hening.
Usaha itu berhasil, karena Azalea malah tertangkap basah senyum-senyum salah tingkah sendiri. Mungkin kalau Mahen lihat langsung, dia bakal ngira kalau kakak cantiknya ini udah aneh bisa tiba-tiba salting cuma karena digombalin sama seorang Tantra Langit.
“Sejujurnya, saya gak pernah di compliment sebanyak ini. Tapi kalau demikian, saya anggap itu memang pujian dari mas Tantra. Terima kasih...” “Saya harap, kamu gak kesinggung, ya. Ini jujur dari diri saya sendiri.”
Azalea diam lagi, karena gak tahu harus respon apa untuk yang barusan. Rasanya keberanian untuk terang-terangan bilang kalau salting memudar, malah jadi kaya Tantra beberapa menit lalu. Apa mungkin saltingnya Tantra nular? Atau, Azalea mulai menikmati dan memaknai gombalan Tantra?
“Oh, sama, saya ajak kamu makan malam berdua gini gak kesinggung dan berkenan, kan? Takutnya aja, saya lancang atau nanti jadi masalah.” “...masalah?” “Ya, ada yang marah gitu, misalnya.”
Anjir lo Tantra, klasik banget.
“Hahaha, santai aja, mas. Saya mah lowong banget, kalau gak pergi kaya gini juga di apartemen rebahan. Mentok-mentok pulang ke rumah.” “Nice, then. Oh, keburu lupa. Tadi pengurus panti ngabarin, mainan kamu udah abis dikerubungin. Langsung jadi hak milik beberapa anak, padahal pesan kamu kan biar jadi properti bersama.” “Oh ya? Wah, gak apa-apa banget malah! Aku seneng kalau emang gitu, syukurlah gak perlu bingung lagi. Makasih banget sama mas Tantra.” “Sama-sama.” “Tadi emang ada 1 anak perempuan yang lucu banget, first impression sama dia tuh, lucu. Jadi si Bunny langsung aku kasih ke dia, langsung sumringah gitu. Hati jadi adem, berasa semua beban dan masalah keangkat.” “Kamu...suka anak kecil?” “Suka, mas. Suka banget, lumayan sering jagain ponakan juga kalau lagi kumpul keluarga. Mereka itu lucu, masih polos, belum banyak dosa, masih pure, tingkahnya bikin tentram aja gitu.”
Padahal, raut wajah Azalea cuma menampakkan kalau dia punya interest yang besar sama anak-anak. Tapi memang dasar budak cinta, Tantra lihat itu sebagai aura keibuan. Meskipun sebenarnya iya, di usia 27 tahun Azalea sudah memiliki aura keibuan yang cukup. Hal itu menambah deretan alasan mengapa Tantra jatuh lagi, lagi, dan lagi ke dalam pesona Azalea. Hingga rasanya kalau ada orang bertanya mengapa Tantra bisa bucin, bakal dijawab “apa jatuh cinta sama orang harus ada alasan?”
“Mas?” “Ya?” “Aku lihat mas Tantra itu seperti seseorang yang udah di level mature, entah itu untuk intelligence atau emotional. Kaya, kalau ada apa-apa soal hidup tuh stabil aja.” “...apa jangan-jangan selama ini image saya terlalu demikian ya, padahal aslinya enggak. Saya manusia biasa aja, sama kaya kamu dan yang lainnya. Tetep punya masalah, kekurangan, masa-masa kelam, pengalaman buruk, kesalahan, dan lain-lain. Mungkin, lebih ke cara penanganannya aja sampai dari luar terlihat demikian.” “Apa...pengalaman buruknya mas itu parah? Karena saya yakin, orang yang stabil itu pasti pernah ngelewatin masa-masa yang teramat sulit.” “Hm, lumayan? Butuh lebih dari 5 tahun buat ngatasin itu.” “Itu...” “Parah, iya. Hahaha.” “Kalau saya sharing sama mas Tantra, apa berkenan? Mana tau, bisa dapat insight untuk lebih stabil.” “Kamu ada masalah yang belum selesai, Za?” “Udah selesai, cuma...saya masih ada pertanyaan yang belum kejawab. Mungkin kalau sharing sama orang lain, bisa jadi lebih paham.” “...soal cowok?” “Iya, mas. Mantan saya...”
Gak perlu penegasan lagi kalau Tantra sudah tau soal mantan yang dimaksud, pun hubungan masa lalunya Azalea. Tapi biarkan ini semua mengalir, dan Tantra akan memasang topeng “pura-pura gak tahu”-nya. Ia ingin tahu seperti apa dan bagaimana dari sisi Azalea, sekaligus menjadikan ini sebagai sebuah kesempatan emas. Tapi, nanti, setelah kudapan makan malam ini habis disantap.
“Makanannya lagi diantar, tuh. Makan dulu, ya. Isi energi sebelum kamu cerita nanti, sambil jalan pulang”, ucap Tantra yang membuat hati Azalea mendadak hangat karena merindu.
Merindu diperlakukan seperti ini, merindu dapat perhatian sebagaimana seharusnya seorang wanita dari lawan jenis yang dicintai. Merindu hal-hal yang seharusnya bisa didapat dari Damar, namun kini Tantra-lah yang memberikannya...
...dan Azalea, suka.