gerukokeishin

Image

“Kamu yakin pakai kentang keriting gitu? Gak mau nasi aja?” “Udah malam, mas. Keberatan kalau nasi, kentang versi light-nya. Jadi kalori jahat nanti.” “Hm, kenapa cewek jawabannya hampir sama semua ya...” “Emang kenapa?” “Ya, gitu. Sekretaris saya juga sama, kalau memungkinkan dia bakal hindarin nasi dengan alasan sama. Kesannya tuh, nasi jahat banget. Padahal itu kan nambah energi.” “Ya, gimana ya, mas. Kita di Indonesia nasi udah jadi makanan pokok, terus makanan sampingan lain jadi pelengkapnya. Pokoknya tuh, as long as ada nasi dan menu lain tuh judulnya makan, tapi gak ngelihat kandungan karbohidratnya. Nah, justru kandungannya itu yang patut diperhatiin. Kalau enggak ya jadi gak imbang, bisa bikin cepet ngantuk lah, gemuk lah.” “Hmmm, kalau di cewek jadi diet gitu ya?” “Ya, gitu, deh. Hehehe.” “Terus, kamu juga diet?” “Enggak, sih. Lebih ke ngejaga aja.” “Oh, bagus lah kalau gitu. Udah begini masa mau diet lagi, apanya yang dikurangin coba.” “Ada, sih.” “Apa?” “Kandungan gombalan mas Tantra, padahal baru hitungan hari tapi udah setara karbohidrat 3x nasi sehari dalam 1 minggu.”

Kiranya kalian bisa tebak, kan, apa reaksi Tantra? Coba, tebak dulu. Kalau udah tebak, pembuktiannya ada di bawah.

“Loh, kok diem, sih? Malah nutupin muka.” “Astaga, saking gelinya saya gak bisa ketawa depan kamu, loh.” “Ih, kok gitu?” “Gak, gak kenapa-kenapa, kok.” “Kok jadi malu-malu gitu, biasanya juga saya digombalin terang-terangan bilang malu. Ini jangan-jangan kebalikannya, ya?”

Perlahan Tantra lepas sebelah tangannya yang nutupin wajah, dan-

“IHHH, kok mukanya merah, sih? Hahahahahaha.”

-iya, tadi nutup muka soalnya salting, malu, gemes, tapi juga seneng. Saking campur aduknya, cuma bisa giggling. Sisanya biar dipendem sendiri aja, soalnya kalau harus eksplisit yang ada Tantra meluk Azalea. Gak mungkin, kan? Nah, ya udah, deh.

“Udah dong mas, jangan kaya gitu. Lucu, sih, salting, tapi kalo diem terus sayanya jadi gak enak.” “Enggak, gak apa-apa.” “Bohong, ah. Tadi bilang gak kenapa-kenapa, eh taunya kenapa-kenapa.” “Ya gimana ya, saya gak ingat kapan terakhir kali nerima gombalan atau digoda begini. Mungkin lagi kena 'balasan' aja karena udah gombalin kamu, yang mana saya juga gak sadar frekuensinya cukup lumayan.” “Tapi apa emang rata-rata cowok yang sering gombal, kalau digombalin balik tuh salting ya?” “Eng...gak juga, sih. Tergantung, ada juga yang malah makin jadi. Balik lagi ke orang dan kepribadiannya aja kaya gimana.” “Bener, sih. Soalnya dulu kal-”

Tiba-tiba Azalea diam. Buat seorang Tantra yang mendadak jadi peka karena sedang jatuh hati, ia bisa tebak kalau wanita di hadapannya gak sengaja teringat sang mantan. Kata “dulu” adalah clue-nya, dan karena ini sebuah ketidaksengajaan maka Tantra mewajarkan. Tapi bagi Azalea, ini adalah sebuah kecerobohan yang bisa saja mengundang rasa penasaran. Bukan karena ingin menutup diri rapat-rapat soal masa lalunya, tapi takut merusak suasana yang sepanjang hari ini sudah kepalang baik.

“E-eh, tapi saya bukan maksud apa-apa, Za. Soal frekuensi gombal tadi, saya emang baru sadar. Meskipun sebenernya, I mean it. Saya gak membual, karena nyatanya memang kamu demikian”, ujar Tantra guna mencairkan suasana yang sempat hening.

Usaha itu berhasil, karena Azalea malah tertangkap basah senyum-senyum salah tingkah sendiri. Mungkin kalau Mahen lihat langsung, dia bakal ngira kalau kakak cantiknya ini udah aneh bisa tiba-tiba salting cuma karena digombalin sama seorang Tantra Langit.

“Sejujurnya, saya gak pernah di compliment sebanyak ini. Tapi kalau demikian, saya anggap itu memang pujian dari mas Tantra. Terima kasih...” “Saya harap, kamu gak kesinggung, ya. Ini jujur dari diri saya sendiri.”

Azalea diam lagi, karena gak tahu harus respon apa untuk yang barusan. Rasanya keberanian untuk terang-terangan bilang kalau salting memudar, malah jadi kaya Tantra beberapa menit lalu. Apa mungkin saltingnya Tantra nular? Atau, Azalea mulai menikmati dan memaknai gombalan Tantra?

“Oh, sama, saya ajak kamu makan malam berdua gini gak kesinggung dan berkenan, kan? Takutnya aja, saya lancang atau nanti jadi masalah.” “...masalah?” “Ya, ada yang marah gitu, misalnya.”

Anjir lo Tantra, klasik banget.

“Hahaha, santai aja, mas. Saya mah lowong banget, kalau gak pergi kaya gini juga di apartemen rebahan. Mentok-mentok pulang ke rumah.” “Nice, then. Oh, keburu lupa. Tadi pengurus panti ngabarin, mainan kamu udah abis dikerubungin. Langsung jadi hak milik beberapa anak, padahal pesan kamu kan biar jadi properti bersama.” “Oh ya? Wah, gak apa-apa banget malah! Aku seneng kalau emang gitu, syukurlah gak perlu bingung lagi. Makasih banget sama mas Tantra.” “Sama-sama.” “Tadi emang ada 1 anak perempuan yang lucu banget, first impression sama dia tuh, lucu. Jadi si Bunny langsung aku kasih ke dia, langsung sumringah gitu. Hati jadi adem, berasa semua beban dan masalah keangkat.” “Kamu...suka anak kecil?” “Suka, mas. Suka banget, lumayan sering jagain ponakan juga kalau lagi kumpul keluarga. Mereka itu lucu, masih polos, belum banyak dosa, masih pure, tingkahnya bikin tentram aja gitu.”

Padahal, raut wajah Azalea cuma menampakkan kalau dia punya interest yang besar sama anak-anak. Tapi memang dasar budak cinta, Tantra lihat itu sebagai aura keibuan. Meskipun sebenarnya iya, di usia 27 tahun Azalea sudah memiliki aura keibuan yang cukup. Hal itu menambah deretan alasan mengapa Tantra jatuh lagi, lagi, dan lagi ke dalam pesona Azalea. Hingga rasanya kalau ada orang bertanya mengapa Tantra bisa bucin, bakal dijawab “apa jatuh cinta sama orang harus ada alasan?”

“Mas?” “Ya?” “Aku lihat mas Tantra itu seperti seseorang yang udah di level mature, entah itu untuk intelligence atau emotional. Kaya, kalau ada apa-apa soal hidup tuh stabil aja.” “...apa jangan-jangan selama ini image saya terlalu demikian ya, padahal aslinya enggak. Saya manusia biasa aja, sama kaya kamu dan yang lainnya. Tetep punya masalah, kekurangan, masa-masa kelam, pengalaman buruk, kesalahan, dan lain-lain. Mungkin, lebih ke cara penanganannya aja sampai dari luar terlihat demikian.” “Apa...pengalaman buruknya mas itu parah? Karena saya yakin, orang yang stabil itu pasti pernah ngelewatin masa-masa yang teramat sulit.” “Hm, lumayan? Butuh lebih dari 5 tahun buat ngatasin itu.” “Itu...” “Parah, iya. Hahaha.” “Kalau saya sharing sama mas Tantra, apa berkenan? Mana tau, bisa dapat insight untuk lebih stabil.” “Kamu ada masalah yang belum selesai, Za?” “Udah selesai, cuma...saya masih ada pertanyaan yang belum kejawab. Mungkin kalau sharing sama orang lain, bisa jadi lebih paham.” “...soal cowok?” “Iya, mas. Mantan saya...”

Gak perlu penegasan lagi kalau Tantra sudah tau soal mantan yang dimaksud, pun hubungan masa lalunya Azalea. Tapi biarkan ini semua mengalir, dan Tantra akan memasang topeng “pura-pura gak tahu”-nya. Ia ingin tahu seperti apa dan bagaimana dari sisi Azalea, sekaligus menjadikan ini sebagai sebuah kesempatan emas. Tapi, nanti, setelah kudapan makan malam ini habis disantap.

“Makanannya lagi diantar, tuh. Makan dulu, ya. Isi energi sebelum kamu cerita nanti, sambil jalan pulang”, ucap Tantra yang membuat hati Azalea mendadak hangat karena merindu.

Merindu diperlakukan seperti ini, merindu dapat perhatian sebagaimana seharusnya seorang wanita dari lawan jenis yang dicintai. Merindu hal-hal yang seharusnya bisa didapat dari Damar, namun kini Tantra-lah yang memberikannya...

...dan Azalea, suka.

Image

Sesal yang kemarin ada memang sudah “ditutup” dengan keyakinan akan dipertemukan kembali. Tapi, apa jadinya kalau keyakinan itu terjadi? Nyata di hadapannya, hanya dalam selang waktu 2 minggu?

Siang ini pekerjaan Tantra selesai lebih cepat dan hendak pulang on time, tapi tiba-tiba Direktur-nya Azalea telepon kalau ingin bertemu fisik di ruangannya. Jadilah, Tantra menghabiskan sore hari dengan berbincang santai antara perihal pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hingga pukul 5 sore tiba, Direktur pamit pulang. Tantra urung turut serta karena kondisi jalan menuju apartemennya masih sangat padat, merokok jadi alternatif untuk menunggu (setidaknya) pukul 6 atau 7 tiba.

Office Boy menawarkan 3 pilihan: tangga darurat, basement, dan rooftop, dengan opsi terakhir dipilih Tantra sebagai tempat untuk “buang asap”. Baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, rungunya mendengar suara wanita yang...entah betulan berdialog atau sedang bermonolog ria. Angin sore teramat kencang hingga pintu yang tertutup di depannya bergetar, pun suara si wanita jadi teredam.

“Kok aku sedih, ya, harus lepasin kalian?” “Apalagi Bunny, kamu mirip banget soalnya...” “Tapi kalau dibalikin ke Papa kamu, gak sopan...” “Aku bukan Mama kalian lagi, hehe...” “Aku pikir dulu, ya, mau lepas kalian ke siapa dan ke mana? Aku harus jamin ada yang rawat, karena kalian semua lucu...”

Itu Azalea, sedang setengah-monolog dengan boneka dalam storage box berbentuk kubus. Ada 3 boneka dan pernak-pernik lain, yang merupakan pemberian sang mantan. Posisi duduknya membelakangi pintu masuk rooftop, bersila di permukaan semen halus, menghadap hamparan kota Jakarta berbalut gedung pencakar langit.

Ketika angin sedang tak berhembus, Azalea mengedarkan pandangan ke depan dan ke atas. Didapatinya cuaca yang cerah dengan lembayung menghiasi, serta suhu udara yang bersahabat menambah keinginan untuk berlama-lama di sini. Tapi, ia ingat kalau hari ini lupa bawa jaket. Semakin malam ia pulang, semakin berisiko untuk terpapar angin malam dengan ojek online tanpa jaket. Entah dorongan dari mana pula, boneka yang dipanggil Bunny itu diangkat sejajar wajah. Lalu tiba-tiba angin berhembus sekaligus kencang, mengejutkan Azalea hingga si Bunny terlempar ke arah samping kanan.

Saat pandangannya hendak fokus untuk mengambil si Bunny, tak jauh berjarak didapati sepasang sepatu pantofel hitam. Disusul tangan kekar yang terulur pelan untuk mengambil boneka itu, membersihkan sedikit bagiannya dari debu untuk kemudian dikembalikan pada Azalea -yang sayangnya tak langsung terlaksana.

“M-mas...?” “H-ha-i...?”

Shit, ngomong 'hai' aja susah bener. Kaki tiba-tiba kurang topangan, laki bukan sih lo, Ta?', gumam si pria.

“Mas k-kok, bisa di sini?” “Hm, t-tadi abis dari Pak Direktur. Iya, dipanggil mendadak mau ngobrol langsung di ruangan katanya.”

Ini gue nervous kayanya, please dia jangan tau. Perasaan gak pernah begini, terakhir juga kapan coba?!, ucap Tantra lagi dalam hati.

“Dari...kapan?” “Siang menjelang sore, saya juga heran kenapa Pak Direktur telepon. Ternyata ada beberapa hal yang harus dibicarakan langsung, beliau udah pulang juga.” “Terus, mas...?” “...saya bikin kamu kaget, ya? Maaf, in-” “Enggak, mas. Bukan maksud saya ngusir, tapi saya...bingung aja...”, yang akhirnya dijawab Tantra dengan penjelasan.

“Oh gitu... Biasanya pada di basement biar gak ketahuan, tapi pilihan mas bagus juga.” “Jelas bagus, saya ketemu kamu jadinya”, dan bohong kalau Azalea gak bergetar hatinya diucap begitu. “Mas Tantra suka gombal, ya? Dari awal ketemu guyonnya nyerempet gombal terus.” “Hehe, biar gak kaku aja. Kerja udah serius, masa interaksi begini masih serius juga. Kaku jadinya.”

“Oh, ini bonekanya.” “M-makasih...” “Kenapa di sini, sendirian? Mana anginnya gede banget.” “Gapapa...”, jawab Azalea dengan wajah yang mendadak ditekuk. “Untung kamu pakai setelan blazer lengkap, kalau enggak bisa masuk angin.” “Iya, lagi mau cari angin aja sambil nunggu macet agak terurai.” “Ditemenin boneka sama rumahnya...?” “O-h, ini, a-anu... Sebenernya ini semua mau saya hibahin, tapi bingung ke siapa. Kalau bua-” “Hah? Buang? Wah, jangan. Sayang banget ini lucu-lucu.”

Katakanlah Tantra sok tau, tapi dia yakin kalau semua itu adalah pemberian Damar yang gak ingin Azalea simpan lagi. Andai posisinya dia sebagai stranger atau teman baik, mungkin bakal menawarkan diri untuk dihibahkan ke saudara atau keponakannya. Masalahnya, kan, Azalea yang Tantra incar. Masa iya, andai kelak (amiiin yang kenceng!) Azalea berhasil “didapat” Tantra, lalu saudara dan keponakannya punya barang pemberian dari mantan sang pacar? Walah, gak lucu banget!

“Soalnya saya gak pakai lagi, udah bosen juga buat keep ini semua...” “Hm. Terus, ini dibawa ke kantor semua?” “Sengaja saya taro di kantor, sih. Sama sekali udah gak mau simpen di rumah, mana tau ada rekan atau tamu yang bawa anak ke sini bisa dikasih langsung.” “Udah ada yang dikasih?” “Belum, masih utuh...” “Mau saya bantu?” “...bantu gimana?” “Saya jadi donatur tetap untuk satu yayasan yatim-piatu, belum lama juga, sih. Terakhir visit ke sana, jumlah anak-anaknya bertambah. Perempuannya juga banyak, mungkin kalau dikasih ke mereka bisa jadi lebih bermanfaat.”

Kalau sejak awal pembicaraan Azalea kerap membuang pandangan ke berbagai arah (asal bukan lawan bicaranya), kini matanya nampak berbinar dan melihat tepat pada Tantra dengan decak kagum yang terpancar. Sorot matanya menyiratkan bahwa Tantra memberikan solusi yang selama ini ia cari, ibarat atlet lari sudah mencapai garis finish.

“Yang bener, mas? Saya mau banget! Yayasannya di mana, kalau boleh tau?” “Hmmm, somwhere in Jakarta Selatan juga. Gak jauh dari sini, tapi karena berkaitan dengan saya sebagai donatur tetap, agaknya kamu mesti datang sama saya juga.” “Gak apa-apa, mas. Kalau gitu andai nanti mas lagi mau ke sana, saya ikut, ya?” “Okay. Kalau dilihat-lihat, bukannya belakangan ini kamu masih sibuk...?” “Ah, iya juga...” “Simpan nomor saya aja, Za. Nanti hubungi saya kalau kamu bisa dan udah senggang, kapanpun itu.”

Mas Tantra VP, jadi kontak baru di ponsel Azalea. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih, dan bergegas turun ke bawah dengan Tantra berjalan di belakang. Selain karena ladies first, juga supaya Azalea tak terlalu terpapar angin. At least, itulah yang Tantra sampaikan.

Masalah saat ini adalah, Tantra tiba-tiba gak ada di belakang Azalea setibanya ia di lantai unit kerja. Rasanya aneh, tapi gak bisa dibilang sepenuhnya aneh. Ah, positive thinkingnya mungkin lagi buru-buru jadi langsung ke lift setelah keluar dari tangga dan gak ngikutin sampai ke ruangan.

Tapi kalau diingat-ingat lagi, ini kontras dengan apa yang terjadi pada pertemuan pertama mereka di acara launching waktu itu: Tantra menawarkan diri dan insist untuk mengantarnya pulang.

“Waktu itu keukeuh mau anter pulang, mana sweet terus gentle banget. Sekarang, ngilang kaya cowok dingin tukang ghosting”, Azalea ngedumel.

Dia gak tau aja, kalau di sudut lain dalam gedung yang sama, Tantra lagi kelojotan gak jelas nahan reaksi.

Image

Bolak-balik antara rumah dan apartemen jadi agenda wajib Azalea setelah menemui Yudha beserta calon istri. Bukan tanpa alasan, kok. Itu salah satu bentuk realisasi dari niat bulatnya, sesuai yang sudah disampaikan ke mereka. Bahwa ia akan merelakan Damar, melepaskan Damar, dan akan membuka lembaran baru setelah apa yang dialami beberapa bulan ini. Bahkan sekecil apapun harapan tak bisa ia lihat...

Logikanya, Damar di Paris masih kurang lebih setengah tahun lagi. Berharap sih berharap, tapi namanya hidup terus maju dan gak melulu di situ-situ aja, kan? Selama kurun waktu itu juga pasti ada banyak hal yang akan terjadi, entah bakal merubah semuanya sesuai rencana atau melenceng dari rencana. Tidak ada hal yang pasti, begitu pula dengan perasaan. Mungkin kalau ceritanya dalam kurun waktu terdekat Damar pulang dan meminta maaf sambil menjelaskan semuanya, mungkin akan lain cerita. Tapi kalau setengah tahun ke depan, belum tentu. Ingat, ada Tuhan sang maha membolak-balikkan hati. Berangkat dari situlah, Azalea yakin atas keputusannya agar semua ini “selesai”.

Lantas, apa maksud dari bolak-balik antara rumah dan apartemen? Untuk mengumpulkan barang-barang yang selama ini jadi koleksi mereka berdua, utamanya pemberian dari Damar selama berpacaran. Sewaktu pindah ke apartemen, hanya beberapa barang yang dibawa dengan alasan supaya ruangan gak terlalu penuh sama barang. Barang lain yang sekiranya hanya sesekali dipakai pun ditinggal di rumah, yang penting barang-barang pokok dan sering dipakai itu ada.

Well, in fact ada lumayan banyak barang pemberian Damar yang sengaja dibawa ke apartemen. Salah satunya boneka Alpaca, yang didapat waktu Damar harus dinas cukup lama ke luar kota atas sebab Azalea sudah uring-uringan karena kangen di minggu pertama. Jadilah, Damar berinisiatif membeli sepasang boneka Alpaca secara online dengan pembeda di pita yang melingkari bagian leher. Pita merah untuk Damar, pita biru untuk Azalea. Harusnya, sih, kebalik. Damar berdalih, “ya anggapannya ini warna merah tuh betina, anggap aja ini kamu menjelma jadi Alpaca terus nemenin aku di sini. Nah, yang Alpaca pita biru juga sama di kamu.”

Terbukti, ampuh. Katakan ini lebay atau ekspresi apapun yang berindikasi anti dengan kebucinan mereka, tapi faktanya Azalea cukup ter-comfort dengan cara itu. Meskipun akhirnya Damar pulang dan puas melepas rindu saat bertemu setelahnya, boneka Alpaca ini tetap jadi benda yang memberikan comfort tersendiri. Bukan hanya karena faktor pemberian Damar, tapi juga cerita di baliknya....

Sekarang, di sinilah Azalea. Duduk diam di pinggiran ranjang kamar apartemen, yang sejak kemarin ruangannya terdapat beberapa dekorasi ringan. Bukan, dia gak lagi ulang tahun, tapi dalam rangka mengingat hari jadinya dengan Damar.

Ada balon tiup kecil warna-warni tersanggah di salah satu pojok kamar, beberapanya sudah mulai kempes (gak jauh beda sama Azalea yang nampak lifeless dalam beberapa waktu belakangan). Di sebelahnya, ada sofa empuk yang pernah jadi spot favorit mereka untuk bersantai. Jangan berpikir aneh-aneh, kalau lagi burn out dengan kerjaan dan butuh sumber energi yang lebih mereka sesekali akan cuddling di sana dan saling menenangkan satu sama lain. Teringat akan hal itu, Azalea dilanda rindu (lagi).

Tanpa kecuali barang perintilan lain di bawah sofa yang sengaja ditata rapih: boneka, aksesoris kembaran, dan beberapa buku. Azalea menatap semua benda itu, namun rasanya malah jadi benda-benda itu yang menatap dirinya balik selayaknya souvenir: menjadi kenang-kenangan semata.

Ingatannya kembali berputar ke memori saat awal-awal pacaran, hingga memori akan suatu momen di mana Azalea yakin bahwa Damar adalah “selamanya”. Sekuat apapun memori itu, nyatanya masih lebih unggul memori saat dirinya sudah tak sanggup untuk melanjutkan hubungan. Memori yang menunjukkan bahwa semesta seakan mendukung, patah hatinya linear dengan hujan deras dan gelapnya langit.

Orang lain mungkin akan beranggapan aneh, tapi bagi Azalea ini adalah suatu “kompensasi” dan upaya untuk berdamai dengan kenyataan. Membiarkan diri untuk merayakan hari jadi masa lalunya dalam kesendirian, mengenang semua memori indah bersama meskipun sesekali terbesit satu pertanyaan, “apa Damar juga ada mikirin aku selama di sana?”

Mengenang momen di mana ia merasa harapannya melambung tinggi dengan cinta yang Damar beri, dibarengi dengan melihat riwayat percakapan di ruang obrolan. Berikut dengan pesan yang terakhir kali Damar kirim? Tentu. Azalea membaca semuanya, walau fitur read receipt dinonaktifkan. Setidaknya, pesan-pesan sebelum ia memutuskan untuk mengganti nomor ponsel terbaca. Tenang saja, pesan-pesan itu ia baca hingga titik...sambil menganggap bahwa dirinya terlalu sabar dalam menghadapi ini. Sabar dalam artian bodoh karena telah sabar, karena sabarnya ini hanya untuk sesuatu yang seharusnya tidak ia maklumi. Foolishly patient, singkatnya. Berakhir pada ingatan teramat manis pada anniversary tahun ke-3 pacaran, keduanya mendapatkan first kiss yang, jujur, masih sulit untuk Azalea lupakan...

“Damar Kiano, aku ucapkan terima kasih untuk semuanya. Sudah cukup untuk mengenang dan longing tentang kamu, masih ada sekelebat memori yang susah untuk sirna tapi akan tetap aku upayakan untuk berdamai. Aku cuma mau bilang kalau aku masih mikirin kamu, bahkan hingga saat ini. Mungkin awalnya aku berharap kamu melakukan yang sama, tapi mengingat aku ngelakuin ini semua untuk terakhir kalinya...aku gak masalah. Terpenting, kamu baik-baik aja dan tetap jalani hidup serta mimpi kamu.”

“Maaf, karena aku benar-benar ingin buka lembaran baru. Aku gak bisa kalau harus hidup dengan hal-hal yang terkait sama kamu, jadi...aku...masih gak tau ini semua bakal ke mana. Maaf dan makasih, Mar. Alpaca, Rabbit, Hamster, I'm sorry...mulai besok dan ke depannya aku coba cari rumah yang layak buat kalian, ya?”

It's a real good bye, Damar. Thank you...”

Monolog selesai.

Tapi, ketika lampu padam dan selimut sudah terbalut penuh untuk pergi tidur, ingatannya malah tertarik ke momen lain. Mungkin saking dalamnya mengilas balik memori sebelumnya, tanpa sengaja malah teringat saat bertemu dengan pria itu.

Pria bernama Tantra, yang tiba-tiba muncul di benaknya bahkan saat calon istri Yudha bertanya tentang kedekatannya dengan seseorang. Baru sekarang ia sadari, hingga bertanya-tanya, mengapa harus pria itu yang teringat pada momen seperti ini?

Image

“Maaar, kamu udah pulang belum, sih? Kok gak ngabarin? Aku nungguin tau.”

“DAMAR! Sakit kok gak bilang-bilang??? Aku worry banget, gak enak perasaan dari pagi. Yang dirasa apa, Mar? Udah minum obat apa aja?”

“Selamat istirahat, Damar. Aku sayang kamu ❤️”

“Mar, besok gak usah beli makan siang ya. Aku masak bekel dua, nanti aku antar ke kantor kamu hehehe.”

“Aku capek keliling terus, makan dulu yuk. Nanti kamu masih harus nyetir buat pulang, mau makan apa?”

“Damar Kiano, Azalea Kirana. Tuh, kan! Nama belakang kita sama-sama diawali huruf K, nanti kalo punya anak belakangnya dari huruf K juga gimana, Mar? Kayanya seru, hihi.”

Cekikan Azalea di ujung kalimat tadi mampu membuat Damar tersenyum. Namun sayang, semua itu hanya ada dalam ingatan dan tak bisa diulang untuk versi nyatanya. Bukan Damar yang mau, tapi semua bayang-bayang akan Azalea kerap mengintai dan semakin hari dirasa semakin menjerat.

Ya, Damar menganggap hubungannya dengan Azalea berakhir total: putus. Meskipun obrolan terakhirnya tentang ketidaksanggupan Azalea, tapi sebelumnya Damar pernah menyampaikan kalau ia layak mendapatkan apapun andai sang gadis menyerah. Maka dari itu, Damar yakin akan kesimpulan bahwa hubungan asmaranya telah berakhir. Hubungan yang baginya berakhir sia-sia karena tidak bisa mencari jawaban atas keraguan diri untuk lanjut ke tahap selanjutnya, tahap yang lebih serius untuk memiliki Azalea sepenuhnya dan mengikatnya sebagai pasangan sehidup-semati.

Putusnya mereka bertepatan dengan masa-masa Damar sibuk menyesuaikan diri di Paris untuk pelatihan 1 tahunnya, sehingga pada saat itu kesedihan Damar dapat terdistraksi dengan mudah melalui kesibukan. Belum lagi kalau ada kerjaan ekstra, di pikirannya cuma ada istirahat, istirahat, dan istirahat. Slot waktu untuk memikirkan hal lain? Gak ada.

Hingga tiba hari ini, genap bulan ke-6 Damar berdomisili di Paris. Bertepatan juga dengan bulan ke-4 sejak berakhirnya hubungan mereka, dan di saat inilah Damar merasakan puncak dari rasa sakit di hati. Lantas, kenapa baru sekarang?

Selain karena akhirnya bisa beradaptasi, juga karena panggilan dari bosnya di Jakarta yang menyampaikan bahwa kinerja Damar selama pelatihan 6 bulan belakangan sangat bagus hingga memberikan tawaran untuk mutasi kerja selama 3 tahun nantinya. Kalau kasusnya untuk pegawai lain, pasti tawarannya akan langsung diterima. Tapi tidak untuk Damar, tanpa ba-bi-bu dengan mantap menolak secara halus berikut alasan yang mendasari.

Alasannya diterima. Membiarkan orang tua sendiri di Jakarta, berjauhan dengan perbedaan benua dan zona waktu yang lumayan memang jadi faktor penting, hingga bosnya memaklumi. Namun bukan hanya itu yang membuat Damar berpegang teguh untuk tidak mutasi, melainkan Azalea. Kenapa?

Ia merasa, dengan tidak dapat memberikan jawaban menjadi suatu kesalahan untuk ditebus. Meskipun nasi kepalang sudah menjadi bubur, Damar berpikir bahwa setidaknya ia harus meminta maaf secara langsung dan bertanggung jawab atas kandasnya hubungan mereka. Ia tetap harus pulang, karena kalau menetap di sini dalam jangka waktu berapa lama pun gak ada bedanya seperti pengecut.

Damar boleh aja masuk golongan cowok tsundere yang kadarnya gak terlalu parah, tapi untuk perihal memahami Azalea sama sekali gak berlaku. Damar yakin, seyakin-yakinnya kalau di sana Azalea sedang berjuang untuk bangkit dari sakit hati, patah hati, dan segala keterpurukan yang ia sebabkan. Damar paham kalau Azalea adalah wanita yang kepalang mandiri, tapi untuk masalah hati ia yakin sang gadis tak sekuat itu...

...hingga mendadak bagian dadanya terasa berdenyut. Gelombang nyeri ia rasakan hanya karena membayangkan sosok Azalea dalam kondisi sekarang, dan dinginnya salju yang baru turun beberapa hari lalu di Paris bukanlah halangan. Bagaimana tidak kalau sejak tadi, sejak semua bayangan dan hal-hal tentang Azalea berkecamuk di pikiran, Damar berusaha keras menahan isak tangis. Ia juga baru menyadari kalau saat ini sedang duduk manis di dalam Paris Tremway yang telah membawanya berkeliling, hingga petugas memberitahu kalau ia sudah kembali lagi ke tengah kota sejak awal tidak beranjak dan mengikuti ke mana trem berjalan.

Pijakan kakinya meninggalkan bekas jejak di jalanan yang tertutup salju, tetap melangkah menuju flat yang ditinggali dengan langkah berat nan gontai. Persetan dengan istilah pria lebih mementingkan logika daripada perasaan, karena perasaan Damar sekarang kepalang gak karuan. Pria juga manusia dan punya perasaan, kan?

Membayangkan masih tersisa 6 bulan untuk pulang kembali ke Jakarta terasa berat dan cukup menyiksa, tapi tak lebih menyiksa dari fakta-fakta bahwa setibanya ia nanti kondisinya sudah berbeda.

Tidak ada lagi yang menunggu kabarnya sudah pulang kerja atau belum.

Tidak ada lagi yang heboh atau bereaksi lebih kalau ia sakit.

Tidak ada lagi ucapan sebelum tidur di malam hari.

Tidak ada lagi kiriman makan siang homemade yang dulu ia impikan untuk bisa dikonsumsi setiap hari kerja...

Andai Damar punya kesempatan untuk mengatakan sesuatu pada Azalea barang sekali, ingin ia sampaikan maaf dari hati yang terdalam. Maaf karena tidak merespon pesan terakhirnya di ruang obrolan, maaf karena tidak rutin menghubungi untuk saling bertukar kabar atau update kehidupan. Bahkan kalau bisa gak tahu diri, ingin Damar minta Azalea untuk mengakui kalau aslinya mereka masih saling sayang, masih saling cinta. Tapi nampaknya semua itu hanya dalam mimpi...

Sesampainya di dalam flat, Damar tak tahu apa yang harus dilakukan. Dibiarkannya lampu tidur menyala di kamar, satu-satunya sumber cahaya untuk menemaninya meringkuk di atas ranjang. Suara tawa gadis remaja yang tinggal di flat sebelah terdengar, membuatnya terngiang akan tawa renyah Azalea. Kalau sudah begini, Damar akan memanjatkan doa dalam diam: berdoa untuk kebahagiaan, kesehatan, dan keselamatan Azalea.

“Kalau nanti di sana kamu gundah gulana, terlepas dari apapun sebabnya, pastiin berdoa jadi hal yang kamu ingat dan dilakuin pertama, ya? Berdoa sama Tuhan itu kuncinya, karena Dia selalu ada untuk dengerin kita. Aku mungkin gak bisa nolongin kamu, tapi Tuhan pasti bisa dengan segala caraNya.”

Namun kali ini, Damar tak sanggup untuk menepati titah Azalea-nya itu. Tangis pun pecah tanpa bisa disembunyikan. Isakan dan senggukan berpadu, pecah menjadi jeritan hati seorang Damar. Ia tak sanggup lagi untuk menahan, bentengnya rubuh setelah 6 bulan berusaha menguatkan diri...

“Maafin aku, Lea. Aku minta maaf...”

“Tuhan, maaf...”

Image

“Aku gak sanggup lagi, Mar.”

Kalimat final yang Azalea ketik di ruang obrolannya dengan Damar. Kalimat yang merupakan hasil dari pertimbangan panjangnya. Kalimat yang jadi output atas tak kunjung adanya kejelasan dari seseorang di seberang sana, di daratan Eropa, entah sedang apa, dengan siapa, atau bahkan apa yang sedang dipikirkan (yang jelas, Azalea merasa tidak mungkin kalau orang itu juga memikiran hal sama sepertinya saat ini).

Juga, sebuah kalimat final untuk hubungannya dengan Damar, yang sekarang adalah mantan pacar sejak pukul 5 pagi tadi.

Menjalani 7 tahun hubungan pacaran, suka dan duka terlewati, tawa dan tangis yang dinikmati, semua berakhir dengan ketidaksanggupannya. Bukan tanpa sebab, karena wanita mana yang sanggup bertahan dalam jangka waktu lama untuk hubungan yang tak tahu ke mana akan berlabuh? Sebagaimana perumpamaan klasik: dua insan yang menjalin asmara ibarat perahu, kalau hanya salah satu yang mendayung maka akan timpang dan mustahil sampai tujuan dengan baik. Begitu pula dengan hubungan, kalau hanya berat di salah satu pihak atau hanya salah satu yang berusaha maka tidak akan seimbang dan besar kemungkinan goyah.

Lelahnya Azalea sudah berakumulasi. Lelah menunggu kejelasan: sekalinya dikejar dan dihampiri, berujung nihil. Lelah dengan perjuangan sendirinya. Lelah dengan perasaan yang kian hari semakin dirasa sepihak. Lelah dengan hubungan jarak jauh. Lelah, hingga akhirnya ia harus memilih.

Perpisahanlah yang diputuskan.

Ruang obrolan bernamakan Damar itu sudah hasil diubah dari yang sebelumnya terdapat emoji hati berwarna merah di ujung nama, namun tetap saja, ada atau tidaknya perubahan tidak merubah rasa kalutnya saat ini. Air mata kerap menggenang dan sulit untuk ditahan, jatuh dengan bebas membasahi wajah.

Atensinya kini beralih pada galeri di ponsel, spesifik tertuju pada satu folder yang dikunci menggunakan sandi: rahasia. Isinya adalah foto-foto Damar selama mereka pacaran, yang memang sengaja disimpan dan dikumpulkan sebagai memori untuk dikenang. Tak pernah sekalipun terpikir olehnya kalau folder ini akan menjadi luka tersendiri hanya dengan dilihat, karena tujuan awalnya murni untuk mengumpulkan momen. Siapa tahu, kelak bisa bikin before-after dan bahannya lengkap. Tapi nyatanya, takdir berkata lain...

Semakin “tenggelam” ke bawah, semakin banyak momen yang memaksanya untuk kilas balik. Bagaimana tidak, foto-foto yang ada tersusun dengan rapih sesuai urutan waktu dari yang terbaru hingga terlama. Mau tak mau membuat air matanya semakin deras, tapi ia tahan agar tidak menimbulkan suara mengingat waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi. Niat hati agar tidak membuat orang-orang menaruh curiga dengan matanya yang terlanjur sembab pupus sudah, karena semakin air mata itu ditahan maka semakin tak terbendung pula alirannya. Matanya terasa “buta” karena menahan kuat air mata itu, hingga menutupi penglihatan...

Azalea sayang, dan cinta (teramat cinta, bahkan) pada Damar. Tapi Azalea juga kini tersadar, bahwa Damar dan memorinyalah yang membuatnya seolah “kuat” untuk bertahan di tengah-tengah ketidakpastian ini. Memori, perasaan, dan kisah-kasihnya dengan Damar membuat sebuah harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Azalea terbiasa dengan segala kebahagiaan yang diberi dan diterima bersama Damar, hingga percaya akan kata “selamanya”. Tapi dengan keadaan yang berubah seperti ini, bisakah Azalea membayangkan bila semua itu harus disimpan dan ditutup rapat-rapat seiring dengan berakhirnya hubungan?

Jawabannya, tidak. Saat ini, semuanya terasa sulit. Mungkin, bagian hidup tersulit yang harus dilalui.

Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak: Apa bisa mengikhlaskan Damar? Apa bisa merelakan perasaan yang selama ini ada? Bagaimana caranya untuk terbiasa tanpa kehadiran Damar?

Sulit, teramat sulit.

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi saat matanya terasa lelah menangis, spontan Azalea membuka ruang obrolan lain guna menyampaikan izin untuk tidak bekerja.

Izin sakit: sakit hati.

Biarlah. Kalau memang semesta sedang tidak berpihak padanya, maka biarkan Azalea untuk memihak penuh pada dirinya sendiri. Untungnya mentari pagi bersinar terik, setidaknya bisa menghangatkan Azalea di tengah dinginnya perasaan.

Tak apa kalau harus berdiam dan mengurung diri sendiri di kamar, asal Azalea bisa jauh lebih tenang dan meng-comfort dirinya sendiri. Orang-orang terdekatnya pasti akan selalu mendukung, namun di satu sisi Azalea juga ingin egois untuk tidak merepotkan mereka dan memilih untuk mandiri.

Anggap saja, ini salah satu cara untuk berdamai dengan diri sendiri. Anggap saja, ini salah satu cara pintas untuk memahami situasi.

Well, Azalea terinspirasi dari perkataan vokalis band Paramore, Hayley Williams: “Because sometimes, we have to take a good fall to know where we really stands.”

Semoga dengan berlarut-larutnya dia kini yang disambi oleh upaya bangkit kembali, dapat membuatnya tahu di mana posisinya dalam fase hidup sekarang dan bagaimana harus bertindak ke depannya...

...tanpa menoleh lagi ke belakang.

Image

Bukan cuma waktu terbit aja matahari bisa malu-malu, tapi waktu terbenam juga. Kaya sekarang, cahaya matahari yang biasanya masuk dengan lancang ke jendela rumah gak demikian di sore hari ini. Rumah siapa? Rumah orang tua Tantra, tepatnya.

Jadi...

Ya.

Pagi buta tadi, waktu langit masih gelap gulita dan sebagian besar orang masih terlelap dalam tidur, Tantra udah di perjalanan menuju rumah orang tuanya. Awalnya sih gak punya tujuan, sama sekali gak kepikir mau ke mana saking kepalang bergelut sama emosi dan pikiran. Terpenting adalah, dia pergi. Tapi waktu matahari perlahan terbit dan bias cahayanya mulai tembus jendela mobil, entah kenapa Tantra mendadak ingat Mama. Kebetulan arah laju mobilnya di tol ngarah ke rumah orang tua yang ada di pinggiran kota, gak mikir dua kali Tantra langsung ke sana.

Kedua orang tuanya lagi sarapan waktu Tantra sampai di jam 7 pagi, dan Mama jadi orang yang paling kaget sama kehadiran dia di garasi rumah. Alasannya, gak lain dan gak bukan karena Mama yang paling merasa kejanggalan sulungnya ini sejak terakhir kali komunikasi lewat telepon. Tapi gak berlarut-larut, meskipun sempat bengong dan Tantra dibiarin mematung sesaat depan pintu utama rumah akhirnya pelukan beliau berikan untuk melepas rindu. Tantra merasa semuanya jadi baik-baik aja dalam pelukan Mama, dan merasa kalau keputusannya untuk ke sini sangatlah tepat. Kecanggungan yang sempat ada cair sudah, suasana rumah turut menghangat sebagaimana sinar matahari yang perlahan terbit.

Di usianya yang sudah lanjut, Papa tetap bekerja sampai masa pensiun tiba. Maka selepas sarapan bersama, tersisa Tantra, Mama, dan Asisten Rumah Tangga (ART) atau yang biasa dipanggil 'Mbak'. Mama sama si Mbak langsung pergi ke pasar untuk belanja sampai siang (Tantra pun gak paham belanja apa, pikirnya mungkin sekalian ke mall), meanwhile Tantra langsung ke kamar kesayangannya yang dalam setahun bisa dihitung jari berapa kali ditempatin. Sarapan, mandi, santai, lanjut tidur dan baru bangun waktu matahari mau terbenam, saking capeknya sama beban pikiran plus nyetir pagi buta yang butuh konsentrasi lebih.

“Langitnya tumben kalem”, buka Tantra yang lagi duduk santai di ruang tamu sambil mandang ke luar jendela. Mama yang udah pulang belanja dari siang, nyahut “Belakangan emang lagi suka gini, tapi ya gak hujan.” “Belanja apa aja sama si Mbak? Lama banget.” “Oh, iya hari Selasa Bu RT ada acara syukuran anaknya lahiran. Mama gak bisa bantuin langsung, jadi mending masak buat dikasih di acaranya nanti.” “Kok jadi kaya potluck*?” “Ya enggak dong, udah biasa gini dari dulu.” “Kan biasanya yang gitu cuma kalo arisan, ternyata acara syukuran gitu juga ya.” “Kamunya aja yang udah lama gak ke sini, jadi lupa...”

“Ma, maafin Tantra buat yang waktu itu. Tantra gak maksud bentak Mama, cuma emang keadaannya lagi gak enak jadi kebawa emosi terus bawaannya. Mama jadi kena imbas.”

Sebenernya Mama gak mau ungkit soal ini dulu meskipun aslinya penasaran banget, karena dengan Tantra pulang aja udah bersyukur. Tapi ternyata Tantra buka topik duluan, mau kaget tapi di sisi lain juga gak bisa saking paham perangai sulungnya ini gak mau berbelit kalau ada unek-unek atau masalah. Tantra tipikal orang yang gak mau lama-lama punya masalah dan selalu cari cara buat diselesaikan secepat mungkin, juga selalu berprinsip dan berpegang teguh sama omongan sendiri. 11:12 sama sahabatnya, Johnny, yang juga udah beliau kenal karena sahabatan sejak kuliah.

“Mama kaget, tapi Mama juga paham pasti kamu lagi ada masalah atau hal yang gak enakin. Terpenting, kamu mau pulang aja Mama udah seneng banget. Mama kangen, mau cerita-cerita, mau ngobrol sama kamu. Tapi kalau belum mau cerita, gak apa-apa. Kamu punya personal space sendiri, gak semua hal bisa Mama tau...”

Kalau Mama udah ngomong begini, rasanya Tantra mau misuh sendiri aja kenapa bisa selama ini terlalu fokus sama sakit hati, trauma, trust issue dan semuanya dipendem sendiri. Padahal ada Mama yang super perhatian dan super ngertiin, tapi jadi terabaikan...

“Tantra cum-, enggak cuma sih, masih kebawa-bawa patah hati sebelumnya, Ma. Tantra jadi trauma, punya trust issue...”

“Siapa yang gak sakit hati sih, Ma, dibohongin gitu? Kenal dari SMA, dia cinta pertama Tantra, pacaran juga gak bisa dibilang sebentar, itu tuh lama buat aku. Dengan mudahnya kandas perkara bohong yang menurutku gak make sense banget, murahan-” “Tantra...”, Mama nyela biar anaknya gak makin kesulut emosi dan ngucap hal gak baik.

“Mama sama Papa tau, kita juga gak terima kalau kamu diperlakukan begitu. Tapi nasi udah jadi bubur, nak. Trauma dan takutnya gapapa, biar dirasa buat jadi pelajaran dan dorongan untuk pribadi yang lebih baik. Tapi kalau sampai berlarut gini juga gak baik, sama aja kamu kalah dalam perang. Musuh terbesar itu bukan lawan yang ada di depan kamu, tapi diri kamu sendiri. Di sini, kamu yang lebih banyak merugi sekalipun dia rugi udah sia-siain kamu yang udah tulus dan baik sama dia...”

“Anggap ini batu loncatan untuk sesuatu yang lebih baik, Mama percaya dan yakin setelah badai ini berhasil kamu lewati ada kebahagiaan lain yang bakal datang...” “...tapi, Tantra gak yakin. Selama ini selalu ngelampiasin sepi, sedih, dan semua hal itu ke hal yang gak baik, bahkan mungkin Tantra sendiri udah nyakitin perasaan orang lain setelah sendirinya disakitin sama orang. Kaya bales dendam tapi gak sadar, rasanya ya jadi sama aja.” “Memangnya kamu ngapain...?”, pertanyaan Mama yang nuntut Tantra untuk mikir beberapa kali dulu sebelum jawab. Gak mungkin Tantra jawab punya hubungan Strangers With Benefits, kan? Mau Mamanya tiba-tiba jantungan? “Y-ya, deketin beberapa cewek lain. Mana tau, bisa Tantra seriusin...” “Terus, gak ada yang nyangkut?” “Kurang lebih gitu...”, jawabnya bohong tapi yang gak bohong banget karena penjelasannya aja yang agak dimodifikasi. “Ya udah, gak usah pikirin yang udah lewat. Orang tua selalu ingin yang terbaik buat anaknya, sekarang kita cuma bisa dukung supaya bisa tetep di jalan yang kamu pilih dan terus maju ke depan. Mama dukung apapun keputusan kamu, tapi jangan lupa buat tetep jadi diri sendiri. Jangan berubah untuk orang lain sedikitpun, apalagi nentuin arah dan pilihan hidup untuk nyenengin orang lain atau ikut-ikutan. Ya?” “Iya, Ma. Sekali lagi, maafin Tantra...”

Baiklah. Dengan berakhirnya sesi curhat empat mata antara Ibu dan Putra Sulung tadi, berakhir pula waktu matahari untuk menyinari bumi. Langit mulai gelap, pertanda waktu istirahat tiba. Matahari yang terbenam di langit sana selaras dengan pergulatan emosi, batin, serta perasaan Tantra yang perlahan mereda dan tenggelam untuk diganti dengan menyambut hari esok yang (diharapkan) lebih baik. Setelah dapat wejangan konstruktif dari Mama, Tantra butuh niat dan proses yang kuat menuju perubahan itu. Tantra sendiri bingung harus mulai dari mana, mau minta tambahan masukan ke Papa tapi rasanya malah jadi nambah beban pikiran beliau (padahal pasti seneng-seneng aja jadi tempat curhat anak sendiri).

Oh, mungkin harus ke Johnny dulu, secara dia yang pertama kali ngasih tau soal Mama dan dia juga yang selama ini gak pernah skip buat nasihatin dan ngasih perhatian. Tapi yang jelas, tekadnya buat nurutin apa kata Johnny udah cukup bulat. Sepulangnya nanti ke apartemen, Tantra pelan-pelan bakal nata ulang komposisi seluruh ruangan yang ada biar bisa dapet suasana baru. Biar apa? Biar ngejalanin hari barunya jadi makin terdukung, suasana baru untuk awal yang baru. Kasarnya, Tantra mau mulai lagi demi menjemput kebahagiaan yang seharusnya. Gak lupa, kerja sambilannya sebagai fotografer bakal dilakuin lagi. Berdoa aja, semoga klien-klien sebelumnya masih ingat dan mau hire Tantra buat project lain.

Mama udah berlalu, masuk ke kamarnya duluan buat santai dan istirahat lebih awal. Baru aja Tantra mau ngetik chat ke Johnny, rungunya tiba-tiba keusik sama suara mesin dari arah garasi. Mau curiga maling, rasanya gak mungkin. Ini boleh di pinggiran kota, tapi area rumah orang tuanya itu komplek yang dijaga security keliling tiap 3 jam sekali. Jadi mikir dong itu apa (atau siapa)...

Tapi tiba-tiba suaranya ilang...

Malah keganti sama suar-

“Maaa itu mobil siapa sih di garasi, ngalangin aj-”

Orang itu sama Tantra liat-liatan...

“Lah, kak??? Tau jalan pulang???” “Yang bener aja ini Tian?!” “Iya lah, bener. Elo yang gak bener, sama adik sendiri lupa.”


*) Potluck = https://food.detik.com/cooking-tips/d-991974/apa-itu-potluck-party

Image

“Deeek! Turun dulu sini sebentar, bawa minuman sama snack nih. Papi abis borong.”

“Tuh, Ja, turun sana.” “Ahelah pantat gue baru juga mau cium kasur.” “Bahasa lo.” “Mager anj-” “Zaaa!” “IYAAA MI, IYAAA BENTAR.” “Udah sana, gue pause dulu gamenya. Mau cek handphone juga.”

Eja pun turun ke lantai bawah, tepatnya ke ruang makan yang nyatu sama dapur.

Jam menujukkan pukul 8 malam, dan siang hari tadi mereka baru aja ambil rapot Kelas 2. Tentu naik kelas, dan beruntungnya mereka sekelas lagi. Omongan Eja waktu ospek tempo hari jadi kenyataan, meskipun di tahun pertama gak sekelas tapi di sisa 2 tahun berikutnya sekelas berturut-turut. Udah mah sekelas, semeja lagi (bukan sebangku ya, nanti satu bangku bagi dua. kalo kata Eja sih, pantatnya nyengsol sebelah nanti soalnya setengah-setengah). Kalopun gak sekelas kayanya mereka tetep bakal berduaan terus sih, soalnya cocok: Jean anaknya pendiem dan cenderung introvert, Eja supel dan ekstrovert ditambah lagi doyan guyon nyerempet gak tau malu. Saling melengkapi gak sih?

Rapot Jean diambil sama Walinya, alias asisten Papa yang emang khusus handle urusan pendidikan Jean. TMI, Papa Jean gak pernah ambil rapot anaknya secara langsung lagi sejak terakhir kali di SD. Selalu, alasannya sibuk. Malah mempekerjakan seorang asisten baik hati yang rela dan sepenuh hati care sama Jean, malah kasih sayangnya lebih dari apa yang beliau punya saking seringnya ngurusin Jean. Jean selalu datang sama dia, hanya berdua. Berbanding terbalik dengan Eja yang setiap ambil rapot selalu sama kedua orang tua, kontras banget ya?

Asisten Papa ini memang setulus dan sesayang itu sama Jean, karena sejak Jean SMA Papanya cenderung “lepas tangan”. Jadilah kalau Jean mau berlaku apapun gak masalah, soalnya bagi dia ya mau apa-apa juga gak akan dipeduliin apalagi ditanya. Selagi gak buat masalah, semuanya aman. Di beberapa kesempatan, dia selalu nawarin atau ngajakin Jean pergi ke manapun yang dimau. Mau liburan ke Luar Negeri? Ditemenin. Hari ini bilang, besoknya pergi. Semua yang Jean mau bakal diturutin tanpa peduli berapa uang yang harus dikeluarin, tapi dia tetep jaga perasaan Jean karena dia tau kalau gak semuanya harus dipenuhi dengan uang.

Contohnya kaya sekarang, yang mana jadi perdana di libur setelah pembagian rapot Jean gak minta pergi jalan-jalan ke Luar Negeri. Jean minta izin buat nginep di rumah Eja beberapa hari, meskipun awalnya agak sungkan karena takut merepotkan keluarga Eja. Tapi karena kebetulan ketemu di pembagian rapot siang tadi, orang tua Eja bilang langsung dan “meminta” sekalian mau ajak Jean jalan-jalan ke Bandung. Jadilah Jean sekarang di sini, di kamar Eja, yang kalau berdasarkan rencana keluarganya sih bakal ngabisin waktu 5 hari. Buat Jean, ini exciting karena akhirnya bisa nempel sama Eja buat liburan. Buat Eja sih yang katanya bosen ke Bandung lagi ke Bandung lagi jadi mendadak gak bosenin, soalnya ke mana-mana bisa sama Jean, sekamar sama Jean, duduk di mobil juga sama Jean. Pokoknya jadi gak bosenin deh, secara kakaknya juga cewek dan udah nikah jadi merasa ada temen.

Setelah berpisah di sekolah, Jean pulang ke rumah untuk packing dan lanjut diantar ke rumah Eja. Sesampainya langsung main Playstation, berakhirlah sekarang mau lanjut main lagi setelah makan malam tapi ada jeda panggilan dari Maminya Eja.

“Papi beli apaan?” “Nih, banyak. Bawa semua sama plastiknya.” “Thanks Papi, pergi besok kan?” “Lusa, gapapa sana puasin main dulu sama Jean.” “Oke, aku-” “Dek, duduk bentar deh sini.”

Kakaknya Eja tiba-tiba interupsi, karena kebetulan keluarga inti (Mami-Papi-Kakak) lagi rapih-rapih di dapur sedangkan sisanya udah balik ke posisi masing-masing. Semuanya kompak duduk di meja makan...

“Kenapa kak?” “Jean temennya cuma kamu aja ya?” “...ya, enggak. Di sekolah mah mainnya sama semua kok, cuma emang deketnya sama Jean aja.” “Hm, gapapa nanya aja.” “Kenapa sih, kak? Kepo.” “Kakak liatnya dia kaya kesepian gitu, tadi pas sampe sini berbinar banget. Kakak ngerasain sih.” Giliran Mami yang masuk obrolan, “Kamu tau dia kenapa gak, dek? Soalnya udah 2 semester tiap ambil rapot pasti walinya. Orang tuanya ke mana emang?” “Sibuk sih katanya, sibuk banget.” “Ck, kasian. Anak cowok satu-satunya, gak jadi prioritas”, sambung Papi yang buat Eja penasaran. “Kenapa, Pi?” “Ya gitu, dek. Makanya sekolah pinter aja gak cukup, harus punya integritas, personality, dan karakter serta kepribadian yang teguh. Jadi cowok harus tetep punya perasaan, bukan berarti baperan loh. Kan itu kasian temen kamu jadi gak dapet perhatian orang tua.” “HUSH! Papi nih, nanti anaknya denger”, cegah Mami. “Gitu deh, Pi. Aku jarang nanya juga, mau nanya atau mancing curhat tapi gak enak takutnya privasi. Takut juga sih kalo nanti malah jadi renggang gara-gara gitu doang.” “Ya gapapa, dek. Beruntung kamu temennya dia, jadi ada temen yang nyambung. Kamu suka dengerin kalo lagi curhat gak?” “Eh jangan salah kak, susah senang bersama.” “Cih, belum 17 tahun udah sok ngerti aja.” “Yeee, kan calon imam harus memupuk ilmu dan kedewasaan sejak dini kali kak!” “Waaah, Mi. Jagain nih anak, ngeri tau-tau nikah muda.” “Gak jelas lo, kak.” “Udah ah, jadi ribut. Ya udah sana bawa ke atas, kasian dia kelamaan nunggu.” “Oke Mami.”

Setelah Eja hilang dari pandangan dari tangga, obrolan di meja makan masih berlanjut...

“Mami tuh sebenernya ngerasain, si Jean ini kok kayanya terabaikan ya sama keluarganya.” “Makanya tadi Kakak tuh nanya, Mi. Soalnya tuh anak seganteng, sebaik, dan sepinter serta ber-manner kaya dia tuh disayangkan banget kalo sampe kurang kasih sayang. Kakak jadi kepo, keluarganya tuh backgroundnya gimana. Apakah bermasalah, cerai mati, atau cerai hidup?” “Papi sih feeling masalah keluarga, keliatan kok...” “Haduh... Gak tega, jadi mau suruh ke sini aja biar si adek ada temen.” “Mami mah, gak kasian Papi pengeluaran jadi bengkak?” “Nolongin orang namanya, justru rejeki ngalir dari situ.” “Ya udah gapapa, yang penting dia sama si adek temenan baik. Kita kasih perhatian yang sama juga cukup, udah seneng keliatannya.” “Jangan sampe anakku gitu.” “Kamu kan belum isi, Kak.” “Ya doain kali, Mamiii...”


“Lama amat, Ja.” “Tau tuh, diajak ngobrol ngalor ngidul.” “By the way kok gue ngantuk ya.” “Ya udah matiin aja, ganti iTunes.”

“Je...”, panggil Eja di posisi rebahan samping Jean. “Hm?” “Kalo lo mau cerita atau curhat sama gue, gapapa banget loh. Gue tuh heran kok orang-orang jarang banget cerita sama gue.” “Hahahaha, ya elo sih dikit-dikit bercanda. Giliran serius terus dibercandain kan gak enak tau.” “Eh gue tau ya mana momen serius mana enggak, cuma kayanya udah kepalang kepatri image gitu jadi pada ogah. Padahal gue ngerasain jadi nambah wawasan buat bertindak lewat pengalaman orang.” “Maksudnya?” “Pendewasaan diri gitu maksudnya.” “Wkwkwkwk, ada-ada aja.” “Eja akan dengan senang hati mendengar dan menampung segala keluh kesah, eaaa.” “24/7 gak?” “Kalo sanggup, ya sanggup.”

Jean diam, Eja yang agak panik...

Tapi, gak jadi.

Soalnya yang diharapkan Eja langsung kejadian.

“S-sebenernya, gue gak kaya yang selama ini lo tau, Ja.” “Hah??? Gimana?” “Gue gak se-ceria yang lo liat. Gue cuma bocah ingusan yang kesehariannya gelap.” “Je...?” “Keluarga gue boleh berada, tapi gue selama ini selalu merasa kesepian.”

“Gue gak sendirian dan bukan anak tunggal, gue punya adik kembar sebenernya.” “...w-wow?” “Mau dengerin gue ngeluh, gak?”

Emang dasar Eja, pas kejadian malah kaget plenga-plengo.

“O-oke... Gue siap denger, tumpahin aja semuanya tanpa sisa. Kaya kalo makan sambel jangan sisa, nanti jodohnya diambil orang.” “Please...


p.s. Wali Jean = Mas Brian. Sengaja gak disebut nama karena sebenernya Jean itu gak terlalu ingetin nama asisten Papanya satu-satu saking banyak jumlah, pada saat itu. Cuma tau muka, tapi gak tau nama. Lagipula, Mas Brian ini bertugas kalau momen tertentu aja sesuai job-nya.

Image

“Mirza, kamu tuh mau kesiangan ospek apa gimana sih? Itu Papi udah nungguin, lagi sarapan!” “Iyaaa bentar, Mi. Ini lagi pake bajuuu...” “Buruan sana ke bawah, Papi telat gapapa. Kamu nanti dihukum tau rasa.” “Ya biarin, pengalaman. Kan baru menginjak putih abu-abu.” “Gak, Mami Papi gak ngajarin telat telat gitu ya.” “Yaelah, Mi. Gitu doang...” “Gak tau, ah. Mami tunggu di bawah.” “Iya.”

“Aku susu aja, Mi. Nanti pas break juga makan nasi di sekolah.” “Ya udah, perlengkapan udah siap semua kan semalem?” “Udah.” “Bawaan yang aneh-aneh, apa sih?” “Anu...apa sih tuh, Permen Rubah. Permen FOX, cuma disuruh bawa 5 doang.” “Bawa lebih. 10 kek, 15 kek, sekaleng juga gapapa.” “Aduh, Mi. Nanti gak sesuai sama suruhan malah dihukum aku.” “Ya udah, bawa 10 aja terus 5 umpetin di saku celana atau di mana gitu. Ini hari terakhir malah bawaannya paling aneh, biasanya kan lebih santai. Kaya si Kakak dulu begitu.” “Kakak udah lebih dari 5 tahun lalu kali, Mi.” “Ya udah ini bawa, sana ke garasi. Hati-hati ya, langsung pulang kalo udah selesai.” “Oke, Mi. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.”


Waktu break yang Eja maksud sisa 5 menit lagi, tapi mendadak dia kebelet buang air lalu melipir ke toilet. Sebetulnya sih, agak rawan buat momen kaya gini. Biasanya kakak-kakak panitia ospek suka seliweran dan cek tiap kelompok udah lengkap pada balik ke kelas atau belum, karena acara terus berjalan dan supaya gak ganggu timeline jadi kalo jadwalnya tiba harus on time dilaksanakan. Eja tau, tapi entah kenapa hari ini bawaannya dia mau agak rebel aja. Dari tadi pagi bangunnya telat 10 menit, tetiba santuy soal pergi ke sekolah, sampai sekarang yang nekat ke toilet 5 menit sebelum sesi final ospek mulai.

Masalahnya tuh, jarak toilet – ruang kelas kelompok dia agak jauh: dari ujung ke ujung. Tapi, seriusan, Eja bodo amat dan kepalang santuy. Buang airnya sih gak sampe 5 menit, tapi 5 menit yang ada udah habis buat jalan ke toilet dan buang airnya sendiri. Balik ke ruang kelasnya, excluded. Tapi kayanya emang hari ini Yang Maha Kuasa seperti ngasih restu buat Eja untuk rebel, soalnya dia tiba-tiba kepo sama salah satu bilik toilet yang kekunci. Sejak masuk sampai sekarang selesai, pintunya masih ketutup rapat. Keponya tuh gak tau berdasar apa, tapi yang jelas dia sampai ngintip ke celah di bagian bawah pintu dan mendapati ada sepatu di situ: ada orang. Curiga gak? Curiga, lah.

Tok tok tok!

“Permisi, kak, di dalem ada orang?” “...” “...halo, kak? Yang di dalem...?” “M-maaf, kak-” “Eh, saya anak baru, kak. Jangan panggil kakak, saya keluar de-”

SISWA BARU JOVANDRA JEAN DAN MIRZA KIANDRA! SEGERA MASUK KELAS SEKARANG!

“Pergi aja, gue mau di sini. Barusan udah dicari, diteriakin. Gue gak mau ketauan.” “Lah barusan nama gue juga disebut. Ya udah ayo mending balik ke kelas sekarang, mumpung baru dikasih warning gitu.” “Gak, lo aja. Gue di sini.” “Kenapa emangnya? Takut?” “G-gue gak bawa Permen Rubah, nanti dihukum.”

Ding dong~

Sebagai anak yang soleh dan berbakti pada orang tua, rasanya Eja mau cerita ke Mami sepulangnya nanti kalo lebihan permen itu berguna banget. Yah, seenggaknya Eja semakin dibuat percaya kalo nurut sama orang tua (apalagi Ibu) itu emang efeknya nampol.

“Gue ada lebih 5 nih, pas banget. Ambil aja.” “...b-beneran?” “Ck, iya. Keluar dulu makanya, buka pintu.”

Krieeettt!

“Nih, gak tau ada angin apa nyokap gue tadi pagi nyuruh bawa lebih. Mending ambil aja, gak gue apa-apain juga ini.” “M-akasih...?” “Mirza, panggil aja Eja.” “Makasih, Eja.”

SISWA JOVANDRA JEAN! SISWA MIRZA KIANDRA!

“Lo mending keluar deh, gue kena hukum gapapa. Udah ikhlas.” “Lah, pasrah bener. Nama gue udah dipanggil juga, mending ngadep barengan.” “Lo mau dihukum???” “Ya udah kepalang gini, gimana?”

BRAKKK!

“Astaga, dicari-cari malah di toilet berduaan. Homoan lo pada?!” “M-maaf, kak. Tadi saya emang kebelet pup. Gak sempet bilang sama ketua kelompok, maaf kak”, kata Eja. “Elo, Jovandra, ngapain? Boker juga?!” “Mukanya agak pucet tuh, mending suruh ke UKS dulu aja”, kata kakak panitia ospek lain yang lebih kalem. “Lo sakit? Kenapa gak bilang?” “Baru kerasa pas istirahat ke toilet, kak. Maaf.” “Ck, ya udah. Jovandra ke UKS ikut dia, Mirza ikut gue dibawa ke kelas. Lo tanggung jawab acara kelas lo jadi molor mulainya.” “Iya, kak.”

Setelahnya Jean betulan diam di UKS sampai sesi final ospek selesai, baru keluar lagi pas upacara penutupan sekaligus demo ekskul di sore hari. Pucatnya bukan karena sakit sih, tapi selama di toilet dia kepalang panik dan kepalang takut dihukum. Soalnya juga, karena....

Hm.

Eja balik ke kelas dan dia di “pajang” di depan temen-temen kelompoknya, kakak panitia ospek pembina kelompoknya adain voting enaknya dia dihukum apa. Berakhirlah disuruh joget goyang dombret depan kelas, gak cuma ngundang ketawa temen-temennya aja, tapi kakak-kakaknya juga. Emang udah karakternya Eja rada nyolot sih, jadi mendukung banget dan purely menghibur tanpa keliatan maksa.

Pas bubaran, Jean nunggu di pos satpam gerbang sekolah. Jemputannya udah dateng, tapi dia kekeuh mau nunggu seseorang dulu.

Nungguin Eja, ternyata.

“Eja!” “Eh, kenapa?” “Lo dihukum apa tadi?” “Goyang dombret depan kelas.”

Aduh, Jean jadi nahan ketawa kan. Eja ngomongnya pake wajah tanpa dosa gitu lagian, enteng banget.

“Udah sih ketawa aja, lo tuh kaku banget gue liat-liat. Lemes aja sama gue mah.” “Serius joget?” “Ya iya, goyang dombret persis kaya yang ada di video klip CD Dangdut Hits 5 ribuan dijual di terminal itu.”

Jean ketawa, tapi tetep masih malu-malu. Tapi, ya ketawa juga akhirnya. First impression Eja ke Jean itu, anak mami. Soalnya tadi kaya anak cupu banget lagaknya pas di toilet, masa gitu doang malah takut dihukum? Padahal kalo cowok biasanya pede aja ya kan, dihadapin dan dinikmatin proses hukumannya. Sempet kepikir juga mungkin jaga image alias jaim, abisnya paras Jean ganteng. Eja akuin itu, ngerasa kalo Jean lebih ganteng dari dia.

“Kayanya gak 5 ribu juga deh, itu mah jaman kita SD.” “Nah ya itu lebih tau.” “Makasih ya, udah selamatin tadi. Ternyata bawaan gue di kelas juga diperiksa, kalo ada yang gak dibawa ya ikutan dihukum.” “Tapi kan tas lo di kelas, elonya di UKS...?” “Kakak panitianya nanya ke gue di UKS, ya gue bilang di celana. Tadi pagi buru-buru berangkatnya, jadi gak dimasukin tas. Tapi ada di saku celana.” “Oh, Alhamdulillah deh. Sama-sama, semoga besok-besok gak malah nular lupa bawa yang lain ye. Apalagi tugas, jangan.” “Lo pulang ke arah mana?” “Gue? Pasar Minggu, lo?” “Pondok Indah.” “BUSET, orang kaya.” “A-ah, gak gitu...” “Heh jelmaan Raffi Ahmad, orang denger kata Pondok Indah aja udah mikirnya mewah ye.” “Iya iya, ya enggak. Maksud gue mau ajak bareng aja sih. Searah, gue bisa drop lo dulu. Anggep aja ucapan makasih buat permen tadi.” “Yah, sorry. Bukannya gak mau, tapi ojek langganan gue udah di depan. Kapan-kapan aja ya? Makasih tapi sebelumnya, gak masalah kok gue gak ngerasa direpotin hehe.” “Ya udah deh, tapi beneran ini gapapa? Gue yang gak enak, lo soalnya jadi dihukum kan tadi.” “Ck, udah sih. Emang guenya rebel juga, 5 menit sebelum masuk kelas malah ngacir ke toilet. Bukan salah lo.” “Beneran?” “Hm, iya. Masih belom percaya?” “Ya...gak biasa aja soalnya gue begini, takut ngerepotin.”

Ada hal yang bikin Eja penasaran selain first impression dia soal Jean: latar belakangnya. Raut wajah kesungkanan dan gelagat Jean itu agak aneh buat cowok SMA yang tinggalnya di Pondok Indah. Nyerempet chauvinisme sih, agak subjektif, tapi emang Eja ngerasa misterius. Kaya...yakali seganteng dan setajir dia gelagatnya begini sih? Gitu deh pokoknya.

“Gapapa. Besok-besok kalo ketemu tegur sapa aja, mana tau sekelas di kelas 2 atau 3. Salam kenal ya,” lanjut Eja sambil ulurin tangan tanda mau berjabat.

“Karena nama lo pasti bukan Jelmaan Raffi Ahmad, jadi gue panggil apa nih sob?” “Jovandra Jean, panggil Jean aja.” “Oke Jean, mari berteman.”

...

Image

Tantra adalah pria yang menepati ucapannya, apa yang Bella dan baru saja ia ucapkan benar dilaksanakan.

View dari netra Tantra saat ini dikuasai Bella yang tidur nyenyak di dalam rengkuhan, sambil sesekali dia elus rambut lembut nan panjang yang menggelitik tubuhnya. Iya, jangan lupa kalau mereka half-naked loh ya. Sesekali juga Tantra senyum, gak tau alasannya apa. Cuma mau senyum, yang sepertinya berasal dari dorongan eksternal sama menggelitiknya dengan rambut Bella.

Sejemang terpikir olehnya, mungkin udah lama gak ada wanita yang bergelayut manja dengan keadaan benar-benar membutuhkan bantuan makanya jadi déjà vu. Jadi senyum, deh. Sejemang kemudian terpikir, mungkin juga karena Bella ini beda. Karena, ya, wanita-wanita lain yang sebelumnya pernah jadi partner benefit gak ada yang se-terus terang dan se-jujur Bella alias murni buta karena nafsu. Bedanya juga keliatan dari ucapan orangnya sendiri barusan, orang mabuk itu mostly sincere, kan? Meskipun Tantra ragu, tapi sebagian besar dari dirinya yakin kalau Bella was being honest.

Being honest, ya...

Hmmm...

“Aku punya perasaan sama kamu”, langsung terngiang lagi di pikiran ibarat scene film yang lagi bergilir tayang.

Dua hal yang bisa Tantra ambil sebagai kesimpulan: 1. Pikirannya kacau mengetahui fakta itu, belum lagi dengan prinsipnya, teguran dari Johnny, dan Mama yang gelisah akan dia 2. Ada kemungkinan kalau perasaan Bella juga kacau, meskipun Tantra bisa kendaliin soal batas perasaan tapi Bella tetaplah wanita yang perasaannya dominan. Se-netral dan se-baik-baik aja tampilan luarnya, besar kemungkinan kalau perasaannya juga gak baik-baik aja. Tantra benci kalau memang betul faktanya begitu, tapi namanya perasaan bisa datang dan pergi untuk siapa aja kan? Bukan salah Bella, bukan pula salah Tantra.

Ucapan Bella yang terakhir mungkin patut disyukuri, karena lumayan bisa bikin Tantra back to the sense. His deeply normal sense, to be very honest.

“Aku cuma yakin kelak kamu bakal pulih, bakal nemuin diri kamu yang ceria dan seperti semula. Aku tau, Tantra orang yang hangat dan penyayang, blame those past yang renggut kamu dari hal-hal baik itu.”

Setuju. Jujur, Tantra setuju banget. Dia sendiri memang sadar akan hal itu, tapi kehidupan yang dibelenggu oleh nafsu dan ego membuatnya buta. Jadilah, berbagai sisi baik dirinya tenggelam. Terenggut deh, biar sesuai apa kata Bella.

Juga, sebenarnya selama ini Tantra sudah ada kemajuan untuk menjauh dari hal-hal kurang baik dan kehidupan malam. Salah satunya memang karena Bella, tapi teguran Johnny dan kegelisahan Mama jadi sebuah tamparan tersendiri.

Kalau mau ambil jalan cepat, Tantra bisa aja langsung jadiin Bella pacar sekaligus ajak untuk sama-sama healing dan memperbaiki diri dari masa lalu yang hampir serupa. Tapi Tantra adalah Tantra, sekali ucap maka itu yang akan dilakukan. He doesn't want to go further, cukup sampai sini dan gak boleh ada kebablasan lainnya (karena bagi dia, dengan saling cuddle berkedok bantuan aja udah cukup kebablasan dari batas yang dibuat sendiri).

Netranya bolak-balik: dari wajah tentram Bella dalam tidur, ke langit-langit atau jendela. Menimbang-nimbang keputusan terbaik yang harus diambil saat ini juga, karena waktu terus berjalan.

Dengan Bella yang terlihat sangat tenang dan sepertinya tengah berada dalam deep sleep, gak sulit buat Tantra untuk memindahkan tubuh wanita itu dari dekapan. Dilihatnya lamat-lamat seputaran wajah: cantik, anggun, elegan, dengan kantung mata yang sedikit tebal perkara nangis...?

Kemudian dilihatnya sekitar kamar, berusaha merekam suasana dan momen ini sebaik mungkin yang diselingi dengan impression kalau dasarnya Bella adalah wanita yang rapih dan classy bila dilihat dari barang-barang yang ada.

Berujung pada lampu tidur yang sedikit termaram di sampingnya, berikut kertas dan beberapa pena yang tersembunyi di balik telepon.

Well, inspirasi atau hikmah bisa berasal dari sumber apa saja dan dari mana saja, kan? Cuma bermodal lihat tiga benda tersebut, Tantra mendadak punya keputusan yang dia harap terbaik untuk saat ini. Pertimbangannya? Karena dia yakin, cuma yakin, hanya itu.

Maka Tantra gak ragu buat bangkit dari ranjang, memakai kembali kemeja yang tergantung asal di sofa, mengambil pena dan kertas untuk membubuhkan beberapa kata yang...memang hanya itu terpikirkan untuk ditulis.

Singkat, padat, diharapkan jelas secara tersurat.

Gak banyak yang Tantra bawa, hanya kunci mobil yang ada di luar genggaman sedangkan dompet setia di dalam saku celana. Tentunya, dengan begitu mudah pula buat Tantra untuk pergi.

Nyatanya Tantra benar-benar meninggalkan tempat ini, kamar Bella, dengan lampu tidur dibiarkan menyala di satu sisi, kertas yang sudah tertulis beberapa kata dibiarkan di samping lampu tersebut, dan sang wanita yang clueless dalam deep sleep namun raganya tertup selimut dengan sempurna.

Tantra meninggalkan Bella pada dini hari, meninggalkan semua dan menjadikan ini adalah benar-benar yang terakhir dengan sebelumnya menepati ucapan bahwa ia akan melihat Bella tertidur dalam rengkuhan, dari jarak dekat, hanya untuk malam ini.

Ia hanya tau satu arah, dan bukanlah pria yang tau arah untuk putar balik.

Tantra Langit, meninggalkan Isabella sebelum ia mencintainya.